tirto.id - "Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul."
Pengakuan itu ditulis Mahbub Djunaidi dalam esainya berjudul "Kesatria" (Kompas, 14/6/1985). Sebagai penulis, ia terkenal tangkas menangkap realitas keseharian buat diangkut ke dalam tulisan. Sangat mudah menemukan ihwal remeh temeh seperti nasi goreng di restorasi kereta api, merek kecap, hewan peliharaan, sampai kegiatan arisan ibu-ibu, dalam esai-esainya.
Seperti diungkap dalam Mahbub Djunaidi Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern: Sebuah Biografi (2001), pendiri Kompas sekaligus kawan Mahbub, Jakob Oetama, menyebut hal itu sebagai “keunikan dan melampaui zaman. Tidak seperti kebanyakan penulis yang cenderung analisis dan menjabarkan ide, Mahbub menampilkan peristiwa, sosok orang, dan kejadian untuk menuangkan ide, sehingga lebih mudah dicerna pembaca” (hlm. 175).
Esai Mahbub berjudul "Kecuali"(Kompas, 30/11/86) bisa jadi contoh. Ia membuka esai yang berpokok pada kritik terhadap kelambanan pemerintah dalam memajukan transportasi itu, dengan menceritakan tetangganya bernama Sri Lestari yang tak pernah lestari soal percintaan.
“Apanya yang lestari? Pacarnya saja tidak lestari. Dalam dua tahun belakangan ini tidak kurang dari 4 kali berganti pacar. Berarti, seorang pacar untuk satu semester. Fakta ini mengakibatkan opini gadis-gadis sebayanya terpecah-pecah. Ada yang kagum. Ada yang iri. Ada yang mencibirkan bibir. Dan ada pula yang menganggapnya ‘subversif’.”
Trik bercerita seperti itu kerap digunakan Mahbub untuk menggiring pembaca sampai pada pokok persoalan. Hal ini tak lepas dari anggapannya bahwa menulis seperti pencak silat. “Ada yang disebut kembangan, jurus dan isi.” Cerita-cerita itu merupakan kembangan. Sementara jurusnya adalah humor yang menjadi ciri khasnya. Biasanya disajikan lewat satir.
Dengan jurus macam itu, Mahbub bisa mengkritik rezim Soeharto dan pihak-pihak lain tanpa menyakiti perasaan objek kritiknya. Terbukti ia tak pernah dicekal Orde Baru karena tulisan. Kecuali beberapa tulisannya tentang Pramoedya Ananta Toer yang ditolak beberapa media.
Selain itu, Mahbub juga terkenal berani "main" bahasa. Dalam tulisannya lumrah ditemui campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Seperti kata ane, ente, gue, elu.
Gaya macam itu, menurut Goenawan Mohammad dalam kata pengantar untuk kumpulan esai Mahbub Kolom Demi Kolom (1995), “meneroboskan bahasa Indonesia melewati jaring-jaring bahasa takut-takut yang menguasai pidato dan tulisan di koran-koran” (hlm. 6).
Bahkan, pendiri Tempo tersebut menyebut, “kelebihan Mahbub dalam kolom-kolomnya yang belum tertandingi oleh siapapun, ialah bahwa ia bisa mengatasi dan mempergunakan bahasa Indonesia dengan kecakapan seorang mime setingkat Marcel Marceau. Kata-kata, kalimat-kalimat, ia gerakkan dalam pelbagai ‘perumpamaan’ yang tidak pernah membosankan karena selalu tak terduga.”
Misalnya, pada deskripsi Mahbub soal Tempo kepada Goenawanberikut:
Majalah yang dipimpinnya itu seperti pisang dempet, langka dan unik, karena menganut jurnalistik gaya baru, menggabung kaidah pers dan sastra, dua jenis makhluk yang dulunya saling mendelik dan cela. Itu sebabnya kebanyakan orang membacanya sambil jongkok, semata-mata karena asyik dan kenes, mempermainkan bahasa seakan bahasa itu milik om dan tantenya sendiri.
Warisan Betawi
Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4, menilai gaya Mahbub tersebut sebagai warisan jurusan Tanah Abang. “Tradisi berhikayat model almarhum Pak Zahid, tukang cerita Betawi yang kuat menceritakan dongeng-dongeng kocak semalam suntuk” ("Mahbub dan Bani Sadr", Tempo, 25/7/1981).
Sementara budayawan Betawi sekaligus sahabat Mahbub, Ridwan Saidi, menyatakan kebolehan Mahbub itu terinspirasi dari Kwee Kek Beng. Ia adalah penulis sketsa asal Betawi yang masyhur pada zaman Perang Dunia II dan pengampu tetap rubrik "Djamblang Kotjok" di harian Sin Po.
Mahbub Betawi tulen. Ia lahir di Tanah Abang, Jakarta, pada 22 Juli 1933. Ia berasal dari golongan keluarga pemeluk Islam yang kuat. Ayahnya bernama Muhammad Djunaidi, seorang pegawai Kementerian Agama di era revolusi fisik yang mengenyam pendidikan kultur Belanda dan Islam. Atau, dalam bahasa Mahbub, ayahnya “bersiul bagai Marsose, bersikap seorang kiai”. Ibunya bernama Muhsinati, wanita berdarah campuran yang menurutnya “lugu bagaikan sehelai kertas putih untuk suaminya, yang bisa ditulis sesuka hatinya”.
Pada usia 7 tahun, saat Agresi Militer Belanda, Mahbub sekeluarga mengungsi ke Solo. Di kota ini, ia belajar di sebuah madrasah kenamaan bernama Mambaul Ulum. Di sekolah itu ia bertemu dengan Kiai Amir yang memperkenalkannya dengan karya-karya George Orwell, Mark Twain dan Karl May. Tiga penulis yang, menurut Said Budairy, ia kagumi sampai mati dan mempengaruhi karyanya.
Said menyatakan, Mahbub juga gandrung dan terpengaruh karya Rusia dan sastrawan Idrus. Jejak pengaruh Idrus bisa dilacak dalam roman karangan Mahbub, Dari Hari ke Hari, yang memenangi sayembara sastra Dewan Kesenian Jakarta pada 1974.
Karier penulisan Mahbub dimulai saat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerpennya, Tanah Mati, dipublikasikan di majalah Kisah pimpinan Paus Sastra Indonesia H.B Jassin. Sebuah hal yang menurutnya tak terlupakan, karena pertama kali karyanya dipublikasikan di sebuah majalah.
Tamat SMP tahun 1952, Mahbub melanjutkan ke SMA Budi Utomo, Jakarta. Di sekolah ini, ia pertama kali mengurus majalah sebagai pimpinan redaksi Siswa. Dalam edisi perdana majalah tersebut pada 6 Desember 1954, ia menulis kolom nomor perdana berjudul Yang Masih Harus Dijelmakan. Said Budairy menilai kolom tersebut menjadi jejak konsistensi Mahbub dalam kemanusiaan sejak remaja hingga akhir hayatnya.
Diluar kegiatan majalah sekolah, Mahbub juga rajin menulis esai, puisi, dan cerpen untuk majalah lain. Tercatat, tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah majalah bergengsi saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman, Star Weekly, dan Cinta.
Selain menulis karyanya sendiri, Mahbub juga aktif sebagai penerjemah. Di antara terjemahannya adalah Cakar-Cakar Irving (Art Buchwald), Hidup Baru Mulai di Umur 40 Tahun (Robert Paterson), 80 Hari Keliling Dunia (Jules Verne) yang menjadi kado ulang tahun salah satu anaknya, Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hassan Heikal) yang ditulis di penjara pada 1978, Binatangisme (George Orwell), dan yang paling terkenal 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Micheal H. Hart).
Sementara karier jurnalistiknya dimulai pada 1958 di Duta Masyarakat, surat kabar milik Partai Nahdlatul Ulama (NU). Di kemudian hari, ia menjadi pemimpin redaksi koran itu. Sebagai surat kabar yang minim pendanaan, bisa dikatakan ia jungkir balik dalam mengurusnya. Selama bertahun-tahun, ia biasa menulis 1-2 tajuk rencana dalam sehari.
Di tangan Mahbub, surat kabar ini menjadi salah satu yang paling konsisten membela Pramoedya Ananta Toer di hadapan Orde Baru. Kelak, setelah surat kabar ini tak terbit lagi, pembelaan terhadap pengarang Tetralogi Buru tersebut terus dilakukannya. Salah satunya dengan mati-matian meminta Mendikbud Fuad Hasan membaca karya-karya Pramoedya.
“Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram mendidik kita,” kata Mahbub suatu kali kepada Ridwan Saidi.
Pramoedya juga mengagumi sosok Mahbub. Koesalah Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (2006), menceritakan Pramoedya yang biasanya enggan diminta sambutan, maju ke depan forum saat peluncuran Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi pada 1996. Pramoedya mengatakan, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.
Pembelaannya terhadap Pramoedya merupakan wujud konsistensinya melawan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal yang sama dilakukannya saat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dengan otoritasnya, ia memulihkan kembali status wartawan Josoef Isak yang dicap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membantu usaha penerbitannya, Hasta Mitra.
Pendidikan Politik Lewat Tulisan
Selain penulis, Mahbub merupakan politikus dan aktivis. Ia merupakan anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) saat SMA, anggota Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Ketua Umum pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Wakil Ketua Umum Tanfidzhiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan Wakil Ketua DPP PPP.
Namun, sebagai politikus Mahbub lebih suka berada di luar lingkaran kekuasaan. Ia menolak tawaran Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo untuk jadi wakil gubernur DKI Jakarta. Pada pemilu 1977, ia pun memilih mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Timor-Timor—daerah pemilihan yang mustahil PPP dapat konstituen. Satu-satunya jabatan politik yang pernah didudukinya adalah anggota DPR-GR/MPRS pada 1960.
Sebaliknya, seperti yang dikatakan Ridwan Saidi, Mahbub lebih suka menulis sampai akhir hayat. Menurut budayawan Betawi itu, menulis adalah aktivitas politik Mahbub. Lewat kolom-kolomnya, Mahbub memberi pendidikan politik. Salah satunya bisa dijumpai dalam "'Buku Petunjuk' Pendidikan Politik Sejak Dini" (Kompas, 10/5/1981).
Dengan "kembangan" ala Mahbub, cerita pelesiran bapak-anak ke kebun binatang disulap jadi modul singkat penjelasan tetek bengek ihwal politik.
“Pernah mendengar tentang hak asasi? Tentu pernah, walau mungkin hanya samar-samar. Itu penting kamu ingat-ingat mulai sekarang, karena hak asasi itu merupakan harta bendamu yang paling berharga. Jauh lebih berharga daripada rumahmu, sepedamu, sepatu roda dan bola tendangmu, digabung jadi satu. Sekarang barangkali belum begitu terasa arti pentingnya, tapi kalau kamu sudah dewasa kelak, dia akan merupakan suatu taruhan. Bisa membuatmu jadi manusia yang punya harga diri, tapi bisa juga membuatmu seperti seekor cacing.”
Jakob Oetama juga mengakui perjuangan Mahbub dalam memberikan pendidikan politik. Ia menyebut Mahbub sebagai seorang reformis yang menginginkan perubahan secara prosedural lewat pemilihan umum terbuka dan demokratis. Jalannya melalui politik praktis dan penguatan civil society seperti NU.
Untuk yang terakhir disebut, dalam memperjuangkan gagasannya Mahbub sempat berbeda pandangan dengan Abdurrahman Wahid. Pada Muktamar NU 1984, Mahbub memandang NU perlu menerapkan khittah plus, yakni organisasi tersebut tidak sekadar menjadi jamiah keagamaan, tapi tetap berpolitik sebagai partai.
Sebab, menurut Mahbub, dengan begitu organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut tak akan menjadi kuno dan dapat menjadi kekuatan besar untuk mendobrak terwujudnya demokrasi. Namun, gagasan tersebut akhirnya kalah dengan mayoritas pengurus NU yang mendukung gagasan Abdurrahman Wahid agar organisasi ini kembali ke khittah. Tidak berpolitik sama sekali.
Pada 11 April 1978, akibat keluar masuk kampus buat orasi menentang Sidang Umum MPR, Mahbub dituduh subversif dan dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru selama lebih kurang setahun. Selama di penjara, ia sempat menulis sebuah novel berjudul Angin Musim yang terbit pada 1985. Sejak saat itu, kesehatannya terus menurun.
Mahbub tak sempat menikmati demokrasi yang diperjuangkannya. Ia meninggal pada 1 Oktober 1995 di Bandung. Kematiannya membuat pilu keluarga dan sahabat-sahabatnya. Pramoedya, yang seminggu setelah pemakaman menziarahi kuburnya, berkata di depan pusara Mahbub:
“Bung orang baik. Semoga tenang dan bahagia di sana.”
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan