Menuju konten utama

LPSK Jelaskan Arti Safe House Tanggapi Kisruh KPK-Tim Angket

LPSK memperjelas makna "safe house" dan dasar hukumnya yang sempat menuai polemik antara Pansus Hak Angket KPK dan KPK.

LPSK Jelaskan Arti Safe House Tanggapi Kisruh KPK-Tim Angket
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pertemuan untuk membicarakan saksi kasus korupsi di gedung KPK Jakarta, Kamis (3/11). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Istilah "safe house" atau rumah aman beberapa waktu belakangan ramai dibicarakan setelah Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK menilai "safe house" yang dimiliki lembaga anti-rasuah itu tidak sesuai dengan undang-undang.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, dalam keterangan pers mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, pada Pasal 15 huruf a menyebutkan KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.

UU tersebut tidak menyebutkan secara jelas pengelolaan "safe house" oleh KPK, namun, memberi penjelasan perlindungan dalam UU KPK mencakup pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi, termasuk perlindungan hukum.

Berbeda dengan yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 mengenai Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 12 A ayat (1) butir f hingga h menyatakan LPSK berwenang mengelola rumah aman, memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman, serta melakukan pengamanan dan pengawalan.

"Saksi yang ditempatkan di "safe house" adalah terlindung, baik saksi, korban maupun pelapor, dalam kondisi khusus yang sangat terancam keselamatan jiwanya sehingga penempatan dalam tempat itu merupakan perlindungan yang paling maksimal," kata Edwin.

LPSK menempatkan saksi dalam "safe house" agar terlindung tidak mendapatkan tindak kekerasan dan ancaman yang dapat memengaruhi keterangan dalam perkara yang ia laporkan atau yang ia ketahui.

Pengelolaan "safe house" berbeda dari rumah tinggal pada umumnya karena ada pengamanan, pengemudi yang terampil serta lokasi yang mudah dituju bila terjadi keadaan darurat.

Faktor keamanan, kenyamanan dan kerahasiaan menjadi yang utama untuk "safe house".

"Jika keberadaannya diketahui pihak luar, tempat itu tidak layak lagi dijadikan "safe house"," jelasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Wewenang KPK, Taufiqulhadi menyatakan penegak hukum seperti kepolisian, Kejaksaan Agung dan KPK tidak boleh memiliki "safe house" untuk saksi yang sedang diperiksa karena merupakan wewenang LPSK.

Ia sedang menanggapi pernyataan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah yang menilai salah satu pimpinan Pansus Angket tidak bisa membedakan antara safe house untuk kebutuhan perlindungan saksi, dengan rumah sekap.

Menurut Taufiqulhadi, lembaga penegak hukum yang mendirikan safe house melakukan pelanggaran karena tidak ada dasar hukum.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Panitia Khusus Hak Angket KPK Masinton Pasaribu mengatakan mendapat informasi bahwa penyidik KPK memiliki dua rumah sekap yang digunakan untuk mengondisikan saksi palsu untuk suatu perkara, di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Depok, Jawa Barat.

Febri Diansyah, menanggapi pernyataan Masinton, menyayangkan ada pihak yang tidak dapat membedakan "safe house" untuk perlindungan saksi dengan rumah sekap.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri