tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan di tiga lokasi di Nganjuk dan dua lokasi di Jombang, Jawa Timur, Selasa (6/12/2016), terkait dengan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek-proyek pembangunan dan perbaikan jalan di Kabupaten Nganjuk tahun 2009.
"Pada hari ini ada penggeledahan di tiga lokasi di Nganjuk, sedangkan di Jombang ada dua lokasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa.
Febri mengatakan, di Nganjuk, KPK menggeledah Kantor Dinas Pekerjaan Umum Binamarga, Kantor Cipta Karya, dan Dinas Pengairan. Sedangkan di Jombang KPK menggeledah Kantor PU Cipta Karya dan Dinas Pengairan KPK dalam kasus ini menetapkan Bupati Nganjuk periode 2008-2013 dan 2013-2018 Taufiqurrahman sebagai tersangka.
Penggeledahan tersebut, kata dia, dilakukan untuk mencari bukti-bukti dan penyidik akan mempelajari bukti-bukti tersebut yang relevan dengan penanganan perkara.
Pada Senin lalu, penyidik KPK juga menggeledah lima lokasi lain, yaitu rumah pribadi bupati Nganjuk, rumah dinas bupati Nganjuk, kantor bupati Nganjuk, rumah pribadi Taufiqurrahman di Jombang, serta kantor Sekda Jombang Ita Triwibawati yang merupakan istri Taufiqurrahman.
"Dari penggeledahan hari Senin, penyidik KPK menemukan dokumen dan barang bukti elektronik, uang dan kendaraan," jelas Febri.
Meski demikian, Febri belum menjelaskan jumlah uang maupun kendaraan yang disita penyidik.
Dalam kasus ini KPK menyangkakan Taufiqurrahman berdasarkan Pasal 12 huruf i UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Politikus PDI Perjuangan itu juga disangkakan Pasal 12 B UU yang sama yang mengatur mengenai setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan yang nilainya Rp. 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Ancaman bagi pelaku yang terbukti adalah penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 miliar.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto