tirto.id - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada pagi tadi, Rabu (6/7/2022), melemah 7 poin atau 0,05 persen ke posisi Rp15.001 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.994 per dolar AS.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pelemahan ini akan berdampak pada beban utang luar negeri sektor swasta meningkat. Sebab, pendapatan sebagian besar diperoleh dalam bentuk rupiah, sementara bunga dan cicilan pokok berbentuk valas (valuta asing).
"Situasi currency missmatch akan mendorong swasta lakukan berbagai cara salah satunya efisiensi operasional. Tidak semua perusahaan swasta yang memiliki ULN lakukan hedging [lindung nilai]," kata Bhima kepada Tirto, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Pelemahan nilai tukar rupiah dinilai baru awal, tekanan berikutnya terjadi saat kenaikan The Fed rate atau suku bunga acuan AS berikutnya terjadi.
“Sinyal resesi ekonomi secara global seperti yang disampaikan oleh berbagai lembaga keuangan menjadi kekhawatiran mendasar pelaku pasar. Misalnya proyeksi Citigroup terkait risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50 persen dalam 18 bulan ke depan,” kata Bhima.
Disaat yang bersamaan, BI masih menahan suku bunga acuan disaat terjadi kenaikan inflasi Juni sebesar 4,35 persen. Imbasnya arus keluarnya dana asing masih akan tinggi.
Bhima mengatakan Indonesia harus mempersiapkan diri dalam skenario yang terburuk. Jika inflasi naik sementara konsumen tidak siap berarti daya beli masyarakat bisa kontraksi.
Kemudian pendapatan dari ekspor komoditas yang selama ini menopang surplus perdagangan bisa berbalik arah misalnya yang terjadi pada harga CPO dan batubara mulai menurun sebulan terakhir. Selain itu defisit APBN melebar sehingga beban untuk pembayaran bunga utang terutama surat berharga negara (SBN) SBN meningkat tajam.
“Masyarakat harus segera lakukan ikat pinggang, atur dana darurat, dan alihkan investasi ke aset yang aman baik dolar maupun emas. Kita tidak tahu secara pasti, apakah 2 tahun ke depan resesi akan berakhir karena seluruh negara sedang mempersiapkan cadangan pangan secara agresif,” kata dia.
Kondisi rupiah perlu jadi perhatian karena pelemahan rupiah bisa picu berbagai akses negatif ke perekonomian. Ada perfect storm atau badai yang sempurna sedang mengintai ekonomi Indonesia.
Faktor pelemahan Rupiah yang berlanjut karena pasar keuangan juga masih dibayangi sentimen negatif. Investor terus mencermati risiko kenaikan Fed rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi.
“Keluarnya dana asing juga dipicu data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran risiko stagflasi. Apalagi BI masih menahan suku bunga tentu risk nya naik di market. Kondisi likuiditas didalam negeri bisa mengetat apabila pelemahan kurs terus terjadi. Karena pelemahan kurs menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar,” ujar dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang