tirto.id - “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”
Potongan pidato Sukarno pada 1962 itu menunjukkan bahwa Indonesia mendukung perjuangan Palestina. Dukungan terhadap Palestina pun berlanjut oleh presiden-presiden berikutnya, sampai dengan sekarang.
Palestina menjadi satu dari sejumlah negara di Timur Tengah yang hubungannya baik dengan Indonesia. Hal itu ditandai dengan dibukanya Kedutaan Besar Palestina di Jakarta pada 19 Oktober 1989. Sejak saat itu, hubungan antar kedua negara semakin erat. Pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat sempat beberapa kali mengunjungi Indonesia, yakni pada 1992, 1993, dan 2000.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga beberapa kali mengunjungi Indonesia, yakni pada Oktober 2007, Mei 2010 dan Februari 2014. Abbas juga sempat menandatangani perjanjian kerja sama dengan Indonesia di bidang komunikasi dan pendidikan.
Indonesia konsisten menyuarakan dukungannya terhadap perjuangan Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya secara penuh ketika menghadiri forum-forum internasional. Dukungan Indonesia terhadap Palestina terus berlanjut. Kali ini, pemerintah Indonesia mulai mendukung Palestina dari sektor ekonomi. Kedua negara menyepakati untuk menjajaki kerja sama perdagangan bilateral dengan zero tariff atau bebas bea masuk impor.
Kesepakatan tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita dan Menteri Ekonomi Nasional Palestina Abeer Odeh pada Desember 2017.
Dari nota kesepahaman itu, Indonesia menginisiasi untuk membuka kerja sama perdagangan bilateral berupa preferential trade agreement (PTA). Untuk tahap pertama, daftar barang dari Palestina yang akan dibebaskan pajaknya adalah minyak zaitun dan kurma.
“Pemberian preferensi tersebut merupakan bagian dari dukungan nyata Indonesia di sektor ekonomi terhadap perjuangan Palestina,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada Tirto.
Untuk diketahui, PTA adalah bentuk kesepakatan perdagangan antara dua negara atau lebih, di mana dari kesepakatan tersebut masing-masing negara akan menurunkan tarif bea masuk untuk barang-barang tertentu saja. Artinya tak semua barang masuk dalam skema ini atau sifatnya terbatas.
Ratifikasi terkait nota kesepahaman tersebut juga diketahui telah selesai dilakukan seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 34/2018 tentang Pengesahan MoU Palestina pada 10 April 2018, dan diundangkan pada 11 April 2018.
Namun demikian, nota kesepahaman tersebut belum bisa diimplementasikan karena petunjuk teknis berupa implementing arrangement (IA) belum ditandatangani kedua pihak. Indonesia sendiri sudah menyampaikan draft IA pada 26 Januari 2018 yang lalu.
Apabila IA telah ditandatangani kedua pihak, maka Indonesia akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai aturan pelaksana penghapusan tarif bea masuk kurma dan minyak zaitun dari Palestina.
Potensi Perdagangan
Potensi yang bisa digarap Indonesia dari Palestina tidak akan signifikan atau terbilang kecil. Apalagi, ketika menginisiasi kesepakatan PTA dengan Palestina ini, pemerintah juga tidak menghitung untung dan ruginya.
“Kami enggak peduli potensinya berapa dengan Palestina. Ini perintah presiden buka market kepada Palestina. Kepada yang lain kami hitung berapa untung-rugi. Sekarang kami [dengan Palestina] enggak hitung untung rugi,” tutur Enggar.
Total perdagangan Indonesia-Palestina juga terbilang kecil, tapi memang trennya dalam 5 tahun terakhir terus meningkat. Pada 2017, nilai perdagangan Indonesia-Palestina tercatat US$2,39 juta, turun 4,91 persen ketimbang 2016 sebesar US$2,52 juta.
Angka ini jauh meningkat ketimbang total perdagangan pada 2013 yang baru tercatat senilai US$553.900. Dengan kata lain, total perdagangan Indonesia-Palestina sudah naik tiga kali lipat dalam kurun waktu lima tahun.
Barang-barang yang diekspor Indonesia mayoritas merupakan makanan, seperti kopi, teh, pasta, dan roti. Selain itu, Indonesia mengekspor parfum dan sabun. Pada 2017, total ekspor Indonesia mencapai US$2,05 juta.
Begitu juga barang impor dari Palestina, mayoritas merupakan makanan, yakni kurma dengan total nilai ekspor mencapai US$341.000. Jika melihat kinerja ekspor dan impor tersebut, maka Indonesia memperoleh surplus sebesar US$1,71 juta.
Meski nilai perdagangan Indonesia-Palestina terbilang kecil, sejumlah kalangan menilai ada sisi positif yang bisa diambil Indonesia dari kesepakatan tersebut, yakni menjadi pintu masuk untuk menggarap negara-negara Timur Tengah.
“Melalui Palestina, Indonesia bisa belajar pasar di Timur Tengah. Bisa jadi, kita membuka jalur ke negara Timur Tengah lainnya dalam hal rantai produksi atau global solution,” tutur Fithra Faisal Hastiadi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia kepada Tirto.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) dalam konteks menggenjot ekspor melalui mitra dagang non-tradisional, negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, Qatar dan Kuwait memiliki pasar yang menjanjikan bagi Indonesia.
Dalam simulasi tersebut, Palestina memang tidak termasuk dalam bidikan. Namun Palestina tidak kalah pentingnya bagi Indonesia, terutama untuk meningkatkan penetrasi ke pasar Timur Tengah. Namun, yang terpenting barangkali yang bidik adalah sisi politik. Upaya merangkul ekonomi Palestina berarti punya keuntungan politik bagi pemerintah yang berkuasa. Selain aspek historis yang sudah dibangun sejak lama antara kedua pihak.
Editor: Suhendra