tirto.id - Prabowo Subianto, waktu itu masih kandidat presiden, tampak yakin di hadapan para pemimpin bisnis yang hadir pada acara jamuan makan malam The World in 2019 yang diselenggarakan majalah Economist. Ia berjanji Indonesia akan menjadi negara bersih dan bebas korupsi yang menarik bagi pebisnis jika ia terpilih.
“Jika saya terpilih, perhatian dan semangat utama saya adalah menciptakan birokrasi yang rasional, modern, demokratis dan bersih, pemerintahan yang bersih, dan saya pikir situasi ini merupakan lingkungan yang terbaik untuk bisnis,” tegas Prabowo di Grand Hyatt Hotel, Singapura, pada 27 November 2018 seperti dilaporkan Straits Times.
Menurut Prabowo, Indonesia masih digerogoti korupsi yang masif, layaknya penyakit kanker yang sudah akut. Ia menyebut Singapura sebagai contoh pemerintahan yang baik dan secara khusus memuji almarhum Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew beserta para pengikutnya atas capaian tersebut.
Prabowo mengatakan bila Lee Kuan Yew dan pengikutnya telah melakukan “pekerjaan yang sangat baik. Mereka telah membersihkan Singapura dan membuat Singapura menjadi sebuah cerita sukses.”
Selama di Singapura, Prabowo juga bertemu dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan mendiskusikan bagaimana dua negara dapat meningkatkan hubungan di masa mendatang. Lee Hsien Loong adalah putra sulung Lee Kuan Yew.
Puja-puji Prabowo terhadap Lee Kuan Yew beserta negerinya boleh jadi sekadar sanjungan kepada tuan rumah. Di sisi lain, Lee Kuan Yew, yang meninggal pada 23 Maret 2015, tepat hari ini 6 tahun lalu, adalah sosok kontroversial, khususnya terkait praktik otoritarianisme yang masih mengakar kuat di Singapura hari ini.
Kebangkitan Singapura
Sejarah panjang Singapura sejak merdeka dari Inggris pada 1963 memang lekat dengan Lee Kuan Yew. Ia adalah Perdana Menteri pertama sekaligus pendiri negara tersebut.
Lee kerap disebut-sebut sebagai orang yang berada di balik keunggulan ekonomi dan sumber daya Singapura. Ketika negeri itu berpisah dari Federasi Malaysia, demikian lapor Nikkei Asian Review, media-media melihatnya sebagai “negara-kota tanpa masa depan”. Singapura hanya memiliki sedikit populasi dan tak punya kekayaan alam yang memadai.
Melihat kenyataan itu, Lee langsung membangun kawasan industri dan dagang beserta infrastruktur penunjang seperti bandara dan pelabuhan. Sasarannya: mencetak Singapura sebagai pusat industri dan perdagangan.
Hasilnya memang mencengangkan. MGraham Allison, mantan direktur Belfer Center for Science and International Affairs di Harvard Kennedy School, dalam tulisannya di Atlantic, mencatat sejak 1965 hingga 2013, produk domestik bruto (PDB) per kapita riil Singapura tumbuh hingga 12 kali lipat.
Selain itu, berdasarkan kurs dolar AS tahun 2015, pendapatan rata-rata masyarakat Singapura tumbuh dari 500 dolar AS pada 1965 menjadi 55.000 dolar pada 2015. Peningkatan ini bahkan mengungguli Amerika Serikat. Sebagai catatan, dalam periode 2000-2015, pertumbuhan PDB Singapura rata-rata mencapai 6 persen per tahun, jauh dibandingkan PDB AS yang hanya berkisar di bawah 2 persen, terang Allison.
Mengapa 2015? Karena tahun itu adalah warsa meninggalnya Lee. Hingga akhir hayat, Lee berhasil membawa Singapura menempati peringkat kedua dalam Global Competitiveness Index versi World Economic Forum periode 2014-2015. Singapura juga langganan ditahbiskan sebagai negara terbaik untuk melakukan bisnis versi The Economist Intelligence Unit.
Catatan di bidang kesehatan juga mengesankan. Anak yang lahir di AS, tulis Allison, memiliki risiko kematian pada masa balita tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak Singapura. Tingkat kematian bayi di Singapura telah menurun jauh dari sebelumnya 27,3 kematian per 1.000 kelahiran pada 1965 ke 2,2 kematian per 1.000 kelahiran pada 2013.
Dalam hal keamanan, Singapura tak tertandingi. Seseorang memiliki kemungkinan 24 kali lebih tinggi untuk dibunuh di AS dibandingkan di Singapura, terang Allison. Negara tersebut memang dikenal sebagai salah satu negeri dengan tingkat kriminalitas paling rendah di dunia.
Namun, ada satu hal yang absen dalam perjalanan panjang Singapura: Demokrasi.
Otoriter ala Singapura
Laporan tahunan Freedom House 2014 menyatakan Singapura sebagai salah satu negara dengan indikator terburuk dalam hal partisipasi demokratis dan kebebasan pribadi. Bukan sesuatu yang mengejutkan, memang. Ini karena Lee lebih memilih ketertiban ketimbang proses demokrasi yang riuh.
Partai Aksi Rakyat (PAR) yang didirikan Lee, misalnya, adalah partai yang paling dominan dan selalu memenangkan pemilu sejak Singapura berdiri.
“Berbeda dengan apa yang dikatakan komentator politik Amerika,” ucap Lee suatu ketika sebagaimana dicatat Nikkei Asian Review, “Saya tidak percaya demokrasi akan mengarah pada pembangunan. Saya percaya bahwa apa yang perlu dikembangkan oleh sebuah negara adalah disiplin lebih dari demokrasi.”
Dalam sebuah tulisan yang dimuat Berkeley Political Review, Dave Bengardi menuliskan bahwa Lee Kuan Yew “tidak memiliki tempat untuk ideologi di negaranya”. Menurut Lee, demokrasi liberal ala Barat adalah barang rapuh karena sistem itu membuat pemangku kekuasaan mengambil kebijakan jangka pendek yang populer ketimbang kebijakan jangka panjang yang tidak populer namun menguntungkan negara.
Kendati demikian, ada harga yang harus dibayar di balik pilihan politik Lee. Laporan Freedom House tahun 2013 menggarisbawahi pencekalan film dan acara televisi yang bertema politis, ancaman penggunaan pasal pencemaran nama baik, serta regulasi ketat yang mengatur pendirian organisasi-organisasi politik di luar pemerintah.
Laporan itu juga menyoroti pengaruh luar biasa dari PAR terhadap media dan lembaga-lembaga pengadilan. Semua media dalam negeri, misalnya, dimiliki perusahaan yang terhubung dengan pemerintah. Walhasil, hampir tak ada kritik terbuka terhadap pemerintah di media-media Singapura.
Independensi pengadilan Singapura pun dipertanyakan karena tingkat kemenangan pemerintah dalam kasus-kasus di pengadilan sangat tinggi.
Warga Singapura juga harus mendapatkan izin dari kepolisian untuk mengadakan diskusi publik. Satu-satunya tempat terbuka untuk menyuarakan pendapat tanpa perlu izin polisi adalah Speakers' Corner di Taman Hong Lim. Menurut laporan Straits Times, pada periode 2009-2010, frekuensi Speakers' Corner menurun dibandingkan pada 2008-2009.
Salah satu tokoh Singapura yang pernah merasakan pemberangusan atas kebebasan berekspresi di negeri tersebut adalah Chia Thye Poh, aktivis politik yang ditangkap dan dipenjara pada tahun 1966 atas tuduhan memelopori gerakan komunis untuk menggulingkan pemerintah, demikian tulis ABC.
Chia menjalani masa kurungan selama 32 tahun, lebih lama dari Nelson Mandela yang dipenjara selama 27 tahun. Pada 2015, nama Chia tercatat sebagai calon penerima hadiah Nobel Perdamaian.
Dilansir Al-Jazeera, pada Oktober 2018, seniman Seelan Palay dipenjara selama dua minggu karena melakukan aksi protes sebagai bagian dari pertunjukan seni tunggal untuk mengenang Chia Thye Poh. Ia diputuskan bersalah karena tak memiliki izin dan melanggar UU Ketertiban Umum (Public Order Act).
Singapura adalah salah satu negara dengan tingkat korupsi paling rendah. Ia menduduki peringkat lima dari 176 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2012 dari Transparency International. Pada tahun yang sama, Indonesia bertengger di nomor 118.
Minimnya kriminalitas dan korupsi kerap jadi alasan untuk melanggengkan pemerintahan otoriter, termasuk di Singapura. Masalahnya, tak sedikit pula negara otoriter yang ekonominya tak seberuntung Singapura. Pengalaman indonesia di bawah rezim otoriter selama 32 tahun justru menghasilkan apa yang tidak ada di Singapura: budaya korupsi yang mengakar kuat hingga hari ini.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 30 November 2018 dengan judul "Lee Kuan Yew yang Dipuji Prabowo: Ambisius, Efektif, tapi Otoriter". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Ivan Aulia Ahsan