Menuju konten utama

Pasal RUU Terorisme Tak Diubah, TNI Bisa Ikut Berantas Aksi Teror

Enny Nurbaningsih menyatakan, tim sinkronisasi tidak mengubah pasal RUU Terorisme, sehingga TNI dipastikan bisa terlibat dalam pemberantasan aksi teror.

Pasal RUU Terorisme Tak Diubah, TNI Bisa Ikut Berantas Aksi Teror
Ahli dari pemerintah Muladi (kanan) mengikuti rapat pansus RUU Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Ketua Tim Kerja Pemerintah dalam Revisi Undang-Undang Terorisme (RUU Terorisme) Enny Nurbaningsih menyatakan, rapat tim sinkronisasi (timsin) hanya membahas sinkronisasi antar pasal dalam RUU tersebut dan menyisir redaksi yang kemungkinan typo dan karet.

Enny menyatakan, timsin tidak mengubah pasal-pasal yang sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam rapat Panitia Kerja (Panja) dan Tim Perumus (Timus) sebelumnya, termasuk pelibatan TNI dalam penindakan tindak pidana terorisme.

"Yang terkait dengan pelibatan TNI tetap seperti pasal 43J. Jadi kami tidak mengubah pasal itu, itu sudah sepakati semua, sehingga tidak ada problem lagi tinggal melaksanakan saja dalam bentuk perpres," kata Enny.

Pelibatan TNI telah disepakati dalam RUU Terorisme dan masuk dalam Pasal 43J ayat 1 sampai 3 dalam draf tertanggal 17 April 2018.

Ayat 1 menyatakan, "Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang". Ayat 2 menyatakan, "Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI".

Sementara, pembuatan perpres merupakan amanat ayat 3 yang menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden".

Enny menilai, pasal pelibatan TNI sudah sesuai dengan UU TNI nomor 34 tahun 2004 Pasal 5 dan 6 tentang tugas dan fungsi TNI untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pasal 7 ayat 2 dan 3 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Saat ini, kata Enny, pemerintah tengah menyusun perpres tentang pelibatan TNI seperti yang disyaratkan Pasal 43J ayat (3) RUU Tindak Pidana Terorisme.

"Sedang dalam proses awal mendrafting dari temen-temen yang ada di Kemenhan, termasuk dari TNI," kata Enny.

Nantinya, kata Enny, Perpres tersebut akan menerjemahkan kembali bentuk OMSP. Khususnya terkait dengan penindakan terhadap tindak pidana terorisme.

"Nanti di situlah akan dilihat bisa jadi dari sisi levelingnya, bisa dari sisi tingkat ancamannya, lokasinya, kewilayahan dan seterusnya," jelas Enny.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Pansus RUU Terorisme DPR, M Syafii. Menurutnya, tidak ada pasal dalam RUU Terorisme yang diubah oleh timsin, melainkan hanya perbaikan redaksi dan sinkronisasi dengan undang-undang lain, seperti UU KUHP yang saat ini sedang disusun pemerintah dan DPR.

"Sudah tidak ada masalah pelibatan TNI. Tidak berubah," kata Syafii, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).

Syafii pun menyatakan optimis hari ini pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme bisa dirampungkan sampai tahap rapat kerja dan besok bisa segera disahkan di Paripurna DPR.

Sepanjang pembahasan RUU Terorisme, pasal pelibatan UU TNI menjadi salah satu pasal yang menyita perhatian publik.

Banyak kritik terhadap wacana ini karena berpotensi menciptakan militerisme dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih karena selama ini TNI cenderung punya sejarah melakukan tindakan eksesif dan represif.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, pelibatan militer tidak perlu masuk dalam revisi UU 15/2003. Sebab UU tersebut mengatur tata cara penegakan hukum, sehingga yang perlu diatur adalah institusi-institusi terkait dengan penegakan hukum.

Sedangkan TNI dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 tidak memiliki tugas utama sebagai penegak hukum, melainkan menjaga kedaulatan negara. Dalam UU TNI Pasal 7 ayat (2) dan (3) tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga telah diatur bahwa TNI dapat terlibat dalam tugas selain perang jika terdapat keputusan politik negara.

Kritik lain juga disampaikan mantan Koordinator KontraS, Haris Azhar. Menurutnya, masalah utama dari penanggulangan terorisme di Indonesia adalah pada sisi akuntabilitas, bukan terlibat atau tidaknya TNI. Seperti halnya operasi pemberantasan teroris di Poso, Sulawesi Tengah, sejak 2006 hingga 2013 oleh Densus 88 yang ia duga terjadi pelanggaran HAM.

Akibat banyaknya kritik, pembahasan pasal ini jadi lama. Saking lamanya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pernah mengirim surat ke DPR pada 8 Januari 2018. Ia meminta pihaknya dapat dilibatkan dalam penanggulangan terorisme. Alasannya: terorisme merupakan ancaman kedaulatan negara dan menjadi tanggungjawab TNI.

Tak lama setelah surat itu diterima DPR, pelibatan TNI akhirnya disepakati pada 14 Maret 2018 dan masuk dalam Pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3, seperti yang tercatat dalam draf RUU Terorisme per 17 April 2018.

Baca juga artikel terkait RUU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yandri Daniel Damaledo