tirto.id - DPRD Fraksi PSI menyatakan lima kejanggalan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentang proyek reklamasi kawasan Ancol, Jakarta Utara dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) nomor 237 tahun 2020.
Kejanggalan pertama, PSI mengkritik klaim Anies yang menyebutkan bahwa kegiatan reklamasi Ancol akan digunakan untuk kepentingan publik. Namun, Anies menghilangkan klausul kontribusi tambahan di dalam kepgub tersebut.
Pasalnya, di dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) nomor 2485 tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K, telah diatur berbagai macam tambahan kontribusi.
Kontribusi tersebut berupa penyediaan rumah susun, penataan kawasan, meningkatkan dan membangun jalan, membangun infrastruktur pengendalian banjir termasuk pompa dan rumah pompa, waduk, saluran dan pembangunan tanggul Program NCICD.
Sementara itu, di Kepgub yang dikeluarkan Anies hanya ditulis bahwa kewajiban tambahan akan ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Sehingga dia menyatakan jika klaim Anies tentang kepentingan publik ini hanya janji-janji saja, tidak terbukti secara nyata di dalam produk hukum yang dihasilkan.
"Pak Anies sebagai gubernur sebenarnya punya diskresi untuk memaksa pihak pengembang membayar kontribusi tambahan demi kepentingan rakyat. Tapi mungkin beliau tidak ada keberpihakan ke arah sana,” kata anggota DPRD DKI Fraksi PSI, Viani Limardi melalui keterangan tertulisnya, Senin (13/7/2020).
Kemudian PSI juga melihat kepgub yang diterbitkan oleh Anies sangat tidak wajar. Salah satu acuan pelaksanaan proyek reklamasi adalah Peraturan Gubernur (Pergub) 121 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Di dalamnya, telah diatur mengenai batasan ruang, arah pengembangan kawasan, struktur ruang, dan rencana pola ruang reklamasi. Pergub ini merupakan turunan dari Peraturan Daerah (Perda) nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030.
Sementara sepengetahuannya, Pergub 121/2012 itu belum dicabut dan Perda 1/2012 masih berlaku. Tetapi Anies malah mengeluarkan kepgub tanpa menyebut kedua produk hukum tersebut, padahal di dalam izin-izin reklamasi sebelumnya selalu menyebutkan kedua aturan itu.
"Seolah-olah Pak Anies mengeluarkan keputusan tanpa mempertimbangkan aturan-aturan sebelumnya. Dalam tata kelola pemerintahan, ini tidak wajar,” ucapnya.
Anggota Komisi D itu juga mengatakan jika Anies malah melanjutkan reklamasi Pulau K dan Pulau L. Padahal dalam pernyataannya, Anies menegaskan telah mencabut izin reklamasi 13 pulau. Termasuk di dalamnya izin reklamasi yang dimiliki Ancol, yaitu Pulau I, J, K, dan L.
Izin reklamasi Pulau K dituangkan dalam Kepgub nomor 2485 tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk seluas 32 hektar. Sedangkan izin prinsip reklamasi Pulau L seluas 481 hektar adalah Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 No. 1296/-1.794.2.
Namun, di lokasi yang sama dengan Pulau K, Anies memberikan izin reklamasi dengan mengganti judul proyek menjadi "Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha". Sementara di lokasi reklamasi Pulau L, Anies memberi izin dengan judul "Perluasan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha".
“Lokasi proyek sama tapi judulnya berbeda. Ini hanya akal-akalan saja untuk menghilangkan kata reklamasi. Jadi, sudah jelas bahwa sebenarnya Pak Anies melanjutkan proyek reklamasi Pulau K dan Pulau L,” ucapnya.
Selanjutnya PSI juga mengkritisi pernyataan Anies yang berdalih sudah ada kajian yang menyebutkan Pemprov DKI membutuhkan lahan 155 hektar untuk menampung lumpur hasil pengerukan sungai dan waduk selama 11 tahun terakhir. Oleh sebab itu, dia memberikan izin reklamasi Ancol seluas 155 hektar.
Namun, Viani menilai pernyataan Anies tersebut mengada-ada. Pasalnya, rencana reklamasi Ancol Timur seluas 120 hektar telah ada di Laporan Tahunan PT Pembangunan Jaya Ancol tahun 2009 dan 2010, bukan baru-baru ini.
“Proyek reklamasi ini adalah keputusan bisnis yang sudah direncanakan sejak lama oleh Ancol, bukan akibat adanya kegiatan pengerukan sungai dan waduk. Di laporan tersebut dituliskan bahwa lahan reklamasi akan dikembangkan menjadi pusat rekreasi, resort, bisnis, dan hunian,” ucap Viani.
Viani juga mengoreksi pernyataan Anies mengenai lokasi penampungan lumpur. Dari kedua lokasi reklamasi, penampungan lumpur hanya ada di Pulau L. Sementara kawasan Pulau K tidak digunakan untuk menampung lumpur dan saat ini masih berupa tanggul. Jadi, dia meminta agar Anies tidak mengada-ada.
Selain itu, lanjut Viani, sejauh ini Pemprov DKI maupun Ancol belum pernah menyampaikan kajian di rapat-rapat DPRD sehingga masih menjadi misteri.
“Kajian tersebut masih jadi misteri. Jika kajian itu benar-benar ada, sebaiknya segera dibuka ke publik agar tidak terjadi polemik,” ujar Viani.
Terakhir, PSI menyayangkan dalam proyek reklamasi kawasan Ancol tidak ada keberpihakan bagi warga pesisir. Padahal Anies mengklaim bahwa kawasan reklamasi Ancol akan bermanfaat bagi masyarakat umum.
Namun, di sisi lain, saat memberikan paparan di DPRD, pihak Ancol menyatakan akan membangun Dufan Hotel dan Ancol Residence. Belum jelas apakah di lokasi ini akan dibangun perumahan atau rumah susun bagi warga kelas bawah.
“Saya kecewa karena Pak Anies tidak memiliki keberpihakan untuk membangun hunian bagi rakyat kecil di kawasan reklamasi ini. Ribuan warga di pesisir Jakarta Utara sangat membutuhkan hunian yang layak, sehat, dan aman dari banjir,” imbuhnya.
Dengan adanya 5 kejanggalan ini, Viani berharap agar Pemprov DKI mau mengoreksi diri, bersikap transparan, dan tertib aturan.
“Dalam hal proyek reklamasi, kami menilai Pak Anies tidak jujur. Mungkin karena dulu sudah terlanjur janji akan menghentikan reklamasi, lalu sekarang bersilat lidah memutarbalikkan fakta di hadapan publik,” pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri