tirto.id - Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Yogi Setya Permana menilai pembagian sertifikat yang dilakukan pemerintah tak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Ia menilai dibalik kebijakan itu, masyarakat tanpa sadar telah memudahkan tanahnya dikuasai maupun diperjual-belikan oleh pemilik modal.
Sebab sebelumnya, tanah yang ada berkepemilikan secara bersama-sama atau komunal sehingga sulit dijelaskan kepemilikannya.
Alhasil, dalam proses penguasaannya baik untuk kepentingan umum maupun swasta, seringkali berbenturan dengan konflik agraria.
Dalam artian, masyarakat secara kolektif membela tanah yang ditinggali bersama-sama.
“Tanah itu dulu basisnya komunal. Tapi saat disertifikasi jadi hak individu. Ekspansi pemodal bisa datang lebih mudah,” ucap Yogi dalam diskusi bertajuk “Membedah Debat Pilpres 2019 Seri ke-2 : Evaluasi dan Proyeksi Kebijakan” di Gedung Widya Graha, LIPI pada Senin (18/2).
Apa yang disampaikan Yogi berkaitan dengan klaim Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa pemerintahan telah membagikan lima juta sertifikat hingga 2017 kepada masyarakat.
Dari sertifikat itu, Jokowi mengklaim selain memiliki jaminan legalitas, masyarakat dapat menggunakannya sebagai agunan, mengakses permodalan ke bank.
Menurut Yogi, klaim Jokowi juga bermasalah. Saat tanah masyarakat dibuka untuk perbankan maka hal itu menjadi pintu masuk untuk menguasai tanah sebagai aset.
Di sisi lain, sebuah perusahaan yang mau menguasainya juga menjadi semakin mudah yaitu cukup dengan melakukan transaksi jual beli secara individu ketimbang kelompok masyarakat.
“Sekarang tinggal bayar (harga tanah per individu). Tadinya harus ngumpulin satu desa sekarang gak,” ucap Yogi.
Belum lagi, ketika rencana itu dilakukan, tanah kini mulai memiliki harga yang dapat ditaksir dengan mudah dan tidak jarang usai sertifikasi, harga tanah justru malah melonjak. Dengan demikian, tanah telah berubah menjadi komoditas semata.
Padahal menurutnya, kepemilikan tanah secara kolektif tidak sepenuhnya buruk. Walaupun terkesan tertinggal dari perspektif pemerintah, hal itu dapat menghamabat laju ekspansi pemodal yang belum tentu mampu mendatangkan manfaat.
“Komunal itu ada efek positifnya. Dia menjadi penghambat awal ketika ekspansi kapital mau masuk. Lebih mudah berurusan dengan satu orang ketimbang satu desa,” ucap Yogi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari