tirto.id - Kota-kota besar semakin padat, baik orang maupun bangunannya. Di sisi lain, masyarakat semakin sadar akan hak-haknya sebagai warga kota.
Aturan-aturannya juga sudah jelas. Ada soal UU Pekerjaan Umum No.28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung yang telah mengamanatkan pentingnya keseimbangan antara aspek bangunan dan lingkungannya.
Ada pula UU No. 74 Tahun 2002 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan yang mewajibkan agar dalam pengelolaan sumber daya air maupun jalan sungguh-sungguh memperhatikan kelestarian lingkungan.
Penataan ruang juga diatur dengan UU No. 26 Tahun 2007 yang menjadi payung hukum dalam menjaga keseimbangan pemanfaatan ruang baik skala kawasan wilayah maupun wilayah konsep perencanaan berkelanjutan untuk menciptakan sinergi antara perencanaan dan teknologi yang menghemat sumber daya alam, energi, dan biaya.
Namun aturan-aturan itu belum berhasil mewujudkan tata ruang kota yang diidamkan semua orang. Persoalan-persoalan yang mengemuka di media massa merupakan fakta ada hal-hal tertentu yang luput dari perhitungan pemerintah.
Seperti diwartakan Antara, Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia menilai persoalan tata ruang sampai saat ini sudah mengalami tumpang tindih yang bisa berdampak pada konflik berkepanjangan di kemudian hari, sehingga memerlukan perhatian serius dari pemerintah agar persoalan pembangunan ruang kota ini tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur.
Ketua Umum IAP Indonesia Bernardus Djojoputro menyampaikan, “Konflik mengenai tata ruang semakin banyak terjadi belakangan ini karena kendala pengelolaan tata ruang lintas sektor yang tidak efektif.”
Bernadus menambahkan hingga saat ini belum terlihat langkah-langkah nyata pemerintah berkaitan dengan agenda perkotaan, tata ruang kota maupun desa yang dikaitkan dengan visi yang ditetapkan dalam Perpres No. 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang meliputi 250 proyek nasional dan 30 proyek prioritas, yang juga mengalami kendala pada aspek aturan tata ruang.
Tata ruang dari segi infrastruktur yang karut marut itu terjadi juga di wilayah Sumatera. Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) mengatakan pembangunan di Sumatera Utara semakin banyak melanggar tata ruang dan tidak terintegrasi satu sama lain.
Ronal HT Simbolon salah satu anggota HAKI Sumut, di Medan, mengatakan kawasan di Setia Budi yang awalnya diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman sudah berkembang menjadi kawasan bisnis yang juga tidak teratur sehingga kawasan itu menjadi macet. Selain itu kawasan Medan Johor yang jadi kawasan peresapan air juga dijadikan perumahan.
Di sisi lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan Djalil mencontohkan kemacetan yang terjadi di Jalan Raya Dramaga, Bogor, Jawa Barat merupakan contoh tata ruang yang salah. Ia melihat tidak ada perubahan luas jalan di Jalan Dramaga, sementara jumlah kendaraan dan populasi penduduk di wilayah tersebut terus bertambah.
Ia menambahkan kejadian banjir bandang yang menewaskan 16 orang di Kabupaten Garut pada September 2016 semakin membuktikan pembangunan yang terjadi selama ini tidak memperhatikan tata ruang. Daerah pegunungan ditanami sayuran. Hal serupa juga terjadi di Dieng, yang diramalkan tinggal menunggu waktu akan kebanjiran serupa Garut.
Perlu diketahui bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan wilayah Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakarta rentan terhadap banjir. Terdapat empat daerah yang memperoleh prioritas tinggi terkait ancaman banjir ini, yaitu Yogyakarta karena banjir lahar dingin Merapi, Jakarta, Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, dan DAS Citarum.
Kota untuk Semua Kalangan
Dari masalah-masalah yang timbul berkat penataan kota yang kurang pas sejauh ini, masyarakat pun menginginkan tata ruang kota yang berbasiskan hak asasi manusia (HAM) atau non diskriminasi. Keinginan ini mencuat karena masyarakat menilai tata ruang kota saat ini masih tidak memenuhi HAM di ruang publiknya. Terlalu banyak infrastruktur yang tidak memberikan kemudahan akses pada golongan rentan seperti lansia, dissabilitas, dan anak-anak.
Hal itu terungkap dalam forum diskusi panel Urban Social Forum (USF) yang diselenggarakan di SMA Negeri 1 Semarang, Sabtu (3/12/2016). Para anggota organisasi masyarakat sipil,
pemerintah kota, anggota komunitas, dan aktivis sosial, serta mahasiswa dari seluruh Indonesia yang hadir dalam acara tersebut berusaha memeriksa ulang posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati keterbatasan, ketidakstabilan, masalah, ancaman, potensi maupun kesempatan yang dihadapi di ruang kota.
Risnawati Utami dari Organisasi Handicap Nusantara-Ohana menyampaikan banyak warga tidak hanya disabilitas tapi juga lansia yang tidak bisa mengakses kota.
“Selain karena lingkungan, juga ada hambatan sikap oleh masyarakat umum ketika kita mau mengakses jalan,” imbuhnya dalam diskusi panel USF, di Semarang, Sabtu (3/12/2016).
Ia menerangkan pemerintah kita belum memikirkan bentuk kota urban yang inklusif, sehingga menjadi sebuah kewajaran jika terjadi kemacetan dan banjir di berbagai kota.
Dari segi infrastruktur, ia mencontohkan pengalamannya selama tinggal di Jakarta. Ketika keluar rumah, ia kesulitan untuk mengakses trotoar jalan menggunakan kursi rodanya sebab di trotoar ada penghalang (steel pipe bollards) yang tidak bisa naik turun secara otomatis.
“Kalau di luar negeri tonjolan (penghalang) itu bisa naik turun dengan otomatis, tapi di Jakarta itu tidak bisa sehingga saya sering melihat ada tunanetra menabrak tonjolan tersebut. Kita masih dikalahkan dengan pengguna sepeda motor nakal yang memanfaatkan trotoar, sehingga tonjolan itu tidak diadopsi untuk keperluan yang berkelanjutan bagi kami,” paparnya.
Menurutnya pemerintah harus memikirkan cara agar semua fasilitas dapat dirasakan fungsinya oleh semua orang, baik anak-anak, lansia, dan disabilitas.
“Saya melihat ketidaktahuan antara pemerintah dan masyarakat, sehingga selalu ada miss understanding di antara masyarakat itu sendiri dan juga dengan pemerintah, sehingga saya harapkan ada pengenalan terhadap konsep pembangunan kota yang inklusif dan non-diskriminatif,” imbuh Risna.
Konsep kota berdasarkan HAM sebenarnya sudah diluncurkan sejak tahun 1997 oleh Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM, sebuah organisasi internasional nonprofit yang bergerak di bidang pelayanan. Konsep ini dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai sebuah konsep normatif, oleh Forum Kota Hak Asasi Manusia Dunia (World Human Rights Cities Forum) yang berlangsung setiap tahun di kota Gwangju, Republik Korea Selatan.
Deklarasi Gwangju tentang Kota Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 17 Mei 2011 mendefinisikan kota HAM sebagai sebuah komunitas lokal maupun proses sosial-politik dalam konteks lokal. HAM memainkan peran kunci sebagai nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip panduan.
Sebuah kota HAM menghendaki tata kelola HAM secara bersama dalam konteks lokal. Karena itu pemerintah daerah, parlemen daerah/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masyarakat sipil, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang dalam semangat kemitraan berdasarkan standar dan norma-norma HAM.
Pendekatan HAM terhadap tata pemerintahan lokal meliputi prinsip demokrasi, partisipasi, kepemimpinan yang bertanggung jawab, transparansi, akuntabilitas, nondiskriminasi, pemberdayaan, dan supremasi hukum. Konsep kota hak asasi manusia juga menekankan pentingnya memastikan partisipasi luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan. Serta pentingnya perlindungan hak asasi manusia yang efektif, independen, serta mekanisme pemantauan yang melibatkan semua orang.
Konsep ini mengakui pentingnya kerja sama antardaerah dan internasional juga solidaritas berbagai kota yang terlibat dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
Prinsip-Prinsip Panduan Gwangju bagi Kota HAM yang disahkan tanggal 17 Mei 2014 dalam pertemuan Forum Kota-kota Hak Asasi Manusia Dunia yang keempat memuat prinsip-prinsip sebuah kota HAM sebagai berikut: hak atas kota, non-diskriminasi dan tindakan afirmatif; inklusi sosial dankeragaman budaya; demokrasi partisipatoris dan pemerintahan yang akuntabel; keadilan sosial, solidaritas dan keberlanjutan; kepemimpinan dan pelembagaan politik; pengarusutamaan hak asasi manusia; koordinasi lembaga-lembaga dan kebijakan yang efektif; pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia, dan hak atas kompensasi.
Dengan konsep tersebut, sampai dengan 2015 pemerintah metropolitan Seoul telah mendukung 63 organisasi dan bisnis sharing dengan target dukungan hingga 300 bisnis sharing pada tahun 2018.
Beberapa bisnis sharing yang sukses diantaranya seperti berbagi mobil (carsharing), homesharing service, berbagi pengalaman perjalanan, berbagi pakaian anak-anak dan berbagi lahan parkir. Di luar itu juga terdapat berbagai inisiatif lainnya seperti urban home stay.
Selain itu, pemerintah kota metropolitan Seoul juga mendorong inisiatif untuk berbagi ruang publik dengan membuka sekitar 800 gedung pemerintah di luar jam kerja agar dapat digunakan sebagai tempat berkegiatan warga, serta menambah jam kunjungan dan pelayanan di museum umum dan galeri seni.
Menurut pemerintah kota metropolitan Seoul, dampak ekonomi yang dihasilkan dari berbagi lahan parkir, pembukaan fasiliitas publik dan berbagi mobil senilai 48,4 miliar won atau setara dengan Rp553,5 miliar, demikian laporan yang ditulis oleh International NGO Forum on Indonesian Development.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Maulida Sri Handayani