Menuju konten utama

KPK: Nilai Manfaat Dana Haji Jangan Sampai Habis

KPK mendorong pemerintah mengubah skema pembiayaan haji demi menjaga keberlanjutan dana nilai manfaat.

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan memberikan keterangan pers terkait hasil kajian sektor kelistrikan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Kementerian Agama (Kemenag) bahwa dana nilai manfaat adalah hak semua warga yang sudah membayarkan setoran haji. Hal itu disampaikan usai melakukan pertemuan dengan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas di kantor KPK.

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menjelaskan, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terdiri dari dua komponen. Pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih yang ditanggung oleh jemaah haji.

Kedua, nilai manfaat yang bersumber dari hasil optimalisasi yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) terhadap dana setoran jemaah.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, dijelaskan bahwa nilai manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Adapun setoran jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh jemaah haji melalui Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih.

"Jangan lupa nilai manfaat bukan punya yang mau berangkat saja, yang nunggu yang lebih banyak. Jadi kalau dihabisin sekarang, nanti yang nunggu repot," tegas Pahala Nainggolan di Jakarta, dikutip Sabtu (28/1/2023).

Karena milik semua jemaah, maka dibutuhkan upaya untuk menjaga keberlanjutan nilai manfaat agar tidak tergerus dan habis.

Sebagai gambaran Pahala Nainggolan menjelaskan komposisi BPIH 2022. Menurutnya, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 2022, rerata BPIH 2022 sebesar Rp81,7 juta. Dari jumlah itu, rerata Bipih yang dibayarkan jemaah Rp39,8 juta (48 persen), sisanya diambil dari dana nilai manfaat (52 persen).

Dua bulan kemudian, Pemerintah Arab Saudi menaikkan biaya layanan Masyair. Sehingga, ada kenaikan BPIH dengan rata-rata totalnya menjadi Rp98,3 juta. Sebagai respons atas kenaikan biaya di Saudi saat itu, terbit Kepres Nomor 8 Tahun 2022. Meski demikian, jemaah tetap membayar Bipih rerata Rp39,8 juta.

"Ini ditetapkan dengan Keppres Sebagai reaksi atas situasi saat itu. Akibatnya jemaah hanya menanggung 40 persen dari BPIH. Sementara nilai manfaat dan dana efisinsi menanggung 59 atau hampir 60 persen," urainya.

"Kondisi ini yang kita bilang kalau diteruskan begini kapan (waktu) dana nilai manfaat BPKH akan habis. Sekarang hanya Rp15 triliun kurang lebih nilai manfaat yang ada di BPKH. Kalau terus 60 persen 'disubsidi' jemaah, maka akan habis itu," sambungnya.

KPK sendiri sudah meminta BPKH melakukan kajian sustainibilitas (keberlanjutan) dana haji sejak 2020. Kajian itu juga sudah dilakukan dan sudah terlihat skemanya. Apalagi 2027 akan ada dua kali pemberangkatan jemaah haji. Itu berarti akan semakin banyak lagi dana akumulasi nilai manfaat yang harus disiapkan.

Sejalan dengan itu, KPK mendukung usulan adanya perubahan skema biaya haji demi keberlanjutan nilai manfaat. Sebab, nilai manfaat bukan hanya kepunyaan jemaah yang mau berangkat, tapi juga jemaah yang sedang menunggu dan itu jumlahnya lebih banyak. Sehingga, kalau habis dalam waktu dekat ini maka jemaah yang masih menunggu akan lebih repot lagi.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN BIAYA HAJI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky