tirto.id - Pandemi COVID-19 atau Corona, membuat kampus Aulia Nabila menerapkan sistem perkuliahan online. Sudah empat bulan berlangsung, namun tetap tak ramah bagi mahasiswa tuli. Tak ada fasilitas komunikasi inklusif: juru ketik atau bahasa isyarat.
"Saya selalu bergantung pada aplikasi live transcribe," kata perempuan yang akrab disapa Bella itu kepada reporter Tirto, Jumat (10/7/2020).
Sayangnya aplikasi tersebut tidak melulu memberikan terjemahan yang akurat. Malah bikin mahasiswa semester 4 jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di salah satu kampus swasta daerah Purwokerto, Jawa Tengah itu kesulitan.
Seminggu yang lalu, Bella mengutarakan kegelisahannya kepada dosennya. Sebagian dosen hanya mampu dua kali memberikan fasilitas juru ketik dan bahasa isyarat. Sebagian lainnya tak memahami kebutuhan Bella.
"Mulai ada perubahan, meski tak sempurna. Ini langkah awal saya untuk mendapatkan akses dalam kuliah daring," ujarnya.
Sebenarnya situasi pembelajaran saat pandemi atau tidak, tidak terlalu jauh berbeda. Pada situasi normal tanpa pandemi, Bella dapat membaca gerak bibir dosen dan teman-temannya untuk mencerna materi. Meski terkadang, ia harus berulang kali dijelaskan agar paham seutuhnya.
Bella berharap agar dunia pendidikan, berkembang menjadi inklusif. Didorong dengan peningkatan fasilitas yang layak.
"Agar semua murid bisa hidup berdampingan dalam kesetaraan. Menuju Indonesia yang inklusif terhadap dunia pendidikan," tandasnya.
Ruang Kelas yang Diskriminatif
Andi Kasri Unru terlahir tuli. Awalnya ia tak mendapati masalah, saat perkuliahan bercampur dengan mahasiswa tak berkebutuhan khusus lainnya. Sebab selalu ada juru ketik dan bahasa isyarat. Namun sejak akhir Maret, fasilitas itu tak lagi ia dapatkan. Kelas tak lagi inklusif. Dia merasa didiskriminasi.
Dosen hanya memberikan bahan pelajaran berupa teks dan video yang kualitas suaranya buruk. Dia kesulitan menangkap maksud suara dari video itu.
Beberapa kali ia usul, rekaman video disertai teks atau terdapat penerjemah bahasa isyarat di dalamnya. Bukannya disediakan, Akas malah diminta membaca modul mata kuliah yang dianggap sama dengan video.
“Mahasiswa non-tuli bisa menikmati video dengan baik dan jelas. Sedangkan saya hanya cukup untuk memahami isi modul dan belum tentu paham dengan isi modulnya,” kata mahasiswa fakultas hukum di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu kepada reporter Tirto, Jumat (10/7/2020).
Kesulitan berlipat ganda, ketika dosen menutup ruang bagi tanya jawab. Pembelajaran jadi satu arah, tak interaktif.
“Sebagai tuli, pembelajaran seperti ini tidak cukup,” ujarnya.
Ia berharap kampusnya, dan seluruh kampus di Indonesia menjadi tempat inklusi, minimal kata dia dapat melaksanakan panduan pembelajaran untuk mahasiswa tuli yang telah ditentuan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pengalaman serupa dialami oleh Ilham Achmad Turmudzi. Dia merupakan mahasiswa tuli yang sedang menempuh pendidikan di fakultas keolahragaan di sebuah perguruan tinggi negeri, daerah Jakarta.
“Hambatan [kelas] oniline saat pandemi untuk pembelajaran tidak menyediakan juru bahasa isyarat dan teks,” kata Ilham kepada reporter Tirto, Jumat (10/7/2020).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana