tirto.id - Akhir November rupanya menjadi hari nahas bagi Hadang Soekarno. Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak itu tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah diduga menerima sejumlah uang suap dari Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP), R. Rajamohanan Nair.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Springhill Residence, Kemayoran, Jakarta itu, komisi antirasuah mengamankan sejumlah uang 148.500 dolar AS atau setara dengan Rp1,9 miliar. Uang tersebut diduga sebagai suap untuk menghilangkan kewajiban pajak PT EKP sebesar Rp78 miliar.
Penangkapan pejabat eselon III Ditjen Pajak ini membuat Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati kecewa. Ia pantas marah mengingat kementerian yang dipimpinnya sedang gencar-gencarnya membangun kepercayaan publik dan menggenjot penerimaan pajak melalui program tax amnesty.
“Tentu saya sangat kecewa terhadap tindakan aparat pajak, terutama pada saat kami semuanya dalam proses membangun kembali kepercayaan wajib pajak melalui Tax Amnesty, yakni kepercayaan dua belah pihak dari wajib pajak dan aparat pajak,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Sri Mulyani menilai, tindakan yang dilakukan Hadang Soekarno sebagai pegawai Ditjen Pajak mencerminkan suatu pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dan tata kelola yang baik, efektivitas dan kejujuran yang selama ini menjadi nilai yang dianut oleh Kementerian Keuangan.
OTT yang dilakukan KPK terkait suap di Ditjen Pajak tersebut bukan yang pertama di era Agus Rahardjo sebagai ketua KPK. Penelusuran yang dilakukan tirto.id, sejak dilantik menjadi pimpinan KPK pada Desember 2015, hingga saat ini setidaknya komisi antirasuah sudah melakukan OTT sebanyak 13 kali. Artinya, hampir setiap bulan pihaknya melakukan operasi tangkap tangan ini.
Selain itu, secara kuantitas, jumlah penindakan tindak pidana korupsi selama 2016 juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2015. Seperti terpacak di laman acch.kpk.go.id, pada tahun 2015 jumlah penyidikan sebanyak 57 perkara, naik menjadi 67 perkara pada tahun ini. Jumlah penyelidikan dan penuntutan memang lebih rendah jika dibandingkan tahun lalu, namun jumlah putusan inkracht dan eksekusi meningkat pada tahun 2016.
Sayangnya, dari sekian banyak OTT dan kasus yang ditangani KPK di era Agus Rahardjo ini rata-rata adalah kasus korupsi kecil, baik dari sisi nominal kerugian negara, maupun dari aktor yang terjerat dalam kasus tersebut. Padahal, beberapa kasus besar seperti BLBI, kasus dana talangan Bank Century, dan kasus korupsi e-KTP dengan potensi kerugian negara ratusan triliun masih memerlukan upaya tindak lanjut dan keseriusan KPK untuk mengusutnya.
Karena itu, tak keliru bila ada pihak yang mewanti-wanti agar komisioner KPK 2015-2019 ini bekerja bukan berdasarkan prinsip kejar setoran atau kejar tayang. Kekhawatiran ini menjadi wajar mengingat selama ini banyak kasus yang perlu penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terbengkalai, bahkan tak sedikit tersangka korupsi di KPK yang terkatung-katung tidak diperiksa hingga berbulan-bulan.
Memburu Korupsi Kecil
Strategi komisioner KPK saat ini sedikit berbeda dengan era sebelumnya. KPK tidak hanya fokus pada kasus besar, melainkan juga menyasar kasus kecil hingga ke daerah. Hal ini terlihat dalam kinerja KPK dalam setahun terakhir. Bahkan, dari 13 OTT KPK selama Januari – November 2016, rata-rata adalah kasus kecil yang melibatkan aktor beragam, mulai dari politisi, penegak hukum, pegawai negeri, hingga pengusaha.
Misalnya, kasus OTT yang dilakukan KPK pertengahan Oktober di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Dalam kasus dugaan suap terkait ijon proyek di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kebumen ini, KPK hanya menyita uang sebesar Rp70 juta.
Sebelumnya, pada 17 September 2016, KPK juga menangkap tangan Ketua DPD RI, Irman Gusman setelah diduga menerima suap sebesar Rp100 juta dari Direktur Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto sebagai hadiah atas alokasi pembelian gula yang diimpor Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk disalurkan ke Provinsi Sumatera Barat tahun 2016 lewat CV Semesta Berjaya.
Kalau ditarik lagi ke belakang, atau pada 30 Juli 2016, KPK juga melakukan OTT terhadap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Muhammad Santoso. Ia didakwa menerima suap sebesar 28 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp260 juta dari seorang pengacara terkait dengan perkara gugatan perdata.
Kasus-kasus kecil yang belakangan ini menjadi fokus KPK, mengundang sejumlah pertanyaan di publik, bahkan, tak sedikit pihak yang menuding KPK hanya kejar setoran. Kalau dilihat dari besar kecilnya kasus, asumsi tersebut ada benarnya, namun jika dilihat dari prinsip bahwa penegakan hukum dalam kasus korupsi bukan dilihat dari kecil besarnya kasus, maka yang dilakukan KPK tidak sepenuhnya keliru.
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif mengatakan, pengungkapan korupsi kecil yang dilakukan pihaknya adalah untuk memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (ICP) Indonesia yang masih kalah dibandingkan Malaysia dan Singapura. Ia berasalan, untuk mendapatkan angka ICP sebesar 50, maka faktor yang paling berpengaruh adalah pengungkapan korupsi-korupsi kecil, termasuk pungutan liar.
Karena itu, selain KPK mengusut kasus-kasus yang dinilai publik kecil, lembaga yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta ini juga memberikan usulan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memberikan instruksi yang jelas agar korupsi-korupsi kecil bisa ditangani dengan cepat. Karena selama ini KPK terbatasi oleh undang-undang.
"Pertama harus ada penyelenggara negara, kedua kerugian negara harus di atas Rp1 miliar jadi agak menyusahkan KPK untuk melakukan semuanya," ujarnya dikutip Antara.
Menurut Laode, berdasarkan survei internasional, salah satunya tentang investasi dan bisnis, masalah paling pokok yang dihadapi Indonesia adalah dalam Indicator of Doing Business, yakni angka corruptive dengan skor mencapai 11,7. Artinya, praktik korupsi yang terjadi di Tanah Air tidak hanya dalam kasus besar, melainkan banyak kasus kecil yang juga perlu penanganan lebih lanjut.
Maka tak heran jika KPK mulai mengusut korupsi-korupsi dengan skala kecil yang masih dapat dijangkau. Namun, KPK sadar bahwa tugas ini tidak bisa dipikul sendirian. Karena itu, menurut Laode, komisi antirasuah akan menyerahkan pengusutan korupsi kecil atau pungutan liar ke kepolisian sebagai institusi yang paling tepat menangani hal ini. Sementara pihaknya akan membantu memberikan supervisi.
“Saya sudah mendapati banyak petinggi Polri yang memberikan arahan akan menindak tegas bawahannya yang ikut dalam pungli, dan pemberantasan pungli ini harus menjadi gerakan nasional dan KPK akan memberikan dukungan yang kuat,” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Laode ada benarnya. Karena menurut laporan Transparansi Internasional pada awal tahun ini, ICP Indonesia tahun 2015 membaik menjadi 36 dari tahun 2014 yang hanya mencapai skor 34. Peringkat Indonesia sendiri naik dari 107 menjadi 88.
Namun, ICP Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara lain di ASEAN seperti Malaysia (50), dan Singapura (85), dan sedikit di bawah Thailand (38). Meski prestasi Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22).
Transparansi Internasional membuat peringkat ICP dari 168 negara di seluruh dunia, dengan skor 0 untuk paling korupsi, dan 100 untuk paling bersih. Skor rata-rata di dunia adalah 43, artinya semua negara dengan skor di bawah itu dianggap masih korup.
Terlepas dari perdebatan KPK terkesan hanya menangani kasus kecil dan mengabaikan kasus-kasus besar, namun yang lebih penting adalah penanganan korupsi, baik penindakan maupun langkah preventif harus tetap berlanjut. Jangan sampai korupsi menggerogoti bangsa ini.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS