Menuju konten utama

Mahasiswa Indonesia dan Amarah Suci dari Jalan Tamblong

Mahasiswa Indonesia terbit pertama kali pada 19 Juni 1966. Formatnya tabloid hitam putih, setebal delapan halaman.

Mahasiswa Indonesia dan Amarah Suci dari Jalan Tamblong
Rahman Tolleng meninggal dunia. antarafoto/ Reno Esnir

tirto.id - Setahun berlalu sejak mulai terbit, pengelola Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat merasa perlu menegaskan ideologi. Sepucuk editorial muncul pada edisi 19 Juni 1967 berjudul “Di Sini Berdiri dan Kami Suarakan Amarah Suci Sebuah Angkatan.”

“Mereka yang terganggu tidurnya oleh suara kami dan menginginkan kami bungkam, hendaknya berjaga-jaga dari semula: karena suara kami akan tetap lantang untuk selamanya…Sedih hati kami melihat manusia, yang setelah hukum ditegakkan harus dikurung seperti hewan buas, menempuh hidup yang terasing di antara jeruji besi atau tersungkur mencium debu yang selama ini diinjaknya,” demikian petikan editorial tersebut.

Tak ada nama menyertai editorial tersebut. Namun, banyak orang yakin, penulisnya adalah pemimpin redaksi koran mingguan ini, yaitu Rahman Tolleng.

Pada editorial itu, Mahasiswa Indonesia juga meneriakkan keyakinan tentang pentingnya ilmu pengetahuan untuk menuju kemajuan. Indonesia harus meninggalkan takhayul dan irasionalitas.

“…sesungguhnya ilmu pengetahuan itu ragi pembaruan…Oleh sentuhannya, akal berjuta manusia bangkit dari kegelapan dan melihat kenyataan dalam cahaya terang benderang. Dan setan-setan serta hantu gemetar karenanya: bahkan seorang tiran gemetar di depan akal yang terang,” tulis Mahasiswa Indonesia.

Editorial itu dianggap salah satu tonggak penting dalam khazanah pemikiran politik Indonesia. Salah satunya terpilih masuk antologi Indonesian Politics and Society: A Reader (2003) yang disunting David Bourchier dan Vedi R Hadiz.

Mahasiswa Indonesia terbit pertama kali pada 19 Juni 1966. Formatnya tabloid hitam putih, setebal delapan halaman – belakangan terkadang 12 halaman. Jangan bayangkan reportase mendominasi di sana. Jenis tulisan yang berjibun adalah esai atau artikel opini. Sejumlah cendekiawan rajin mengirim tulisan. Misalnya, Soe Hok Gie dan Wiratmo Sukito.

Di sana tertulis ada tiga pemimpin umum, yaitu Ryandi S., Awan Karmawan Burhan, dan Iwan Ramelan. Nama terakhir ini sejatinya nama samaran Rahman Tolleng. Konon tak enak hati merangkap jabatan, ia menggunakan alias untuk salah satunya.

Terkait nama, penjelasan singkat kiranya diperlukan. Dalam catatan sarjana Perancis, Francois Raillon, pada masa itu ada aturan bahwa pers daerah harus punya “patron” di Jakarta. Tolleng suka mutu redaksional koran Mahasiswa Indonesia yang terbit di Jakarta. Ia pun meminta izin untuk menggunakan nama tersebut.

Untuk kantor, diperoleh bangunan di Tamblong Dalam No 1, jalan kecil yang berjarak 1,5 kilometer dari Jalan Braga, Bandung. Di sini, sejumlah aktivis muda kerap berkumpul dan berdiskusi. Di antaranya Rachmat Witoelar, Djoko Sudyatmoko, dan Sarwono Kusumaatmadja. Mareka ahirnya dikenal sebagai Kelompok atau Grup Tamblong. Tolleng paling “dituakan” di sana.

Edisi Jawa Barat pun terbit. Tapi, lanjut Raillon, tak lama berselang edisi pusat justru terhuyung-huyung, sampai akhirnya tutup. Sementara, edisi Jawa Barat terus berkibar dan menorehkan catatan khusus dalam sejarah pers Tanah Air.

Mitos Para Mahasiswa

Tolleng sudah senior di kalangan mahasiswa saat itu. Ia lahir 5 Juli 1937 di Sinjai, Sulawesi Selatan. Pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Tolleng pindah ke Bandung untuk belajar di jurusan Farmasi ITB. Kemudian pindah lagi ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran. Di luar kampus, Tolleng aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang berafiliasi ke Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sejak awal 1960-an, Tolleng sudah tak aktif kuliah, ia harus bergerak di bawah tanah untuk menghindari terkaman aparat intelejen. Ia dianggap terlibat kegiatan anti-Sukarno. Karena jarang terlihat, Tolleng pun menjelma semacam mitos: dibicarakan, dihormati, tapi tak bisa ditemui.

Di Bandung, menurut Sarwono Kusumaatmadja, ada dua tokoh yang dianggap sebagai “otak” aktivisme politik mahasiswa pada 1960-an. Pertama adalah Suripto yang kelak ikut mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Satunya lagi adalah Rahman Tolleng.

“Sebagai mahasiswa yunior, kami tidak pernah melihat wajah kedua orang itu…Mereka adalah orang-orang yang beregerak di bawah tanah sehingga keberadaannya tidak perlu diketahui banyak orang…Di mata kami, Suripto dan Rahman Tolleng adalah mitos,” tulis Sarwono dalam memoarnya, Menapak Jalan Tengah.

Mahasiswa Indonesia menjadi cara Tolleng untuk muncul di publik, tak lagi di bawah tanah. Segera Mahasiswa Indonesia menjadi lawan politik Sukarno, berada di garis terdepan dalam de-Sukarno-isasi.

Seturut kajian Raillon, Mahasiswa Indonesia menyodorkan sejumlah argumen tentang perlunya menjatuhkan Sang Proklamator: Sukarno dianggap lambang dan penanggung jawab sistem yang tiranik dan tidak kompeten. Jika Sukarno tetap menjadi kepala negara, akan tercipta dualisme politik yang melumpuhkan dan memecah-belah Indonesia.

Tulisan-tulisan keras terus bermunculan. Lihat, misalnya, dalam artikel “Istana Menantang Orde Baru,” penulis bernama Bonar S. membandingkan Sukarno dengan Kaisar Nero: membangun Roma, berpesta-pora, lalu akhirnya membumihanguskan Roma.

Selain serangan-serangan politis ke Sukarno, Mahasiswa Indonesia juga memberi ruang pada isu-isu kemanusiaan. Soe Hok Gie memprotes pembantaian puluhan ribu anak bangsa pasca-G30S. Protes disampaikannya dengan menulis esai “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali” di mingguan tersebut.

Mahasiswa Indonesia tak pelak berdiri di belakang Orde Baru, berambisi melepaskan Indonesia dari cengkeraman Orde Lama yang dekaden.

“Demikianlah antara 1966-1969, Mahasiswa Indonesia berpartisipasi aktif (dan tak terhindarkan), bukan hanya dalam debat, tetapi juga dalam formulasi bertahap – namun pasti – dari doktrin dan strategi Orde Baru,” tulis Raillon dalam studinya yang keren dan menjadi referensi utama tulisan ini.

Infografik Amarah Suci dari Jalan Tamblong

Infografik Amarah Suci dari Jalan Tamblong. tirto.id/Ecun

Sukarno akhirnya makzul. Soeharto naik ke puncak kekuasaan. Mahasiswa Indonesia berhadapan dengan event politik baru: Pemilu 1971.

Sejumlah anggota Kelompok Tamblong direkrut ke Golkar dan menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 1971. Tolleng sendiri tak harus berkampanye untuk terpilih. Sebagai anggota DPR-GR sejak 1968, ada jatah kursi di Senayan. Tolleng mengatakan, Golkar merupakan kekuatan baru yang menyokong pemerintahan Soeharto yang ingin melakukan modernisasi dan pembangunan, berbeda dengan partai-partai politik.

Pergeseran sikap yang belakangan condong ke Golkar, disikapi kritis oleh sesama pentolan Angkatan 66, Arief Budiman.

“…adalah hak mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar untuk berpihak, seperti yang terjadi sekarang ini, kepada Golongan Karya…Maka adalah wajar fungsi social control-nya jadi sangat kurang, fungsi politiknya jadi tambah mencolok…mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jabar, dari surat kabar kini beralih menjadi pamflet,” tulis Arief dalam “Dari Surat Kabar ke Pamflet” (Mahasiswa Indonesia 31 Juni 1971).

Menjawab Arief, redaksi Mahasiswa Indonesia menegaskan bahwa koran ini bukan penerbitan biasa. Ini adalah media perjuangan, sebuah journal of ideas, jurnal dari gagasan-gagasan, tidak pernah berdiri netral, senantiasa berpihak.

Bulan Madu Berakhir

Usai pemilu, waktu Tolleng semakin tersita untuk urusan Jakarta. Selain menjadi anggota DPR, ia menjabat Pemimpin Redaksi Suara Karya, koran corong Golkar. Jabatan pemimpin redaksi Mahasiswa Indonesia diserahkan ke Rum Aly. Ia masih pemimpin umum.

Lalu politik kembali bergerak menuju titik didih dengan isu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Tien Soeharto. Protes digelorakan aktivis seperti Arief Budiman dan HJ Princen. Menurut mereka, proyek itu hanya memboroskan uang rakyat dan bukan prioritas ketika perekonomian Indonesia baru berbenah usai porak-poranda di Orde Lama.

Senada dengan itu, Mahasiswa Indonesia meminta pemerintah memperhatikan kritik-kritik para aktivis dan mahasiswa. Setiap sen duit negara harus dihemat, dipakai seproduktif mungkin untuk kepentingan rakyat banyak.

“Kalau kepada rakyat kita menganjurkan untuk sedikit menekan konsumsinya – yang sudah di bawah ukuran layak itu – untuk ditabungkan, maka tidaklah sepantasnya, apabila masih ada proyek-proyek pembangunan yang bersifat mercusuar, dengan biaya nonbudgetair sekali pun,” tulis editorial berjudul “Keprihatinan dalam Pembangunan” (Januari 1972).

Bulan madu mendekati akhir. Orde Baru mulai memperlihatkan watak koruptif, disesaki konflik kepentingan, dan menindas. Penyimpangan-penyimpangan kekuasaan pun terus dikritisi Mahasiswa Indonesia.

Titik didih terjadi saat isu strategi pembangunan dan dominasi modal asing muncul massif di permukaan. Tulisan-tulisan diterbitkan, diskusi-diskusi digelar. Intinya: modal asing meminggirkan rakyat, negara dijual untuk kepentingan segelintir elite. Mahasiswa Indonesia ikut dalam protes kolektif ini.

Semakin panas lantaran ada rivalitas di kalangan militer, di antara Pangkopkamtib Jenderal Sumitro dan asisten pribadi Soeharto, Jenderal Ali Moertopo. Mingguan bertiras sekitar 20 ribu eksemplar ini dianggap lebih dekat dengan Soemitro.

Saat Malari meletus pada 15 Januari 1974 dan berbuntut kerusuhan, Mahasiswa Indonesia terdampak: dibreidel bersama sejumlah media massa lain. Alasan formalnya: mingguan tersebut terus melakukan provokasi-provokasi yang mengganggu ketertiban dan keamanan.

Bersamaan dengan itu, ratusan orang ditangkap. 45 di antaranya terus ditahan, termasuk Rahman Tolleng. Mereka dituding sebagai otak unjuk rasa dan kerusuhan. Ia mendekam di bui selama 16 bulan tanpa pernah diadili.

Keluar tahanan, Tolleng di-recall dari Senayan. Mahasiswa Indonesia tak pernah lagi meneriakkan amarah suci. Rezim yang dulu dibela belakangan mengayunkan pedang ke lehernya.***

Baca juga artikel terkait MAHASISWA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yus Ariyanto
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono