tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat masih banyak pelanggaran yang terjadi di Yogyakarta dalam hukum maupun HAM. Berdasarkan catatan, LBH menunjukkan terdapat 198 pengaduan yang masuk sejak Januari sampai Oktober 2016, dengan jumlah pencari keadilan tahun 2016 mencapai 2.143 pengadu baik dari individu maupun kelompok.
Di samping itu, LBH merilis jumlah kasus per sektor yang masuk baik bersifat privat atau pun struktural diklasifikasikan mencapai empat sektor, pertama kasus perdata menjadi masalah paling tinggi sepanjang tahun 2016 sejumlah 105 pengaduan. Kedua, kasus pidana dengan jumlah mencapai 58 pengaduan, ketiga kasus ekonomi, sosial, budaya yang mencapai 25 pengaduan, keempat ada kasus sipil dan politik yang mencapai 10 pengaduan.
“Dalam konteks pelanggaran HAM di DIY masih nampak rapor merah sebab sepanjang tahun 2016, pelanggaran HAM terjadi mulai dari awal tahun hingga penghujung tahun,” ujar Yogi Zul Fadhli, Staf LBH Yogyakarta, ditemui dalam acara bertajuk, “Launching Catatan Akhir Tahun 2016 LBH Yogyakarta,” di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (15/12/2016).
Ia membeberkan beberapa contoh kasus pelanggaran hukum dan HAM di Yogyakarta, antara lain penyerangan dan pembubaran acara Lady Fast, penutupan pesantren Waria Al-Fatah, pembubaran diskusi di AJI Yogyakarta, pelarangan diskusi-diskusi di berbagai kampus, penurunan baliho-baliho di beberapa universitas di Yogyakarta, pengepungan asrama mahasiswa Papua hingga penangkapan mahasiswa Papua dan beberapa aktivis pro demokrasi yang terjadi di bulan Juli dan Desember 2016.
“Tak cukup sampai di situ saja, kekerasan HAM juga dialami oleh masyarakat petani seperti warga petani di Kulonprogo yang terdampak proyek pembangunan bandara baru,” ungkap Yogi.
Ia mengungkap di Yogyakarta, konflik petani dengan negara kian meningkat di tahun 2016 ini. Hal itu tidak hanya terjadi di Yogyakarta, tapi juga di beberapa daerah lainnya. Yogi mengatakan kondisi itu pun masih diperparah dengan sikap negara atau pihak penggarap bandara yang akan menitipkan uang ganti rugi masyarakat kepada pengadilan atau melalui jalur kasasi kepada warga-warga yang masih menolak pembangunan bandara hingga saat ini.
“Yang terbaru, adalah penggusuran rumah warga di Parangkusumo Bantul pada 14 Desember 2016 kemarin, warga terpaksa harus kehilangan tempat tinggal dan pekerjaannya,” kata Yogi.
Melihat catatan kasus yang ditangani sepanjang tahun 2016 ini, LBH menyimpulkan profesionalitas polisi sejauh ini tidak pada tempatnya. Nampak ada keberpihakan aparat kepolisian terhadap negara untuk 'menertibkan' warga yang menolak proyek infrastruktur pemerintah tersebut.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh