tirto.id - Ucapan "kitab suci itu adalah fiksi" yang dilontarkan mantan pengajar Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Rocky Gerung, pada talkshow ILC 10 April 2018, berbuntut panjang. Ada pihak yang tersinggung dengan omongan tersebut, Cyber Indonesia melaporkan Rocky Gerung ke polisi dan polisi akan memprosesnya.
Rocky dilaporkan oleh Ketua Cyber Indonesia, Heddy Setya Permadi alias Abu Janda. Laporan tersebut diterima oleh Polda Metro Jaya dengan nomor laporan LP/2001/IV/2018/PMJ/Dit. Reskrimsus pada hari Rabu (11/4/2018). Abu Janda menuduh Rocky Gerung menyatakan ujaran kebencian berbau SARA dan melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Setara Institute ikut angkat suara, lembaga yang fokus mengadvokasi masalah-masalah demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini menilai bila polisi melanjutkan penyelidikan atas kasus ini seolah seperti "keranjang sampah" karena tak punya daya untuk menolak terhadap yang dilemparkan ke dalamnya.
"Polisi jangan jadi keranjang sampah untuk menampung kasus-kasus semacam ini," kata Ketua Setara Institute, Hendardi, kepada Tirto, Jumat (13/4/2018).
"Nanti setiap hari ada kasus semacam ini dan polisi kerepotan."
Seharusnya polisi bisa memilah mana kasus yang memang kuat unsur pidananya untuk dilanjutkan ke penyelidikan dan mana yang tidak. Menurut Hendardi, pernyataan Rocky termasuk dalam kategori tidak masuk unsur pidana.
Pernyataan bahwa "kitab suci adalah fiksi" dan ia berfungsi untuk "mengaktifkan imajinasi" (video menit ke 02.09-02.30), menurut Hendardi tak lebih dari pendapat Rocky dari kacamata filsafat yang merupakan bidang keahlian Rocky.
"Saya kira apa yang dilakukan Rocky masih dalam konteks keilmuan," kata Hendardi. Karena masuk dalam ranah ilmu pengetahuan itulah, maka pernyataan Rocky tidak bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian atas agama.
Ditambah lagi, pasal penodaan agama memang bersifat "karet" atau manasuka. Apa yang dikatakan Hendardi senada dengan pendapat Ketua Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Amin Abdullah. Menurutnya, pernyataan Rocky selayaknya dipandang sebagai omongan seorang akademisi ketika mengomentari fenomena sosial tertentu.
"Agama ketika dia masuk ke wilayah sosial, wilayah budaya, wilayah politik, itu adalah wilayah-wilayah keilmuan. Tafsir terhadap agama atau pemahaman terhadap agama itu menjadi objek penelitian pengetahuan," katanya.
Amin menyatakan, polisi juga harusnya paham kalau argumentasi seseorang tidak layak jadi dasar pemidanaan. "Itu pemenjaraan cara berpikir," katanya. "Padahal jelas agama bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Ada namanya studi Islam, ada sekolah teologi."
Polisi dan Tekanan Publik
Di luar konteks kasus Rocky Gerung, ada anggapan polisi cenderung tunduk pada tekanan publik yang cenderung punya implikasi terhadap politik praktis. Ini terlihat jelas lewat kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, 2016 lalu.
Surat Edaran Kapolri Badrodin Haiti Nomor SE/7/VI/2014 telah menetapkan bahwa pengusutan kasus calon kepala daerah harus ditunda sampai pilkada selesai. Namun, dalam kasus Ahok ini tidak berlaku. Sikap ini kemudian dikaitkan dengan banyaknya demonstrasi menuntut polisi segera bertindak.
"Diskresi," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian, menjelaskan kenapa SE Kapolri tidak dipakai dalam kasus Ahok.
Kecepatan polisi dalam bertindak juga terlihat dalam kasus Sukmawati Soekarnoputri. Kasus putri Sukarno ini juga masih dapat diperdebatkan karena sebagian pihak menganggap puisinya berjudul Ibu Indonesia sebatas bentuk ekspresi, bukan menistakan agama. Laporan polisi masuk pada Selasa, 3 April, dan dua hari setelahnya pelapor, Denny Adrian Kushidayat, sudah dimintai keterangan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono menolak menanggapi cepatnya pemanggilan pelapor. Namun menurut Denny polisi cepat melakukan pemanggilan karena kasus sudah sangat ramai dibicarakan publik. "Karena viral," katanya.
Ia juga mengatakan kalau "seharusnya penegakan hukum memang independen." Namun "dibutuhkan juga hal-hal seperti tekanan masyarakat ini."
Komisioner Kepolisian Nasional (Komplonas), Andrea Poeloengan, mengatakan penyelesaian kasus dugaan penistaan agama seharusnya merujuk pada Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penangan Ujaran Kebencian atau dikenal dengan SE Hate Speech yang dikeluarkan pada era Badrodin Haiti.
Dalam surat edaran itu, Polri diminta bertindak preventif. Jika tidak bisa, maka Polri harus menindak dengan mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang ITE, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik.
Menurut Andrea masalahnya "banyak [polisi] yang tidak patuh terhadap SE Hate Speech ini."
Andrea juga berpendapat, Polri seharusnya juga dapat bertindak dengan pendekatan restorative justice, pendekatan penyelesaian kasus yang tidak fokus pada pemidanaan melainkan lewat dialog dan mediasi. Pelapor sendiri bersikeras tetap menempuh jalur hukum.
"Kita negara hukum," kata Sekretaris Jenderal Cyber Indonesia, Jack Boyd Lapian.
Cyber Indonesia sudah membuat dua laporan terhadap Rocky Gerung. Selain di Polda Metro Jaya, Cyber Indonesia juga membuat laporan di daerah Manado. Senin (15/4/2018), Jack juga ingin menambah laporan di Bareskrim Mabes Polri.
Jack berharap pengusutan kasus Rocky berjalan cepat. Ia mengaku enggan untuk menyelesaikan masalah pernyataan Rocky dengan pendekatan di luar pengadilan, misalnya lewat mediasi dan dialog.
"Tidak ada keinginan dari kami melakukan dialog keilmuan. Kami proses sesuai hukum. Kami berpegang pada hukum saja," katanya kepada Tirto.
Pembelaan Rocky
Kepada Tirto, Rocky Gerung mengatakan pelapor salah memahami apa yang ia maksud. Ia tidak bermaksud sama sekali menghina agama.
"Saya mulai [dalam acara ILC] kalau fiksi itu baik. Oleh karena itu saya mengartikan kitab suci sebagai fiksi. Kalau saya harus minta maaf, berarti saya minta maaf kalau fiksi itu baik? Jadi fiksi itu buruk? Kan lucu," katanya.
Mengenai usul restorative justice, Rocky mengaku tidak setuju. Sebab, katanya, penyelesaian dengan cara demikian mensyaratkan permintaan maaf dari kedua belah pihak.
"Kalau saya menawarkan penyelesaian seperti itu, saya mesti minta maaf. Kalau saya minta maaf artinya jadi terbalik pengertiannya. Tidak akan saya minta maaf pada sesuatu yang saya bilang baik," katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino