tirto.id - Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang (UU) Anti-Terorisme telah menyepakati adanya tambahan poin terkait kriminalisasi sejumlah perbuatan awal dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme.
Anggota Pansus, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan perbuatan awal tersebut di antaranya adalah pelatihan militer yang dilakukan teroris sebelum melakukan aksi.
Namun, poin tersebut belum disahkan karena harus didukung oleh data-data yang valid. Lantaran itulah, Bobby menambahkan, hingga saat ini Pansus masih membahas lembaga apa yang berwenang menentukan status teroris pada pelatihan militer tersebut.
"Apakah BIN sebagai koordinator intelijen? Apakah lembaga agama, apakah ini gugus tugas penegakan hukum, ini yang harus kita pastikan. Karena selama ini pelatihan teroris itu kan selalu dikaitkan dengan agama tertentu, tapi untuk kasus-kasus di Papua bagaimana? Tapi pada intinya kita sepakat ada penangkapan," ungkap Bobby di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (3/5/2017).
Ia juga menjelaskan UU tersebut harus disinkronisasikan terlebih dahulu oleh UU lain yang berhubungan dengan terorisme. Hal itu agar tidak terjadi kontradiksi dan tumpang tindih antara peraturan satu dengan peraturan lainnya.
"Tahun 2004 ada UU TNI, tahun 2011 ada UU Intelijen. Ada Perpres 2010-2012 tentang BNPT. Dan yang paling utama, pasal pemidanaan dalam UU ini harus mengacu dalam KUHP. Sementara sekarang KUHP-nya belum diputuskan. Ini kan jadi pertanyaan. Apakah pemidanaan dalam RUU ini kodifikasi di KUHP yang akan dibahas, atau mengacu pada KUHP yang lama. Karena Perdebatan KUHP di komisi 3 tentang pemidanaan teroris masih fifty-fifty [50:50]," ujarnya.
Bobby menuturkan, dalam 5 kali masa sidang, sekitar 70 dari 115 daftar inventarisasi masalah dalam RUU tersebut telah dibahas tuntas oleh Pansus. Sisanya, diharapkan dapat diselesaikan pada bulan Oktober setelah melalui 2 kali lagi masa sidang.
"Jadi yang 50 inilah pasal-pasal yang kontroversial. Seperti pasal guantanamo. Keterlibatan TNI dan sebagainya. Kita ingin undang-undang ini cepat tetapi berakuntabilitas tinggi. Apalagi ini menyangkut masalah HAM. Jadi kita ingin UU yang komprehensif bisa diterima masyarakat," ungkapnya.
Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polri, Setyo Wasisto, mengatakan penambahan pasal kriminalisasi sejumlah perbuatan awal tersebut merupakan kebutuhan mendesak dalam upaya pencegahan terorisme. Apalagi, perkembangan teknologi informasi dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi pelaku terorisme di mana pun dan kapan pun.
"Latihan militer yang mengarah ke kegiatan teror, kita sering dibilang, oh Polisi kecolongan. Padahal kita sudah tau. Tapi ketika kita ingin menjangkau ke sana tidak bisa memenuhi unsur-unsur hukumnya," ungkapnya
"Sehingga kita pahami bersama bahwa revisi UU terorisme ini adalah kebutuhan perkembangan situasi yang sekarang teror itu sudah menjadi lone wolf. Dan kita tidak bisa menjangkau ketika mereka menjadi radikal karena media sosial," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto