tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikabarkan telah menemukan fakta baru terkait penyelidikan lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,64 hektar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun langsung merespon dan menyatakan siap menggelar pertemuan dengan BPK untuk membahas temuan fakta baru tersebut.
Ketua KPK, Agus Rahardjo, menegaskan bahwa pihaknya belum pernah menyatakan bahwa kasus RS Sumber Waras yang sempat menyeret nama Gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dihentikan.
"Saya dapat info soal fakta baru kasus Sumber Waras. BPK mau ketemu KPK, keliatannya ada bukti baru mengenai Sumber Waras karena KPK memang belum pernah menghentikan penyelidikan kasus Sumber Waras ini, penyelidikan loh ya," ujar Agus Rahadjo di sela acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) 2016 di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Oleh karena itu, Agus Rahardjo pun menyatakan bahwa KPK siap bertemu dengan BPK untuk membahas lebih lanjut terkait perkara Sumber Waras dan juga hal-hal lain, termasuk proyek off budget, yaitu proyek-proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak dikerjakan.
"Hasilnya apa, datanya apa belum tahu, yang pasti nanti akan ada pertemuan (KPK dengan BPK), dan sebenarnya ada yang lebih penting, yaitu mereka punya informasi terkait proyek-proyek off budget dan off treasury, tapi saya belum tahu juga, belum bicara ke mereka," tutur Agus Rahardjo.
"Tidak hanya temuan baru soal Sumber Waras, tapi juga soal proyek-proyek yang off itu tapi tahun berapa saya tidak tahu karena mereka (BPK) baru telepon, belum ketemu. Yang saya khawatir, jangan dikira ini kita main politik karena saat pilkada kita bicara itu, ya hati-hati juga kita," imbuhnya.
Tim penyelidik KPK sudah merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan terhadap pembelian RS Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi BPK menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp191 miliar.
Temuan KPK berbeda dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian Pemprov DKI terlalu mahal. Perbedaan itu terjadi karena acuan yang dipakai BPK dan KPK tidak sama.
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya