Menuju konten utama

Kupat Tahu dan Benang Merah Perjalanan Hidup

Ketupat tahu ala Magelang dan Bandung punya penampilan yang mirip, tapi juga sedikit banyak berbeda secara rasa dan penyajian.

Kupat Tahu dan Benang Merah Perjalanan Hidup
Header Miroso Ketupat Lontong dan Buras. tirto.id/Tino

tirto.id - Jika mengunjungi lagi Kupat Tahu Pojok Magelang, ingatan saya meluncur saat dulu masih SD, saat kakek sering menjadi khatib Jumatan di Masjid Agung Magelang. Kadang pula saya diajak Jumatan di masjid tersebut, dengan dibonceng sepeda motor Honda CB-nya.

Jarak setengah jam perjalanan santai dari rumah, cukup menyenangkan sesudah melewati perempatan Pakelan. Suasana perkotaan dan decak gumun melihat keramaian pertokoan, atau gagah bangunan Akademi Militer Magelang.

Yang paling utama bagi saya waktu itu bukan soal ibadahnya. Namun setelahnya: kakek mengajak makan di Kupat Tahu Pojok, yang kebetulan lokasi warungnya tak jauh dari masjid.

Karena ritual tiap Jumatan ini, saya seringkali tidak khusyuk menyimak khotbah. Yang ada di pikiran adalah

kuah hitam kecokelatan pedas manis, dengan sensasi bumbu kacang yang dibuat dadakan dan tidak diuleg kasar. Dan memang tidak perlu sempurna, karena spontanitas ulekan kacang dan bumbu dadakan ini yang membuat rasanya syahdu di mulut dengan sensasi suara kemrenyes.

Kuah itu kemudian ditumpuki tahu panas yang diangkat dari penggorengan dengan minyak mengkilat, sedikit berasap yang didiamkan beberapa saat menuju hangat, taburan selimutan irisan kol, beberapa jumputan tauge, dan irisan seledri yang basah menyegarkan. Gurih dan sedikit pahit bawang goreng yang ditaburkan, layaknya salam tahiyat akhir, menjadi pungkasan wajib.

Tapi saat jamaah Jumat yang konon selalu berbahagia --sebagai anjuran dalam khotbah khatib-- itu bubar, hati saya semakin berdebar. Melihat mereka dengan langkah kaki tergesa dan beberapa menuju warung kupat tahu Pojok tersebut. Penantian panjang tadi, tidak selalu berbuah manis.

Benar adanya, waktu yang dinantikan itu kadang bukan berbuah gurih di mulut, melainkan gondok di hati karena warung terlihat penuh dengan antrian memanjang. Kalau melihat ini, dengan enteng kakek hanya berujar:

"Wis Njo, mulih wae"

Saya tidak berani interupsi, suara riuh pengunjung dengan berisik sendok beradu piring, suara kepingan tahu saat dimasukkan ke dalam wajan panas, atau aroma khas warung Pojok itu, adalah yang harus rela saya nikmati bawa pulang.

Inilah akibatnya kalau ibadah tak khusyuk, malah mikir sendokan kupat tahu.

Ketupat dan Ragamnya

Selepas SMP, saya merantau dan bersekolah di kaki bukit Mandalahaji, pelosok kabupaten Bandung. Saya tumbuh menjadi remaja tanggung yang culun, penyendiri, dan tidak mudah bergaul. Saudara kembar Rohman dan Rohim, adalah karib dekat yang sering berbaik hati menemani saya. Keluarga mereka sederhana dan hangat, Ibu dan kakak perempuan mereka berjualan kupat tahu di pasar kelurahan, tak jauh dari rumah.

Saat saya bertandang, seringnya dengan kondisi perut kosong, biasanya Ibu mereka selalu paham apa yang saya inginkan. Perempuan sepuh yang sering terlihat memakai mukena tersebut langsung menyuruh saya ke dapur.

"Husni, tos tuang teu acan? Sok atuh ka dapur pilarian aya naon”

Dengan senyum malu, biasanya saya lantas mengajak si kembar tadi, atau salah satunya. Menuju ke dapur dengan aroma yang menyeruak cabai kering sebagai bahan sambal kupat tahu. Seringnya pula saya mendapati beberapa potong tahu yang tersaji, dan paket bahan kupat tahu “prasmanan” yang bisa saya makan dan pilih sesuai selera.

Saat saya beberapa kali menginap di rumah keluarga tersebut, pagi-pagi buta sering pula saya ikut Rohman atau Rohim --tergantung siapa yang harus pergi-- untuk ikut mengantarkan stok cadangan kupat pelengkap dagangan.

Kupat tahu ala Bandung sedikit banyak berbeda dengan ala Magelang. Di Bandung, ketupat tidak dibungkus janur kelapa, melainkan dengan daun pisang, atau ada yang pakai plastik, dan kerap berbentuk balokan persegi panjang.

Tampilannya juga berbeda. Kupat tahu Bandung biasanya berkiblat ke kupat tahu khas Tasikmalaya, bumbunya dibuat tidak dadakan. Bumbunya mirip seperti bumbu kacang siomay, sehingga pengerjaannya jauh lebih ringkas.

Biasanya kupat tahu ala Bandung seperti ini: tahu kuning yang baru digoreng akan diiris langsung di piring lalu diberi irisan ketupat, tauge, lalu disiram bumbu kacang. Setelahnya diberi kecap sekadarnya, dan dipungkasi dengan kerupuk yang menggunung. Di Bandung, kupat tahu biasanya jadi menu pilihan sarapan selain bubur atau nasi kuning.

Infografik Miroso Ketupat Lontong dan Buras

Infografik Miroso Ketupat Lontong dan Buras. tirto.id/Tino

Di Indonesia, ketupat tidak hanya cocok disandingkan dengan tahu. Ada banyak jenis kuliner lain yang menggunakan ketupat sebagai pasokan karbohidrat. Di Padang, ketupat melebur dengan nangka muda dan daging sapi, ditambah kerupuk merah, dan disebut sebagai ketupat sayur. Di Jakarta, ketupat bercampur dengan bihun dan bumbu kacang: ketoprak. Di Bogor, ketupat identik dengan laksa, juga doclang yang jamak ditemui di Cirebon.

Ketupat juga punya saudara kembar: lontong dan buras. Lagi-lagi, mereka mirip tapi tak sama. Sama-sama berbahan beras, tapi beda di bahan pembungkus maupun bentuk. Lontong berbentuk panjang, jamak ditemui di Jawa Timur sebagai kawan makan sate atau bakso. Sedangkan buras berbentuk mirip lontong hanya lebih pendek, dengan rasa gurih, yang biasa disantap sebagai kudapan atau kawan baik coto Makassar.

Di Indonesia, ketupat juga akan selalu identik dengan hari raya Idul Fitri. Menurut pendapat Hermanus Johannes de Graaf, sejarawan Belanda yang mengkhususkan diri menulis sejarah Jawa, ketupat pertama kali muncul di Jawa sejak abad ke-15 pada masa pemerintahan Kerajaan Demak, di bawah Raden Patah.

Ketupat juga sering dimaknai dengan sekian keratabahasa (otak-atik gathuk dengan motivasi kebijaksanaan). Semisal ketupat berangkat dari kata dasar kupat, yang merupakan singkatan dari "ngaku lepat" (mengaku salah). Kemudian, beras yang dimasukkan ke dalam anyaman janur digambarkan sebagai nafsu duniawi. Sedangkan, kerumitan anyaman ketupat menjadi simbol dari kompleksitas kelas sosial di masyarakat. Anyaman yang saling berkaitan menjadi anjuran bagi setiap orang untuk menyambung tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial.

Namun ketupat tak hanya ditemukan di Indonesia. Ketupat juga ditemukan di Fillipina dengan nama tuslob buwa. Ini ketupat yang juga berbalut janur sebagi pembungkusnya, perbedaannya hanya dalam cara menikmatinya: ketupat dicocol langsung di wajan dengan bumbu dari campuran daging babi yang ditumis bersama bumbu lainnya. Dalam tayangan Street Food Asia, Tatung Sarthou, Chef dan penulis kuliner asal Filipina, mengatakan bahwa jejak tuslob buwa sudah ada dari sekian abad lalu di Filipina.

Sajian ini juga hadir dalam No Reservations musim kelima, ketika Anthony Bourdain di akhir tayangan tersebut terlihat asyik menikmati babi panggang dengan beberapa tambahan ketupat di meja makannya.

Kapan hari, sewaktu pulang ke Magelang, saya mampir ke Kupat Tahu Pojok. Nyaris tak ada yang berubah. Masih banyak pembeli dari Akmil, juga para politisi kondang. Di dinding warung ini sekarang penuh dengan foto-foto beberapa tokoh populer, juga beberapa wajah selebriti yang familiar.

Pemilik warung memajangnya sebagai pelengkap hiasan dinding dengan pigura kayu sederhana. Saat makan, saya enggan terlalu menatapnya dalam-dalam, selain pemandangan yang fokus tertuju kepada tungku arang yang masih setia digunakan.

Meski rasa dan interior tak banyak berubah, tetap ada sesuatu yang hilang di sana. Mungkin ada kaitan dengan kenyataan bahwa tak ada lagi kakek yang mengajak saya ke sini setiap Jumat.

Kupat tahu juga sekaligus mengingatkan saya tentang Rohman-Rohim. Mereka dan keluarganya, mengajarkan bahwa saudara tak selalu berhubungan darah. Juga, ibu mereka yang selalu ingat saya dan menanyakan tempat tinggal di Jakarta ketika dirinya sakit, sebelum akhirnya wafat.

Di sana, kupat tahu menjadi benang merah yang menghubungkan jalan hidup saya.

Baca juga artikel terkait LONTONG atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Husni Efendi
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono