Menuju konten utama

Lebih Semangat Bekerja dengan Kebun di Kantor

Mengurangi emisi karbon dioksida, menciptakan sistem ketahanan pangan, mengurangi biaya distribusi makanan, memproduksi kualitas udara yang lebih sehat, mengurangi jumlah pegawai yang bolos, hingga meningkatkan kinerjanya. Faedah konsep kebun di kantor mungkin mulai bisa dipopulerkan.

Lebih Semangat Bekerja dengan Kebun di Kantor
Urban Farm di Tokyo, Jepang. Foto/architizer.com

tirto.id - Suatu ketika, Anda sedang jenuh dalam kubik Anda di kantor. Bisa jadi karena pekerjaan yang terlalu banyak dan tak kunjung selesai—atau malah pekerjaannya sudah Anda selesaikan lebih dulu dari tenggat. Kira-kira apa yang akan Anda lakukan untuk membunuh waktu? Pergi ke kamar mandi untuk selfie di cermin raksasa? Pergi ke kantin untuk pesan cireng? Atau pergi ke ruang cocok tanam di kantor untuk berkebun?

Pilihan terakhir rasanya akan jadi yang paling tidak populer, karena gagasan kebun di kantor sendiri bukanlah sesuatu yang populer. Tapi di Jepang, di sebuah perusahaan yang justru tak bergiat di sektor pertanian, hasilnya bisa saja berbeda. Sekitar 1.500 karyawannya di sana punya kebun masing-masing untuk diurus. Jadi, pilihan melipir ke ruang cocok tanam, untuk sekadar melihat perkembangan kol yang ditanam sendiri atau menyiram kembang yang sebentar lagi bisa dipetik, bisa jadi adalah pilihan terbanyak.

Adalah Pasona Group, sebuah perusahan penyedia tenaga kerja atau firma rekrutmen di Tokyo, Jepang, yang memiliki konsep unik ini. Di kantor pusatnya yang punya sembilan lantai, Pasona mengubah bangunan tua kantornya yang berusia 50 tahun menjadi gedung berkonsep hijau—yang ramah pada pemanasan global. Gedung kantor seluas 19.974 meter persegi itu kini punya lahan hijau seluas 3995 meter persegi.

Di sana ada lebih dari 280 jenis tanaman. Mulai dari buah-buahan, sayuran, tanaman herbal, hingga padi. Semua diolah sendiri oleh pegawai kantor, mulai dari pembibitan, pemupukan, panen, hingga dimasak di kantin kantor dan dihidangkan untuk santap sendiri. Dibantu oleh ahli pertanian, para karyawan ini menggunakan sistem irigasi khusus dan pencahayaan dari listrik, yang mengadopsi sistem bercocok tanam yang populer digunakan di Jepang.

Sistem pencahayaannya sendiri disesuaikan agar tanaman tetap bisa tumbuh dengan kualitas terbaik. Tapi tetap jauh lebih hemat energi hingga 30 persen ketimbang sistem pencahayaan di gedung perkantoran umumnya. Suhu di ruangan juga diatur agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta orang-orang di dalamnya.

Kantor Pasona memang sengaja didesain ulang sedemikian rupa dengan tujuan menjadi kantor dengan konsep hijau yang menerapkan sistem “farm to table” atau “langsung dari kebun ke atas meja makan” pertama dan terbesar di Jepang. Motonobu Sato, Director Urban Farming Pasona Group, mengungkapkan kepada AJ+, kalau konsep ini memang sengaja dibikin untuk menciptakan lingkungan sehat. Sekaligus mengajarkan karyawan dan warga Jepang lainnya tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Dari luar, bangunan tiga dimensi kantor Pasona memang terlihat seperti kubus yang dirambati tanaman hijau. Sebuah pemandangan kontras jika melihat gedung-gedung raksasa lain di sekitarnya. Desain ini adalah karya Yoshimi Kono, pemilik Kono Design, sebuah perusahaan desain interior yang bermarkas di New York, Amerika Serikat.

“Desain ini tak berfokus pada standar konsep hijau seperti biasanya, yang mana aturan penggunaan energi dan tingkat efisiensinya sangat ketat,” kata Kono pada Dezeen. “Tapi lebih pada ide sebuah bangunan hijau yang dapat mengubah cara pikir orang-orang tentang pola hidup sehari-hari, dan pilihan karier mereka.” Kono ingin membuktikan kalau di antara pilihan-pilihan gaya hidup yang ada di era ini, masih banyak pola yang belum dieksplorasi manusia. Termasuk konsep gedung ramah lingkungan yang didesainnya. Ia ingin memperlihatkan kalau, berkebun memang tak hanya bisa dilakukan di tanah horizontal, tapi juga bisa dibangun di sela-sela gedung raksasa yang dibangun vertikal.

Infografik Makan di Kebun Kantor

Dengan konsep ini, setidaknya Pasona telah mengurangi biaya distribusi makanannya karena semua yang diolah kantin berasal dari kantor sendiri. Konsep ini juga bagian dari cita-cita Pasona untuk mendidik generasi berikutnya untuk lebih mencintai dunia agrikultural. Sebab, di Jepang sendiri, para generasi mudanya mulai memperlihatkan keengganannya menekuni sektor ini. Membuat Jepang mau tak mau harus mengimpor bahan pangannya dari luar negeri. Untuk makanan saja, setidaknya Jepang mengimpor sekitar 50 juta ton setiap tahunnya. Sebab Jepang hanya mampu memproduksi kurang dari sepertiga dari total keseluruhan konsumsi gandumnya. Semua impor itu didistribusikan dari rata-rata jarak 9 ribu mil, yang tentu saja akan makan sangat banyak biaya.

“Klien saya punya visi luas untuk membantu para petani di area perkotaan di Jepang sekaligus memperbarui gaya hidup,” kata Kono. “Salah satu caranya bukan cuma dengan mengajarkan warga kota tentang cara bercocok tanam dan berkebun, tapi juga secara aktif mengikat mereka dengan cara memperlihatkan langsung gambaran bagaimana metode-metode cocok tanam yang awam di Jepang bisa bersinggungan dengan gaya hidup mereka yang sibuk.

“Perubahan pada pola pikir orang-orang lokal serta tentang apa yang akan mereka bicarakan adalah tujuan jangka panjang proyek ini,” tambah Kono.

Selain itu, menurut Sato, konsep ini juga membuat kinerja pegawainya jadi lebih baik. “Laporan menyebutkan 80 persen pegawai kami merasa lebih semangat dengan konsep ini. Bahkan meningkatkan kinerjanya,” katanya seperti dikutip dari AJ+.

Peningkatan kinerja ini menurut laporan Dezeen, mencapai angka 12 persen. Tak hanya itu, konsep ini juga berhasil mengurangi gejala-gejala ketidaknyamanan di kantor hingga 23 persen, sehingga menurunkan angka bolos.

Jika Jepang sudah membuktikannya, apa Indonesia yang adalah salah satu negeri agrikultural terbesar di dunia tidak mau mencoba?

Baca juga artikel terkait KEBUN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti