Menuju konten utama

LBH Medan: Kasus Kerangkeng Manusia Patut Dibawa ke Pengadilan HAM

Merujuk temuan Komnas HAM tentang adanya kekerasan dan penganiayaan dalam aktivitas kerangkeng manusia, LBH Medan desak Terbit diadili di Pengadilan HAM.

LBH Medan: Kasus Kerangkeng Manusia Patut Dibawa ke Pengadilan HAM
Suasana kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Dadong Abhiseka/Lmo/aww.

tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum Medan menduga tindakan yang dilakukan oleh Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin merupakan pelanggaran HAM berat. Hal ini merujuk kepada temuan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

"Seharusnya Bupati Langkat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, bukan malah mengakibatkan enam orang meninggal. LBH Medan menilai jika perkara a quo patut dibawa dan diadili di pengadilan HAM," kata Wakil Direktur LBH Medan Irvan Saputra, via keterangan tertulis, Sabtu (5/3/2022).

Pihaknya pun meminta LPSK memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan saksi lantaran diduga rentan mendapatkan intimidasi. Irvan berpendapat dugaan penyiksaan atau kekerasan, serta merendahkan harkat dan martabat manusia itu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan sangat kejam ditambah, apalagi Terbit diduga turun tangan pula.

LBH Medan menduga perbuatan Terbit yang juga melibatkan anggota TNI dan Polri, serta pihak lainnya telah melanggar Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 A dan G UUD 1945 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia, Pasal 6 Ayat (1) ICCPR.

Sementara itu, fakta temuan Komnas HAM menyebut adanya penyiksaan, perlakuan merendahkan martabat penghuni sel, dan pola kekerasan.

“Pola kekerasan terjadi di beberapa konteks (yakni) penjemputan paksa penghuni kereng (kerangkeng) pada awal periode masuk, adanya pelanggaran terkait aturan pengurus kerangkeng, melawan pengurus atau TRP, dan perpeloncoan,” ucap Analis Pelanggaran HAM Komnas HAM Yasdad Al Farisi, dalam konferensi pers daring, Rabu (2/3/2022).

Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi kerap terjadi pada periode awal penghuni masuk kerangkeng, biasanya di bawah satu bulan pertama. Komnas HAM menemukan fakta ada 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan merendahkan martabat penghuni sel.

“Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir; ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, direndam, diperintahkan untuk bergelantungan di kereng seperti monyet atau istilahnya ‘gantung monyet’,” jelas Yasdad.

“Kemudian pencambukan anggota tubuh menggunakan selang, mata dilakban dan kaki dipukul menggunakan palu hingga kuku jari copot, dipaksa tidur di atas daun (yang ada) ulat jelatang, dipaksa makan cabai, dan tindakan kekerasan lainnya,” imbuh dia.

Dalam kasus ini ada 18 alat penyiksa, seperti selang, cabai, ulat jelatang, besi panas, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, palu, rokok, korek, tang, batako, alat setrum, kerangkeng, dan kolam.

Baca juga artikel terkait KASUS KERANGKENG MANUSIA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri