Menuju konten utama

LPI Pamekasan Akui Kesalahan Sweeping, Penahanan Pelaku Ditunda

Kapolres Pamekasan membantah penundaan penahanan pelaku karena ada tekanan dari luar. Proses hukum dari tindak sweeping yang memicu bentrok massal itu tetap berlanjut.

LPI Pamekasan Akui Kesalahan Sweeping, Penahanan Pelaku Ditunda
Ilustrasi kerusakan akibat bentrok. ANTARA FOTO/Risky Andrianto.

tirto.id - Kepala Polisi Resor (Kapolres) Pamekasan AKBP Teguh Wibowo mengatakan Laskar Pembela Islam (LPI) menyadari tindakan penyisiran atau sweeping yang dilakukan di Desa Ponteh, Kecamatan Galih, Pamekasan, Madura pada Jumat (19/1/2018) adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan warga setempat.

Ada dua tersangka bentrok yang ditangguhkan penahanannya, demikian menurut Teguh sebagaimana dilaporkan Antara. Penangguhan tersebut adalah permintaah Panglima LPI, kuasa hukum, dan beberapa tokoh di Pamekasan. Pihak penjamin yang mengajukan penangguhan juga berjanji kedua tersangka kasus bentrok tidak akan kabur atau menghilangkan barang bukti.

"Atas dasar itulah, maka kami memenuhi permohonan penangguhan kedua anggota LPI Pamekasan," ujar Teguh pada Jumat (26/1/2018) malam.

Kendati penahanan tersangka kasus bentrok ditangguhkan, akan tetapi proses hukum tetap berlanjut. Teguh juga membantah rumor bahwa penangguhan penahanan dua tersangka kasus bentrok massa itu karena tekanan dari luar.

Dua anggota LPI Pamekasan yang ditangkap polisi masing-masing berinisial MH dan AH. Mereka ditangkap di rumah masing-masing. MH dijerat dengan Pasal 170 ayat 1 Subsider Pasal 351, sedangkan AH dijerat dengan Pasal 170 ayat 1 Subsider Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kekerasan Terhadap Orang dan Barang dengan ancaman kurungan penjara 5 tahun 6 bulan.

Kasus bentrok massal akibat aksi penyisiran rumah warga yang diduga sebagai tempat prostitusi ilegal oleh LPI Pamekasan telah menyebabkan sebanyak 10 orang korban luka-luka dari kedua belah pihak. Penyisiran dilakukan karena ormas tersebut ingin Pamekasan menjalankan syariat Islam secara total.

Dalam pandangan LPI, Kabupaten Pamekasan telah menetapkan kebijakan politik sebagai kabupaten yang menerapkan syariat Islam melalui program yang telah dicanangkan selama ini, yakni Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam).

Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Madura Abd Aziz Muhammad Syahid telah meminta maaf kepada masyarakat Pamekasan atas tindakan penyisiran di Desa Ponteh yang berujung pada terjadinya bentrok massal dengan warga setempat.

Aziz juga menyadari bahwa tindakan ormas Islam yang dipimpinannya merupakan bentuk pelanggaran hukum. Indonesia merupakan negara hukum, bukan negara Islam, sehingga semua bentuk perbuatan harus mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku, jelasnya.

"Kami meminta maaf kepala pihak kepolisian Polres Pamekasan, warga Pamekasan dan Madura pada umumnya, karena mungkin yang kami lakukan telah mengganggu kamtibmas," ujar Aziz di Mapolres Pamekasan, Jumat (26/1/2018).

Ia menambahkan kejadian itu akan menjadi pelajaran bagi dirinya agar kedepan bisa lebih komunikatif dengan aparat keamanan. Baginya polisi adalah masyarakat dan masyarakat juga bagian dari polisi.

"Kami juga siap mengikuti proses hukum yang telah ditetapkan oleh aparat kepolisian Polres Pamekasan, dan kedepan, kami akan selalu berkoordinasi dengan polisi," kata pria yang akrab disapa "Ra Aziz" itu.

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan aksi penyisiran yang dilakukan oleh LPI di Pamekasan nyata-nyata sebagai tindakan melawan hukum dan mendesak aparat kepolisian melakukan tindakan hukum dengan tegas.

"SETARA Institute mendesak pihak kepolisian untuk mengambil tindakan hukum yang memadai dan menjerakan kepada pelaku sweeping brutal di Pamekasan Madura," kata Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Selasa (23/1/2018).

Lebih lanjut Hendardi menjelaskan tindakan penyisiran yang mendapat perlawanan dari masyarakat setempat tersebut, telah mengakibatkan jatuhnya korban luka-luka akibat tindak kekerasan, mulai dari pemukulan dengan pentungan hingga penyiraman air cabai.

Selain itu, tambahnya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh LPI-FPI tersebut telah mengakibatkan trauma di kalangan anak-anak dan perempuan.

Atas kejadian tersebut, SETARA Institute mengingatkan kepada pemerintah dan publik tentang beberapa hal berikut: Pertama, tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh LPI-FPI semakin menegaskan watak kekerasan yang tidak beradab yang ditampilkan secara berpola dan konsisten oleh FPI.

Kedua, FPI, sebagaimana kelompok-kelompok laskar vigilante lainnya selalu memanfaatkan masyarakat sebagai objek untuk menunjukkan eksistensi dan daya tawar diri mereka, terutama dalam perhelatan politik yang mulai menghangat di Jawa Timur.

Ketiga, kelompok-kelompok kekerasan ini seringkali menggunakan tameng agama dan klaim mewakili aspirasi mayoritas muslim dalam melakukan tindakan-tindakan organisasional untuk kepentingan mereka sendiri.

"Padahal umat Islam di Indonesia pada umumnya mengimani Islam yang berorientasi rahmatan lil alamiin, termasuk umat Islam di Madura," kata Hendardi.

Keempat, impunitas atau ketiadaan tindakan hukum yang memadai dan menjerakan dari pemerintah atas aksi-aksi mereka di berbagai tempat telah mengundang pengulangan tindakan oleh FPI dan laskar-laskar keagamaan lainnya.

Menurut Hendardi, ketiadaan hukuman itu selalu mengundang kejahatan yang lebih besar (impunitas semper ad deteriora invitat).

Setara Institute mendesak pihak kepolisian untuk mengambil tindakan hukum yang memadai dan menjerakan kepada pelaku sweeping brutal di Pamekasan Madura.

"Setara juga mendesak pemerintah untuk memberikan tindakan hukum secara organisasional kepada FPI dan ormas-ormas milisional lainnya yang secara berpola melakukan tindak kekerasan, tindakan melawan hukum, dan aksi main hakim sendiri," kata Hendardi.

Baca juga artikel terkait AKSI SWEEPING ORMAS

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan