tirto.id - Tahun 1935, seorang bayi laki-laki lahir di ar-Rakah, Arab Saudi. Ia lahir tanpa ayah, sebab orang tuanya bercerai sebelum ia lahir. Bayi itu diberi nama Ali al-Naimi. Ia tinggal dengan suku ibunya. Sejak kecil, al-Naimi sudah diajarkan cara merawat domba. Sekilas tak ada yang istimewa dengan bocah tersebut. Namun, bocah pengembala domba ini di kemudian hari menjadi orang paling berpengaruh di industri perminyakan.
Saat usianya 11 tahun, kakak laki-laki al-Naimi meninggal dunia. Ia lalu menggantikan sang kakak bekerja sebagai office boy di Arabian American Oil Co, pendahulu dari Saudi Aramco. Pekerjaan inilah yang membuka pintu masuk al-Naimi ke dunia perminyakan. Perusahaan yang pada mulanya dimiliki Amerika itu, mengirimnya kembali ke sekolah di Arab Saudi.
Karena kecerdasannya, al-Naimi juga diberi kesempatan kuliah ke Lebanon dan Amerika Serikat. Usai kuliah, ia naik pangkat. Al-Naimi mendapat tugas membantu perusahaan memperluas produksi minyak mentah dan mendistribusikan produk olahan ke luar negeri.
Tahun 1984, al-Naimi memegang pucuk pimpinan Saudi Aramco. Sebelas tahun kemudian, pemerintah Arab Saudi memilihnya untuk memimpin kementerian. Dengan jabatannya sebagai menteri perminyakan dari negara pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, al-Naimi pun menjadi orang paling berpengaruh di dunia perminyakan dunia. Secara de-facto, al-Naimi adalah pemimpin OPEC.
Paling Berpengaruh
Jika ucapan Alan Greenspan mampu mempengaruhi naik turunnya indeks saham Amerika, perkataan al-Naimi seringkali menentukan naik turunnya harga minyak dunia.
Setiap kali negara produsen minyak yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) berkumpul, perhatian terbesar para wartawan selalu mengarah pada al-Naimi. Ia punya kebiasaan lari pagi selepas subuh. Wartawan seringkali mengikutinya untuk mendapatkan beberapa kutipan.
Kata-kata yang dicetuskannya kepada wartawan akan segera direspons oleh pasar. “Ketika ia bicara, pasar akan mendengarkan sebab dia punya rekam jejak yang selalu menepati ucapan,” kata mantan Sekretaris Jenderal Forum Energi Internasional Noe Van Hulst. Bagi Hulst, al-Naimi adalah suara yang paling kredibel dalam OPEC.
Secuil ucapan al-Naimi kerap memberi efek besar pada dunia perminyakan. Misalnya saja ketika harga minyak terjungkal ke titik terendahnya pada Februari lalu. Itu semua gara-gara al-Naimi tegas menolak pemotongan produksi.
“Tak ada gunanya membuang-buang waktu meminta kami memotong produksi. Pengurangan produksi, akan terjadi jika memang persediaan minyak di sumur pengeboran telah menyusut,” kata Ali al-Naimi pada Februari lalu, saat ia masih menjabat sebagai Menteri Perminyakan Arab Saudi.
Pernyataan itu adalah respons atas desakan kepada negara-negara anggota OPEC untuk mengurangi produksi agar harga minyak kembali naik. Sesaat setelah kalimat itu dilontarkan, harga minyak langsung turun tajam ke level $26 per barel. Padahal sebelumnya, harga minyak sempat naik hingga ke atas level $30 per barel dari sebelumnya yang selalu di bawah level tersebut. Banyak negara yang geram akan kebijakan Arab Saudi ini.
Didepak Putera Mahkota
Otak dari perombakan besar-besaran ini adalah Pangeran Mohammed bin Salman, Deputi Putera Mahkota Arab Saudi yang kini berusia 30 tahun. Dia juga yang menjadi arsitek Saudi Vision 2030. Tujuan utama program ini adalah mempersiapkan Arab Saudi yang tidak lagi bergantung pada minyak.
Dalam beberapa pekan mendatang, hal-hal penting terkait dengan rencana jangka panjang itu akan segera dibereskan. Di antaranya, privatisasi Aramco, memotong subsidi energi, memperluas investasi, dan merampingkan struktur pemerintahan. Tak hanya itu, Arab Saudi juga akan berusahan untuk meningkatkan pendapatan dari umrah.
Guna melancarkan rencana itu, orang-orang yang sulit “dipegang” didepak, dan digantikan oleh mereka yang punya kedekatan dengan pangeran dan Raja Salman.
Pangeran Mohammed telah membangun pengaruh sejak ayahnya berkuasa pada Januari 2015. Pada pertemuan negara anggota OPEC dan non-OPEC di Doha, Qatar bulan lalu, ia semakin menegaskan kalau pernyataannya adalah hukum yang harus dijalankan.
Pada mulanya, al-Naimi sudah setuju untuk membekukan produksi minyak. Membekukan, bukan memotong. Itu artinya, tahun ini, Saudi tidak akan memproduksi minyak lebih banyak dari tahun lalu.
Namun, titah sang pangeran mengubah segalanya dan Al-Naimi tampak tak punya daya pada pertemuan itu. Ia hanya mengikuti pesan sang pangeran yang menyatakan bahwa tidak akan ada pembekuan produksi minyak tanpa partisipasi Iran.
Kini, tanpa penjaga tua yang telah melaksanakan kebijakan ekonomi Saudi selama puluhan tahun, Pangeran Mohammad bisa lebih mudah melakukan apa yang menjadi rencananya.
Kebijakan Tak Berubah
Pangeran Mohammed sudah punya banyak rencana untuk mengubah perekonomian Arab Saudi. Untuk itu, ia menempatkan orang-orang kepercayaannya, termasuk al-Falih. Setelah al-Naimi pergi, perhatian mulai beralih ke al-Falih. Sejauh ini, al-Falih belum membuat pernyataan kontroversial yang mengguncang pasar perminyakan, layaknya al-Naimi.
Al-Falih sendiri merupakan seorang figur yang cukup dihormati dan disegani di industri perminyakan.
“Setiap orang yang memperhatikan Arab Saudi dan harga minyak tahu Khalid al-Falih sangat dikenal dan dihormati sebagai pemimpin Saudi Aramco yang mumpuni,” kata Jason Bordoff, seorang profesor dari Columbia University, seperti dilansir Marketwatch.
Al-Falih, yang suka memakai jubah tradisional Arab atau thobe itu, menjabat sebagai presiden dan CEO Saudi Aramco pada 1 Januari 2009. Dia adalah lulusan teknik mesin dari Texas A&M University pada 1982 dan mendapatkan gelar MBA sembilan tahun kemudian dari King Fahd University.
Ia menghabiskan seluruh kariernya di Saudi Aramco. Al-Falih dikenal sangat dekat dengan Raja Salman dan Pangeran Mohammed. Pemikirannya pun sejalan dengan kebijakan minyak Arab Saudi saat ini.
Di hari pertamanya menjabat sebagai Menteri Energi, Khalid al-Falih sudah memastikan tak ada perubahan kebijakan. Itu artinya, Saudi akan tetap menggenjot produksi minyak mendekati level tertingginya, seperti saat ini. Tidak akan ada pembekuan atau pemotongan produksi minyak.
April lalu, Saudi memompa hingga 10,27 juta barel per hari. Jika terus memompa dengan maksimal, bukan tidak mungkin angkanya akan mendekati 10,5 juta barel per hari. Penunjukan al-Falih adalah jaminan atas kelanjutan kebijakan minyak Saudi saat ini. Desakan sejumlah negara untuk memotong jumlah produksi agar harga minyak kembali menjadi US$100 per barel tak akan digubris oleh Arab Saudi. Untuk itu, negara-negara produsen minyak harus bersabar lebih lama menunggu pulihnya harga.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti