Menuju konten utama

Makna Kue Keranjang Saat Hari Raya Imlek dan Filosofinya

Mengenal makna kue Keranjang dalam tradisi Hari Raya Imlek serta filosofinya. 

Makna Kue Keranjang Saat Hari Raya Imlek dan Filosofinya
Ilustrasi Kue Keranjang. foto/Istockphoto

tirto.id - Jelang perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina, Kue Keranjang mulai membanjiri berbagai pusat belanja. Kue keranjang adalah jenis penganan yang menjadi ciri khas Imlek dan selalu disajikan saat itu.

Tidak hanya warga Tionghoa, kini hampir semua kalangan masyarakat Indonesia juga dapat menikmati kue keranjang yang memiliki bentuk bulat mirip sebuah keranjang kecil.

Bentuk khas ini berasal dari proses pembuatan kue yang dicetak pada wadah berbentuk keranjang mini.

Nama lain dari kue keranjang adalah Dodol Cina, Kue Bakul, atau Kue Manis. Mengapa disebut dodol, karena bahan baku kue ini hampir sama dengan bahan dasar pembuatan dodol yaitu tepung ketan dan gula merah, demikian laman Sastra Cina UB melansir.

Selain itu, tekstur kue keranjang yang kenyal dan lengket juga menyerupai jenang dodol yang banyak ditemukan di berbagai daerah di tanah air. Ditambah cita rasanya yang manis legit, kue keranjang seperti versi lain dari dodol.

Makna Kue Keranjang

Dalam bahasa Mandarin, kue keranjang disebut “nian gao” atau dalam dialek Hokkian namanya adalah “ti kwe”.

Nian bermakna “lengket” sedangkan gao bermakna “kue” sehingga makna kue keranjang adalah kue lengket.

Bila diartikan secara harfiah, melalui huruf-huruf yang digunakan pada bahasa Mandarinnya, maka kue keranjang atau nian gao bisa diartikan juga sebagai “Tahun Tinggi”.

Makna Filosofi Kue Keranjang

Menyajikan kue keranjang di setiap perayaan tahun baru Imlek bagi orang Tionghoa memiliki makna filosofi tersendiri.

Kue ini awalnya digunakan sebagai sesaji pada persembahyangan leluhur mereka yang waktunya dimulai sepekan jelang Imlek.

Tujuannya adalah sajian untuk menyenangkan Dewa Tungku (Cao Kun Kong) agar memberikan laporan amal yang menyenangkan raja surga.

Sebagai sajian untuk leluhur dan dewa, kue ini tidak akan dimakan hingga datang waktunya Cap Go Meh yakni malam ke-15 setelah Imlek.

Tak hanya sebagai sesaji, kue keranjang juga disantap dan dibagi-bagi kepada keluarga besarnya. Orang Tionghoa percaya dengan menghidangkan kue-kue dan sajian manis di awal tahun, maka hal yang manis dan membahagiakan kehidupan akan hadir di sepanjang tahun mendatang.

Tekstur kue yang lengket, kenyal dan ulet melambangkan keuletan dan kegigihan dalam bekerja, Antara News melansir.

Sedangkan bentuknya yang bundar adalah lambang dari sifat kekeluargaan yang terikat tanpa batas, terus bersatu, rukun dan bulat tekad untuk menyongsong tahun yang baru.

Imlek sendiri menjadi momen khusus bagi warga Tionghoa untuk berkumpul dengan keluarga besar yang merantau dan datang dari berbagai wilayah.

Pembagian kue keranjang adalah lambang kemakmuran dan harapan akan mendapat berkah di sepanjang tahun. Bukan untuk diri sendiri, berkah itu juga dibagikan kepada orang lain untuk membahagiakan sesama.

Kue keranjang awet dan dapat disimpan dalam jangka waktu lama, yang menjadi simbol relasi yang awet dan bertahan lama, baik itu untuk keluarga maupun rekan bisnisnya.

Proses pembuatan kue keranjang yang lama serta melelahkan (11 – 12 jam proses pengadukan) menyimpan makna kesabaran, kegigihan, ulet dan daya juang serta teguh hati dalam mencapai cita-cita di kehidupan.

Selain itu diyakini dalam membuat kue keranjang, seseorang harus memiliki pikiran bersih, jernih, dan konsentrasi tinggi agar hasilnya baik dan lezat. Jika dilanggar maka hasil kue keranjang akan pucat dan tidak enak dikonsumsi.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Cicik Novita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Cicik Novita
Penulis: Cicik Novita
Editor: Yandri Daniel Damaledo