tirto.id - Will Byers, pengampu kolom School of Rock di The Guardian, pernah menulis tentang apa yang membuat sebuah album musik jadi dahsyat. Byers, menyebutkan antara lain: tema atau konsep, sampul album, juga bagaimana sebuah album menjadi entitas tak terpisahkan.
Album dahsyat itulah yang bisa melewati ujian zaman. Terus didengarkan dengan khusyuk, tak dilupakan oleh generasi-generasi selanjutnya, dan tak lantas hilang ditelan ombak zaman.
Setiap orang bisa menyebutkan tahun favorit perilisan album beserta alasan-alasannya. Penggemar punk mungkin akan menyebut tahun 1977 sebagai tahun favorit karena itu tahun dirilisnya Never Mind the Bollocks, Here's the Sex Pistol; Marque Moon, Rocket to Russia, atau Spiral Scratch. Penggemar rock bisa jadi menganggap 1987 adalah tahun terbaiknya, karena ada Appetite for Destruction, Hysteria, Whitesnake, Keeper of the Seven Keys: Part I, ataupun Sister.
Tapi semua itu berawal dari 1967. Para album raksasa yang menjadi pondasi musik populer tahun berikutnya, lahir pada periode ini. Secara kultural, tahun 1967 adalah Summer of Love. Musim panas penuh cinta. Seratusan ribu pemuda-pemudi dengan dandanan hippie berkumpul di Haight-Ashbury, San Francisco. Menjadi simbol perlawanan terhadap perang, juga menolak konsumerisme, memuja kebebasan dan seni.
Pada tahun 60-an, gelombang serangan Inggris masuk ke Amerika Serikat melalui musik. Rolling Stones, Beatles, The Who, Pink Floyd, jadi populer di AS. Dari dalam AS, band seperti The Doors dan pemusik semisal Jimi Hendrix, Janis Joplin, hingga Jefferson Airplane, juga mencuat. Barry Miles, penulis biografi Paul McCartney, pada The Independent mengatakan bahwa 1967 adalah masa terbaik musik, tidak sekadar musik rock.
"Jelas itu tahun terbaik untuk musik. Sebelumnya, musik pop hanya nada tiga menit. Tapi 1967 adalah tahun rock n roll, 1967 jauh melampaui semuanya," ujar Miles.
Pada masa itu, musik adalah denyut nadi anak-anak muda. Menurut Miles, ada banyak sekali band, besar atau kecil. Band besar sekalipun tak ogah bermain di kerumunan kecil penonton. Suasana lebih rileks --apalagi dengan bantuan psikotropika.
"Itu masa di mana kamu pergi ke klub dan melihat Beatles duduk di pinggir panggung hanya untuk melihat band lain bermain. Juga melihat Jimi Hendrix datang jam 3 pagi hanya untuk ngejam."
Dari The Doors Hingga Beatles
The Doors membuka tirai 1967 dengan album perdana self titled yang dirilis pada 4 Januari. Album itu disambut meriah oleh publik maupun kritikus. Majalah Rolling Stone mengganjar 5 bintang, tak kurang! Majalah yang didirikan oleh Jann Wenner dan Ralp Gleason pada 1967 ini, menyebut album itu sebagai, "perkawinan sukses rock poetic dengan hard rock klasik. Sebuah mahakarya klasik yang sempurna." Maka wajar kalau majalah ini mendudukkan The Doors di posisi 42 dalam daftar 500 Album Terbaik Sepanjang Masa.
Pada Mei, giliran The Jimi Hendrix Experience yang merilis album debut, Are You Experienced. Ada dua versi album ini, yakni yang dirilis di Inggris, dan versi Amerika Utara. Di versi Amerika itu, ada lagu-lagu yang kemudian jadi legenda dan mitos. Mulai dari "Hey Joe", hingga "Purple Haze" yang dianggap sebagai pengalaman psikedelik Hendrix.
Baik The Doors maupun Jimi Hendrix Experience sama-sama merilis 2 album pada 1967. The Doors merilis Strange Days pada September. Album ini melahirkan hits "People Are Strange" dan "Love Me Two Times". Jimi Hendrix Experience merilis Axis: Bold As Love pada Desember. Album ini melahirkan banyak hits, seperti "Spanish Castle Magic", dan "Little Wing" yang intro-nya serupa keanggunan bunga plumeria. Juga ada lagu "Bold As Love" dan "Wait Until Tomorrow" yang sering dikover oleh pemusik seperti John Mayer.
Pink Floyd juga merilis album debutnya, The Piper at the Gates of Dawn. Album ini juga satu-satunya album Floyd yang menyertakan pendirinya, Syd Barret. Setelah album ini dirilis, kelakuan Barret menjadi tidak terkontrol karena konsumsi berat LSD. Ia perlahan kehilangan kemampuan bermusik, hingga akhirnya terpaksa didepak dan digantikan oleh David Gilmour.
- Baca juga: Satu-satunya Jejak Syd Barret
Band Velvet Underground juga merilis mahakaryanya, The Velvet Underground & Nico pada 1967. Album ini, selain mendapat apresiasi dari para kritikus, juga dikenal berkat sampulnya, pisang kuning, yang dibuat oleh seniman Andy Warhol.
Pemuncak tahun yang gegap gempita ini tentu album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band. Dirilis pada bulan Juni, di musim panas yang hangat. Album ini kerap dianggap sebagai salah satu album rock terbaik sepanjang masa. Rolling Stone menempatkannya di posisi puncak dalam daftar 500 Album Terbaik Sepanjang Masa.
Selain nama-nama di atas, tahun 1967 menganugerahi kita album-album dari The Who, The Monkees, Aretha Franklin, Procol Harum, hingga Love yang dikomandani Arthur Lee. Semuanya berpengaruh pada musisi-musisi generasi berikut.
Masih Menghasilkan Uang
Meski sudah dirilis 50 tahun lalu, album-album tua ini masih tetap bisa menghasilkan uang. Album penting ini terus dicetak ulang, tetap diputar di berbagai acara, bahkan juga menyelusup ke bentuk yang tak terpikirkan oleh mereka sebelumnya: digital.
Secara umum ada 4 bentuk penggunaan komersial musik yang menghasilkan royalti. Pertama, royalti dari hak rilis. Kedua, biasa disebut mechanical royalties, yakni royalti dari karya musik yang ada di kaset atau CD. Ada pula performance royalties, yakni royalti yang didapat dari penampilan lagu itu di panggung maupun televisi. Ada pula synch royalties, yakni royalti yang didapat jika musik atau lagu dipakai untuk film, iklan, dan pemakaian komersial lain. Sejak lahirnya internet, lahir pula digital rights, alias royalti yang didapat dari penggunaan musik di format digital.
The Beatles adalah salah satu band yang masih terus menghasilkan uang meski album-albumnya sudah berusia setengah abad. Mereka mendapat royalti dari berbagai sumber. Mulai dari penampilan teater musikal, penggunaan lagu untuk serial televisi, hingga penjualan digital. Maka wajar kalau John Lennon, yang meninggal pada 1980, masih bisa meraup royalti sekitar 12 juta dolar pada 2011.
- Baca juga: Sebuah Nama di Balik Kesuksesan The Beatles
Sumber pendapatan lain pada album-album berusia 50 tahun adalah penjualan box set edisi deluxe. The Beatles merilis album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band versi super deluxe berisi 6 CD. Harganya dibanderol 150 dolar, atau sekitar Rp1,9 juta. Begitu pula The Doors yang menjual album perdananya versi 50 tahun, dibanderol 65 dolar. Velvet Underground juga merilis ulang album Velvet Underground & Nico dalam 1.000 keping vinyl yang dibuat terbatas.
Setelah album band berusia 50 tahun, biasanya yang akan dibicarakan adalah hak untuk mereproduksinya. Ini masih jadi perdebatan sengit di luar sana. Namun yang kerap terjadi adalah, hak cipta itu bukan dimiliki oleh pembuat lagu, melainkan oleh label rekaman. Apalagi di era 50-an atau 60-an, pemusik biasanya kurang memahami soal hak cipta.
Mick Hucknall, penyanyi grup Simply Red, pernah menyebut kerja sama kontrak dengan label rekaman sebagai imoral. Master rekaman album Simply Red dimiliki oleh label, meski seluruh biaya rekaman dan promosi diambil dari pendapatan mereka. Selepas kontraknya kedaluwarsa, Hucknall memilih mendirikan label sendiri.
"Sepertinya tidak ada bisnis lain di mana kamu membayar semua pengeluaran, tapi barang itu jadi milik orang lain," ujarnya pada BBC.
Paul McCartney, pemain bass Beatles, sudah sejak lama berjuang mendapatkan hak cipta katalog Beatles yang saat ini dimiliki oleh Sony ATV. Kasus ini berada di bawah undang-undang US Copyright Act of 1976, yang mengatakan bahwa pencipta lagu bisa mengklaim hak cipta lagu mereka dari tangan label setelah 35 tahun, atau 56 tahun bagi lagu yang dirilis sebelum 1978. Setelah berjuang panjang, McCartney dan Sony ATV mencapai kesepakatan, yang detilnya belum diungkap ke publik.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti