Menuju konten utama

KPK Panggil Dirut PJB sebagai Saksi Kasus Suap PLTU Riau-1

Direktur Utama PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Eni Saragih dalam kasus suap PLTU Riau-1.

KPK Panggil Dirut PJB sebagai Saksi Kasus Suap PLTU Riau-1
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Senin (24/7/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Iwan Agung Firstantara sebagai salah satu dari enam saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

"Penyidik hari ini dijadwalkan memeriksa enam orang saksi untuk dua tersangka berbeda terkait kasus suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1," kata Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (30/7/2018).

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan Budisutrisno Kotjo yang merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.

Dirut PJB Iwan Agung Firstantara dan karyawan PT China Huadian Engineering Indonesia Wang Kun akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Eni.

Sedangkan empat saksi akan diperiksa untuk tersangka Johannes, yaitu Direktur Pengembangan dan Niaga PT PJB Henky Heru Basudewo, Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudi Herlambang, Lukman Hakim dari unsur swasta, dan Nur Faizah Ernawati berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK tengah mengonfirmasi kepada para saksi yang dipanggil terkait pembahasan proyek PLTU Riau-1 antara PT Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI) dan perusahaan lain.

Sebelumnya, KPK telah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu, yaitu uang sejumlah Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.� Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari komitmen "fee" 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Penerimaan kali ini merupakan penerimaan keempat dari Johannes kepada Eni dengan nilai total setidak-tidaknya Rp4,8 miliar, yaitu Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 Rp2 miliar, dan 8 Juni 2018 Rp300 juta.

Diduga uang diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih melalui staf dan keluarga.

Adapun peran Eni adalah untuk memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.

Sebagai pihak yang diduga pemberi Johannes Budisutrisno Kotjo disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP PLTU RIAU 1

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri