Menuju konten utama

KPK Pakai UU TPPU dan Pidana Korporasi Untuk Usut Kasus BLBI

KPK akan memakai UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Peraturan MA tentang Pidana Korporasi di penanganan kasus korupsi BLBI yang menjerat mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

KPK Pakai UU TPPU dan Pidana Korporasi Untuk Usut Kasus BLBI
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) bersiap memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan Komisi Antirasuah tidak hanya memakai UU Tipikor di penanganan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.

Menurut dia, KPK akan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai Tindak Pidana oleh Korporasi di kasus ini.

Basaria mengatakan hal ini seusai mengumumkan penetapan Syafruddin sebagai tersangka dalam kasus korupsi BLBI terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, sebagai pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), pada tahun 2004 silam.

"Cara asset recovery akan dilakukan dengan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga sudah diatur dalam Perma Korporasi bagaimana menerapkan tindak pidana ke perusahaannya, nanti kita akan masuk ke sana," kata Basaria di gedung KPK Jakarta, pada Selasa (25/4/2017) dalam laporan Antara.

Menurut Basaria, penggunaan UU TPPU dan pidana korporasi tersebut memungkinkan penyidik Komisi untuk mengejar pelarian aset dana bantuan BLBI hingga ke luar negeri.

"Ke manapun alur (uangnya) akan dicari, bukan hanya di Indonesia saja tapi juga di negara lain juga ada," kata Basaria.

Basaria menambahkan, sebenarnya penerbitan SKL untuk bank milik Sjamsul Nursalim itu bukan termasuk tindak pidana korupsi karena merupakan bagian dari kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, kebijakan itu kemudian memuat unsur pidana korupsi karena saat dijalankan ada pihak yang mengambil keuntungan untuk pribadi maupun korporasi.

"Kebijakan itu menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses berjalannya kebijakan tersebut ada sesuatu manfaat yang diambil, diperoleh orang yang mengambil kebijakan tersebut untuk kelompoknya atau diri sendiri atau orang lain,” kata Basaria.

Meskipun begitu, dalam waktu dekat ini, penyidik KPK baru akan berfokus di penyidikan terhadap Syafruddin, terutama terkait dengan tidak ditagihnya sisa utang bank milik Sjamsul Nursalim sebesar Rp3,7 triliun.

"Seharusnya Rp4,8 triliun itu dilunasi dulu baru dikeluarkan SKL. Dengan dasar SKL ini maka dibuatkan SP3 oleh penyidik di Kejaksaan," kata Basaria.

Berdasarkan penjelasan Basaria, Syafruddin menjadi tersangka karena menyalahgunakan kewenangan saat menjabat Kepala BPPN pada tahun 2002-2004. Dia diduga mengusulkan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Litigasi yang dimaksud adalah membawa penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh Sjamsul Nursalim ke pengadilan. Sedangkan restrukturisasi adalah upaya perbaikan cara penagihan kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya.

Hasil restrukturisasinya adalah dana Rp1,1 triliun bisa kembali ke negara melalui penagihan ke petani tambak. Namun, sisa utang Rp3,7 triliun tidak masuk dalam proses restrukturisasi. Artinya, ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagih dan menjadi kerugian negara.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Bantuan untuk mengatasi masalah krisis ini dikucurkan berdasar perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia (BI) sudah mengucurkan dana lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan mayoritas pinjaman itu malah merugikan negara hingga Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan para pemilik bank penerimanya.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom