tirto.id - Dua puluh lima tahun lalu, film animasi musikal Disney, The Lion King (1994) tayang untuk pertama kalinya dan berhasil mencetak keuntungan sebesar 422 juta dolar.
Tahun ini, Disney menyuguhkan versi live action dari animasi klasik tersebut. Namun, cerita versi live action ini tidak berbeda dibanding dengan versi aslinya. Tidak hanya itu, tiap dialog yang muncul di Lion King juga persis sama dengan versi animasinya di 1994. Sekilas, sulit membedakan jika Lion King ingin mengajak penonton bernostalgia, atau penulis naskahnya memang malas menulis dialog baru. Jadi sangat keliru jika Anda ke bioskop demi mengharapkan cerita yang benar-benar baru.
Lion King tetap mengisahkan petualangan Simba menjadi raja hutan menggantikan sang ayah, Mufasa. Karena kudeta yang dilakukan Scar, adik Mufasa, Simba terpaksa kabur dari kawanan dan rumahnya di Pride Rock.
Simba kemudian bertemu teman-teman baru, Timon si meerkat dan Pumbaa si babi hutan, lalu belajar melupakan masa lalunya dan menerapkan filosofi Hakuna Matata. Sayangnya, Simba tak bisa lama-lama bersembunyi. Ia kemudian bertemu Nala, teman masa kecilnya, yang meminta Simba untuk kembali guna menyelamatkan Pride Rock yang kering kerontang dan terbengkalai di bawah naungan Scar.
Meski ceritanya tak berbeda dengan versi 1994, pengisi suaranya berbeda. Para pengisi film versi 2019 ini adalah Donald Glover sebagai Simba, Beyonce Knowles-Carter sebagai Nala, Chiewetel Ejiofor sebagai Scar, Seth Rogen sebagai Pumba, dan Billy Eichner sebagai Timon. Sedangkan James Earl Jones tetap menjadi suara bagi Mufasa.
Selain Earl Jones, ada Hans Zimmer dan Elton John yang juga masih terlibat dalam penggarapan Lion King baru ini. Zimmer masih berperan sebagai komposer, sedangkan Elton John tetap menulis lagu. Lion King akan kembali menyuguhkan beberapa lagu yang familiar seperti "Circle of Life", "I Just Can’t Wait to Be King", "Hakuna Matata", dan "The Lion Sleeps Tonight".
Jon Favreau yang duduk di kursi sutradara menerapkan pendekatan yang sama dengan yang ia lakukan ketika menggarap The Jungle Book (2016). Ketika itu Favreau tak banyak mengubah alur cerita yang diadaptasi dari buku Rudyard Kipling itu. Dengan pendekatan itu, maka wajar saja kalau Lion King sama sekali tidak berubah dari versi 1994.
Barangkali, yang membuat Lion King versi baru ini sedikit berbeda adalah bagaimana usaha film ini menutupi plothole dari versi animasi 1994. Di versi animasi, Scar bercerita pada Sarabi --istri Mufasa-- dan kawanan singa kalau Simba membunuh Mufasa. Namun, ketika Simba kembali ke rumah, Sarabi seakan melupakan tipu daya Scar dan menyambut gembira kedatangan anaknya itu.
Di versi 2019, Sarabi menemukan bukti bahwa sebenarnya Scar yang membunuh Mufasa. Di versi ini pula, ditunjukkan bahwa Simba berhasil berdamai dengan masa lalunya, dan mampu menjadi pemimpin bagi kawanan singa untuk bertarung melawan para hyena.
Sayangnya, remakeLion King jadi kurang berkesan karena beberapa hal. Pertama, sekaligus paling utama, adalah lemahnya penggambaran karakter Scar (Chiwetel Ejiofor). Dalam versi animasinya, Scar adalah karakter yang licik dan manipulatif. Di hadapan Mufasa, ia berpura-pura menjadi saudara yang baik, namun di belakang, ia adalah singa jahat, iri hati, sekaligus depresif.
Penggambaran karakter yang kompleks tersebut tidak berlaku pada Scar ala Ejiofor. Ia hanyalah pengkhianat yang hambar. Bahkan, kawanan hyena sendiri terlihat lebih meyakinkan. Mereka garang, bodoh, dan mudah dimanipulasi.
Kekurangan kedua adalah soal pengisi suara. Karena beberapa pengisi suara tidak tampil maksimal --ya, mengisi suara juga adalah akting-- karakter hewan-hewan Afrika tersebut jadi terlihat mentah dan membosankan. Pengisi suara nyatanya tidak mampu memberi nyawa pada karakter animasi tersebut. Sehingga, apapun emosinya, ekspresi hewan-hewan tersebut akan terlihat sama saja. Berbeda dengan versi 1994 di mana kemarahan, kebencian, dan rasa cemburu dapat ditangkap jelas. Sementara pada Lion King kali ini, hampir semua jenis kemarahan diterjemahkan lewat auman.
Di berbagai media, review film ini juga beragam. Dari yang memuji teknologi halus, musik yang megah, namun tak sedikit yang mengkritik karena kekurangan-kekurangan seperti datarnya pengisi suara. Di The Guardian, Peter Bradshaw menulis film ini layak ditonton dan bisa dinikmati, namun " Aku merindukan kesederhanaan dan vividnes dari gambar-gambar buatan tangan di film aslinya."
Sedangkan A.O Scott dari The New York Times menulis ada banyak adegan-adegan bagus nan brilian di film ini, seperti film dokumenter hewan versi musikal. Namun, Scott juga mencatat ada banyak kelemahan.
"Ada banyak profesionalisme, tapi tidak banyak perasaan di film ini. Mungkin binatang yang tampak nyata membuat susah untuk punya klik dengan mereka sebagai karakter," tulis Scott.
Jualan Nostalgia ala Disney
Lion King baru ini dapat hadir berkat teknologi virtual reality. Seperti dilansir Screenrant, tim animator yang bekerja di balik Lion King mengatakan mereka mampu menghilangkan efek pengganggu di setiap adegan, bahkan membuat jejak set yang sama persis seperti versi animasinya.
Bantuan teknologi tersebut memang jadi daya tarik bagi Lion King. Hampir semua visual di film ini terasa seolah-olah diambil di alam nyata, apalagi adegan Mufasa yang berusaha menyelamatkan Simba dari kawanan rusa yang tengah berlari kencang. Musik latar juga membuat adengan itu jadi mendebarkan. Adegan tersebut mencapai puncaknya ketika Scar membiarkan Mufasa jatuh ke kawanan rusa.
Teknologi nyatanya mampu membuat Lion King menyuguhkan irama kehidupan yang teratur dan siklus mangsa dan pemangsa hidup secara berdampingan. Rasanya seperti menyaksikan hewan-hewan Animal Planet. Bedanya, kali ini mereka bisa berbicara.
Selain perkara teknologi yang menarik, ada hal lain lagi yang patut dicermati: Disney makin gencar merilis versi live action dari film-film animasi klasiknya. Setelah Cinderella (2015), Beauty and the Beast (2017), Dumbo (2019), Aladdin (2019), dan kini The Lion King (2019), Disney masih akan menerbitkan sekitar 10 live action dari film-film lawasnya hingga 2020. Beberapa diantaranya adalah Mulan, Peter Pan, dan Pinocchio.
Tentu saja ada alasannya: Disney sadar bahwa jualan nostalgia akan laris. Kemudian, bukankah menggiurkan jika Lion King bisa mencetak keuntungan yang lebih besar dari versi animasinya? Sebab pangsa pasarnya jelas: mereka yang dulu masih anak-anak ketika menonton film-film animasi, sekarang sudah beranjak dewasa dan punya anak. Bukankah asyik menonton film baru, merayakan nostalgia sekaligus mengenalkan cerita film klasik ke anak-anak mereka?
Editor: Nuran Wibisono