tirto.id - Lebih dari 6,2 juta orang di Somalia menghadapi kondisi rawan pangan akut. Seorang pejabat senior bantuan PBB di Somalia, pada Kamis (2/2) menginginkan masyarakat internasional agar meningkatkan bantuan kemanusiaan guna menghindarkan wabah kelaparan di negeri itu.
Menurut Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan (FEWSNET) dan Unit Analisis Gizi dan Keamanan Pangan (FSNAU), yang dikelola Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO), jumlah orang yang memerlukan bantuan telah naik dari lima juta pada September jadi lebih dari 6,2 juta sekarang, lebih separuh dari penduduk di negeri tersebut.
Jumlah itu meliputi peningkatan drastis jumlah orang yang berada dalam kondisi "krisis" dan "darurat" dari 1,1 juta jumlah bulan lalu menjadi sebanyak tiga juta orang antara Februari dan Juni.
Digambarkan pula bahwa situasi anak-anak sangat parah. Sebanyak 363.000 anak kekurangan gizi sangat memerlukan dukungan gizi, termasuk pengobatan untuk menyelamatkan nyawa buat lebih dari 71.000 anak yang menderiti gizi buruk parah.
"Ini lah waktunya untuk bertindak guna mencegah kelaparan lain di Somalia. Belajar dari reaksi kemarau pada 2016, kita perlu secara cepat membentuk reaksi kemanusiaan untuk secara efektif menanggapi keperluan besar ini dan menghindari kelaparan," kata Clercq selama peluncuran data gizi dan keamanan pangan terkini di Mogadishu, seperti dikutip dari Antara, Jumat (3/2/2017).
Tingkat penderitaan di negeri tersebut, yang dipicu oleh konflik berkepanjangan, pukulan iklim dan wabah penyakit, sangat berat untuk dipikul, tapi dampak kemarau saat ini merupakan ancaman dengan tingkat yang sangat besar.
Somalia pernah mengalami kelaparan terburuk Abad 21 pada 2011, yang mempengaruhi sebanyak empat juta orang. Pada saat itu, kelaparan menewaskan lebih dari seperempat juta orang.
"Jika kita tidak meningkatkan reaksi kemarau secepatnya, itu akan merenggut nyawa, makin menghancurkan kehidupan, dan dapat merusak upaya mengenai gagasan penting pembangunan perdamaian dan untuk mewujudkan negara," kata Clercq.
Ia memaparkan negara tanduk Afrika itu menghadapi cengkeraman kemarau parah, yang terjadi akibat curah hujan buruk selama dua musim berturut-turut.
"Kemarau, bahkan yang separah ini, tidak secara otomatis berarti bencana jika kita menanggapi cukup dini dengan dukungan tepat waktu dari masyarakat internasional," katanya.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh