tirto.id - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil langkah hukum banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terhadap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi.
"Tim JPU yang diwakili Januar Dwi Nugroho, hari ini (19/7/2021) telah menyatakan upaya hukum banding melalui kepaniteraan pidana khusus Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri lewat keterangan tertulisnya pada Senin (19/7/2021).
Fikri menjelaskan, alasan banding dilakukan karena hakim tidak merampas semua aset yang dituntut oleh jaksa untuk dirampas. Padahal hal itu dinilai penting guna pemulihan aset negara yang telah dikorupsi terdakwa Rohadi.
Fikri berharap hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta dapat mengabulkan permohonan banding jaksa tersebut. Pasalnya, perampasan aset dalam penanganan kasus korupsi adalah salah satu upaya untuk menimbulkan efek jera.
Dalam kasus ini, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan terhadap Rohadi. Rohadi dinyatakan bersalah atas tiga kejahatan, antara lain suap, gratifikasi, serta pencucian uang.
"Menyatakan terdakwa Rohadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu subsider, kedua, ketiga, serta melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan keempat," kata hakim ketua Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (13/7/2021) lalu.
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yakni 5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kuruangan.
Hakim menyatakan, Rohadi terbukti menerima suap dari anggota DPRD Papua Barat periode 2009—2014, yakni Robert Melianus Nauw dan Jimmy Demianus Ijie melalui Sudiwardono. Suap itu diberikan agar Robert dan Jimmy yang terjerat kasus korupsi, diberikan putusan bebas pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung.
Selain itu, Rohadi terbukti menerima suap dari Jeffri Darmawan Rp110 juta; dari Yanto Pranoto Rp235 juta; dari Ali Darmadi sebesar Rp1,608 miliar; serta dari Sareh Wiyono sebesar Rp1,5 miliar. Seluruh uang itu terkait dengan pengurusan perkara.
Rohadi dianggap melanggar pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Rohadi juga terbukti menerima gratifikasi dengan total Rp11.518.850.000,00 dari sejumlah pihak dan tidak melaporkannya ke KPK. Atas hal itu, Rohadi dinyatakan terbukti melanggar Pasal 12B UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Rohadi pun terbukti melakukan pencucian uang dengan cara menukar uang haram dari mata yang asing ke mata uang rupiah dengan total mencapai Rp19,408 miliar. Rp465,3 juta di antaranya ia setor ke rekening pribadinya, sementara Rp13.010.976.000,00 lainnya ditransfer ke rekening keluarganya, dibelanjakan, dan digunakan untuk membeli tanah dan bangunan.
Selain itu, Rohadi juga membeli mobil yang seluruhnya seharga Rp7.714.121.000 dengan uang haram tersebut. Ia pun membuat kuitansi fiktif agar tampak seolah-olah menerima modal investasi (pinjaman uang) dari pihak lain dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana korupsi.
Atas perbuatannya, Rohadi dinyatakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto