tirto.id - Senin pagi, 19 Oktober 1987, dua kereta api dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi dan saling bertabrakan. Kejadian itu terjadi di Desa Pondok Betung, sekitar 4 kilometer dari stasiun Kebayoran Lama, yang merupakan kawasan pinggir barat Jakarta Selatan. Kelak, kejadian ini dinamakan Tragedi Bintaro.
Sebagaimana tercatat dalam buku Sejarah Kelam Kereta Api: Dua Kecelakaan Kereta di Bintaro (2019) oleh TEMPO Publishing, kecelakaan itu merupakan bencana kereta api terbesar sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Saat itu, kereta api KA 225 dari Rangkasbitung, Jawa Barat yang membawa 700 penumpang bertabrakan dengan kereta api KA 220 yang datang dari stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat dengan 500 penumpang. Itu hanya berdasarkan data yang tercatat membeli karcis saja. Sebab, masih ada ratusan penumpang gelap yang memenuhi gerbong, lokomotif dan atap gerbong.
Sampai dengan Senin tengah hari, sudah ada lebih dari 100 korban yang tewas, sementara 300-an orang mengalami luka berat dan ringan. Angka ini dipastikan bertambah. Sebab, di dalam gerbong masih ada 20-an korban meninggal tapi belum bisa dievakuasi. Sementara menurut Jawa Pos, kecelakaan itu setidaknya merenggut 156 nyawa dan 300 korban mengalami luka-luka.
Jenazah dan korban luka itu ditampung dalam kurang lebih tujuh rumah sakit terdekat, yakni RS Fatmawati, RS Setia Mitra, RS TNI-AL Mintoharjo, RS Pertamina, RS Pondok Indah, RS Jakarta dan RS Cipto Mangunkusumo.
Karena masih ada banyak korban yang terjepit, bahkan sampai ada yang meminta untuk diamputasi kakinya, sebuah lokomotif direncanakan untuk didatangkan guna menyeret gerbong yang saling menjepit. Namun, rencana itu dibatalkan karena akan membuat korban yang terjepit akan semakin remuk.
Menteri Perhubungan saat itu, Rusmin Nurjadin mengatakan di lokasi kejadian, selama masih ada korban yang hidup, gerbong tidak boleh digerakkan sama sekali. Akhirnya, didatangkan gergaji besi mesin dan mesin pengelas untuk membongkar gerbong.
Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi? Berdasarkan catatan yang diperoleh Tempo, pada hari kejadian itu, KA 225 menunggu KA 220 seperti biasa di Sudimara, namun kereta yang ditunggu tak kunjung tiba. Sebagaimana dijadwalkan, KA 225 sudah meninggalkan Sudimara menuju Tanah Abang pada pukul 06.50. Karena kereta KA 220 tak kunjung terlihat, maka kereta KA 225 memutuskan untuk berjalan.
Saat itulah petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Jamhari menerima pemberitahuan dari petugas PPKA Stasiun Sudimara Umriyadi bahwa KA 220 telah berangkat menuju Sudimara.
Kondisi kereta api yang mengangkut banyak penumpang itu tampaknya membuat masinis KA 225 Slamet Suradio tak awas pada semboyan 46 yang diberikan Jamhari. Akibatnya, ia salah menangkapnya sebagai instruksi untuk berangkat.
Kisah Masinis Slamet Suradio
Kala itu, KA 225 dimasinisi oleh Slamet Suradio. Kepada Jawa Pos, ia bercerita, di depannya, tepat di rel yang sama muncul KA 220 dari Tanah Abang menuju Merak. Saat itu, ia tidak bisa berbuat banyak karena kereta itu melaju kencang. Selain mengucapkan astagfirullahaladzim berulang-ulang, ia mencoba sekuat tenaga mengerem dan membunyikan klakson.
Setelah tabrakan maut itu terjadi, ia baru tersadar saat berada di ruang ICU RS Kramat Jati dengan luka di badannya. Ia mengalami patah kaki kanan, sobek di kulit pinggul dan rontok pada giginya. Saat itu, Slamet bilang, kereta yang ia kemudikan hanya berkisar di kecepatan 40 km/jam.
Dalam insiden itu, pada akhir Oktober 1987, empat pegawai PJKA diputus bersalah. Selain Slamet Suradio, ada Jamhari, Umriyadi, dan kondektur KA 225 Adung Syafei. Pada April 1988, mereka berempat mulai disidang.
Slamet kemudian divonis lima tahun penjara, Adung Syafei dihukum 2,5 tahun penjara, sementara Umriyadi dan Jamhari masing-masing dihukum 10 bulan penjara.
“Namun, dari pemeriksaan persidangan, terungkap problem sangat mendasar dalam sistem perkeretaapian saat itu sehingga kesalahan tidak dapat dipersalahkan secara orang-perorangan,” tulis Kompas (26/6/2015).
Slamet bebas di tahun 1993, Slamet masih boleh ke kantor, walaupun hanya sebatas disuruh apel pagi. Tapi, setahun setelahnya, ia diberhentikan secara tidak hormat. Padahal, ia sudah bekerja di PJKS (sekarang PT KAI) sejak tahun 1964 dan mulai menjadi masinis sejak 1971. Ia pun merasa menjadi kambing hitam dalam tragedi itu.
"Pengabdian saya selama puluhan tahun seperti tidak berarti," ungkapnya.
Di masa tuanya, Slamet kini bertahan hidup dengan berjualan rokok eceran.
Editor: Agung DH