tirto.id - Libur panjang Natal 2016 diwarnai kehebohan anjloknya jembatan Cisomang di ruas jalan Tol Cipularang. Kejadian ini memantik pertanyaan tentang mutu infrastruktur jalan raya di Indonesia. Banyak infrastruktur yang dibangun dengan cepat, untuk mengejar tenggat, namun menyisakan banyak persoalan terkait mutu jalan.
Ini berbeda dengan pembangunan infrastruktur jalan tol Jagorawi, ruas tol pertama yang dibangun di Indonesia.
“Jalan Tol Jagorawi merupakan jalan terbaik yang kita miliki. Tentu, dalam melaksanakan pembangunan kita selalu ingin menciptakan yang terbaik... Jalan Tol Jagorawi walaupun kontraktornya dari luar negeri, namun tidak sedikit pula pikiran dan tenaga kita yang ikut serta menyelesaikan jalan yang istimewa itu.”
Ini adalah nukilan pidato Presiden Kedua Indonesia Soeharto saat upacara peresmian Jembatan Tol Citarum dan Jalan Tol Jagorawi 14 Agustus 1979 di Rajamandala, Cianjur, Jawa Barat -- yang bisa dibaca di soeharto.co.
Tuntasnya pembangunan Tol Jagorawi sepanjang 59 km saat itu menandai dimulainya pembangunan tol yang masif di Indonesia. Jalan-jalan tol baru dengan panjang puluhan kilometer kembali dibangun, antara lain Cikampek dan Jakarta-Merak. Pada periode 1995 hingga 1997 dilakukan upaya percepatan pembangunan jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762 km. Namun rencana itu banyak yang mangkrak karena krisis 1998.
Hingga kini ada 989 km jalan tol yang sudah dibangun di Indonesia. Butuh 37 tahun untuk menambah 930 km semenjak tol pertama Jagorawi diresmikan. Ini sama saja hanya 25 km per tahun -- angka yang sesungguhnya tak istimewa.
Selain tol, pemerintah juga membangun jalan-jalan nasional. Sejak merdeka 71 tahun lalu, jalan nasional baru terbangun sekitar 38.500 km. Pada survei Kementerian PU semester II-2014, hanya 62 persen di antaranya yang berada dalam kondisi baik. Selebihnya kondisi sedang, rusak ringan, hingga rusak berat.
Dari catatan panjang jalan tol dan jalan nasional, ada sejentik jalan yang fenomenal. Bukan karena panjangnya atau yang serba megah, tapi soal kualitas konstruksinya. Beberapa jalan itu antara lain Tol Jagorawi hingga Jalan Nasional Tjilik Riwut di Kalimantan Tengah.
Jagorawi Hingga Jalan Rusia
”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Gardea Samsudin (70), warga Palangkaraya, dikutip Kompas 2009 lalu.
Samsudin salah satu saksi mata dan pelaku langsung pembangunan jalan yang menghubungkan Jalan Palangkaraya-Tangkiling sejauh 34 km dengan lebar 6 meter itu. Bagi sebagian warga setempat jalan ini dikenal sebagai Jalan Rusia karena dibangun oleh insinyur-insinyur Rusia pada 1960-an, di masa erat-eratnya hubungan Indonesia dengan Soviet kala itu.
Jalan Rusia terkenal dengan kondisi yang lurus dan tetap mulus meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Pembangunan jalan ini bagian dari pembangunan kota baru Palangkaraya yang diresmikan Presiden Sukarno, pada 17 Juli 1957, dalam sebuah seremoni ayunan kapak pada sebilah kayu di kawasan Pahandut. Pada saat itu pula pembangunan Jalan Rusia dimulai, butuh bertahun-tahun untuk membuat pondasi jalan yang membelah hutan belantara dan kawasan gambut yang sulit ditembus.
Dalam sebuah tayangan video YouTube tentang pembuatan Jalan Palangka Raya – Tangkiling, terlihat jelas ledakan besar di sebuah bukit kapur demi mendapatkan bongkahan, krikil, dan pasir untuk menjadi pondasi Jalan Rusia ini. Buldozer dan orang-orang tampak harus berjibaku terendam rawa-rawa gambut di medan yang berat. Hamparan gambut ini harus diangkat sampai dasarnya untuk menemukan dasar tanah yang kuat. Teknik apik ini disebut-sebut kunci dari panjang umurnya jalan Rusia hingga puluhan tahun dan masih dinikmati hingga kini.
“Dulu ada namanya Projakal, Proyek Jalan Kalimantan, yang menginisiasi orang Rusia. Jalan ini mampu bertahan lama di tanah gambut, karena pengerjaannya mengikuti spesifikasi,” kata Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Bambang Hartadi kepada tirto.id.
Dengan kondisi medan yang berat, tak mengherankan proses pembangunan pondasi baru tuntas pada 17 Desember 1962, hampir 5,5 tahun semenjak peresmian tugu tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya pada 1957 yang disiapkan sebagai ibu kota Indonesia. Sayangnya, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 km akhirnya berhenti pada 1966 karena transisi politik nasional yang berdarah-darah. Saat itu, jalan yang terbangun hanya seperlima dari target awal
Pada Orde Baru, konstruksi jalan yang juga fenomenal yaitu Tol Jagorawi. Ada peran besar Menteri Pekerjaan Umum waktu itu, Sutami. Secara teknis, tol ini memiliki lebar masing-masing lajur 3,75 meter, atau lebih lebar dibanding Tol Cikampek yang hanya 3,6 meter. Tol ini juga sepi dari kabar soal jalan yang amblas, tak seperti tol-tol baru yang sudah dibangun. Dalam situs resminya, Jasa Marga menyebut Tol Jagorawi menjadi masterpiece dikarenakan struktur konstruksi yang masih prima hingga kini.
Tol yang dibangun dengan kontraktor utama dari Hyundai, Korea Selatan, mulai dikerjakan 1973 dan selesai dibangun pada 1978. Artinya kecepatannya pembangunannya sekitar 1 km per bulan dengan proses yang ketat dan apik. Bandingkan dengan kecepatan pembangunan Tol Cipularang II Purwakarta-Plered-Cikalong Wetan-Cikamuning sepanjang 40 km pada 2005. Karena dikebut, ruas jalan itu bisa selesai dalam 12 bulan atau dengan kecepatan 3,4 km per bulan.
“Saya dapat cerita dari senior di PU, pengawasan pembangunan proyek Jagorawi ketat banget, itu yang namanya kalau kerjaan tak beres, langsung di-reject,” kata Bambang.
Lulusan Teknik Sipil ITB ini berpandangan kecepatan pembangunan jalan yang dikebut membuahkan hasil yang tak maksimal dari sisi kualitas. Di atas kertas, setiap proses pengerasan jalan harus melakukan proses pemadatan setiap 20 cm. Pengerjaan ini tentunya membutuhkan kesabaran, tidak bisa tergesa-gesa, dan harus konsisten dengan standar yang ketat.
“Padahal fondasi (melalui pemadatan) itu kunci dari membuat jalan,” kata Bambang.
Pandangan Bambang sangat pas di lapangan. Selain cerita kejadian amblas yang sering menimpa Tol Cipularang, kejadian serupa juga terjadi pada Tol Cikopo yang mengalami nasib serupa. Ruas jalan yang membentang sepanjang 116 km itu dibangun hanya kurang dari 3 tahun. Persoalan ini sempat menjadi catatan Presiden Jokowi saat meresmikan tol ini pada Juni 2015 lalu..
“Pembebasan lahan memakan waktu 6 tahun, konstruksi 2,5 tahun. Ada yang tidak betul dalam regulasi kita. Enam tahun bukan jangka yang pendek. Kebalik-balik kita ini, mestinya konstruksi yang lebih panjang, pembebasan (lahan) yang lebih pendek,” tegas Jokowi.
Jokowi rupanya ingin memberi pesan, bahwa mengebut proyek jalan harus tetap diikuti dengan standar dan kualitas yang terjaga. Jangan sampai proyek dikerjakan dengan ngebut namun mengorbankan standar dan kualitas.
Dalam hal ini, pembangunan Jalan Rusia dan Tol Jagorawi yang sudah berumur puluhan tahun bisa menjadi cermin yang baik.