tirto.id - Tim atau panel pengawas sanksi PBB mengatakan bahwa ahli siber Korea Utara secara ilegal telah mengumpulkan uang untuk mendanai persenjataan program pemusnah massal di negaranya. PBB memperkirakan bahwa total pendatan mencapai 2 miliar dolar AS.
Dilansir dari Japan Times, sesuai dengan yang dikatakan para ahli kepada perkumpulan pengawas atau security council bahwa, "Mereka (Korea Utara) meluncurkan serangan yang canggih untuk mencuri dana dari lembaga keuangan, serta menggunakan pertukaran mata uang kripto untuk menghasilkan pendapatan."
Pertukaran mata uang kripto dilakukan dengan uang virtual seperti bitcoin. Sedangkan dalam Ethereum dan Ripple menggunakan teknologi yang disebut dengan blockchain.
Dilaporkan ada beberapa perampokan yang menggunakan mata uang kripto yang sudah terjadi, termasuk di antaranya adalah pereteasan yang dilaporkan bulan lalu oleh perusahaan Remixpoiny yang berbasis di Tokyo.
Ia menjalankan pertukaran BITPoint dan menyebabkan kerugian sekitar 3,5 miliar yen atau setara dengan 32 juta dolar AS.
Sementara menurut para pakar AS, seperti yang dikutip pada AP News, Senin (5/8/2019) alasan serangan Korea Utara terhadap pertukaran mata uang kripto karena memungkinkan bagi mereka untuk, "Menghasilkan pendapatan dengan cara yang lebih sulit untuk dilacak daripada mencuri pada sektor perbankan tradisional," ujarnya.
Laporan ini awalnya didapatkan dari sebuah laporan PBB yang bocor. Laporan rahasia tersebut mengatakan bahwa Pyongyang telah menargetkan bank dan pertukaran mata uang kripto untuk mengumpulkan uang tunai.
Sumber juga mengkonfirmasi kepada BBC bahwa PBB sedang menyelidiki 35 serangan siber.
Panel mengatakan bahwa lembaga keuangan Korea Utara mempertahankan lebih dari 30 perwakilan luar negeri untuk mengontrol rekening bank dan memfasilitasi trasaksi. Hal tersbeut termasuk untuk tranfer batu bara dan minyak bumi secara ilegal.
Seelain itu mereka juga menambahkan bahwa bank dan perwakilan untuk Korea Utara memanfaatkan warga negara asing yang terlibat untuk mengaburkan kegiatan mereka.
Hal diperburuk dengan Korea Utara yang terus melanggar sanksi dengan menggunakan pengiriman ilegal batubara ke kapal dan produk minyak olahan, kata panel.
Para ahli mengatakan mereka mengidentifikasi "teknik penghindaran baru" untuk transfer tersebut termasuk kapal pengumpan menggunakan Sistem Identifikasi Otomatis Kelas B dan beberapa transfer menggunakan kapal yang lebih kecil.
Tak hanya itu Korea Utara juga terus melanggar sanksi dengan membeli barang-barang untuk produksi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya.
Panel mengungkapkan selama periode enam bulan antara Februari dan Agustus, panel mengatakan, Korea Utara terus meningkatkan program rudal nuklir dan balistiknya.
Seperti yang diwartakan BBC, para ahli mengatakan mereka menerima laporan dari Amerika Serikat dan 25 negara lain dengan data yang menuduh Korea Utara melanggar sanksi PBB dengan mengimpor jauh melebihi batas tahunan hal itu berupa 500.000 barel produk minyak olahan pada empat bulan pertama 2019.
Tim pengawas atau panel mengatakan bahwa pihak Rusia mengemukakan pendapat akan terlalu dini bagi komite sanksi untuk membuat keputusan konklusif dan menghentikan impor tersebut.
Sedangkan Cina mengatakan lebih banyak bukti dan informasi diperlukan untuk membuat penilaian.
Diketahui bahwa Korea Utara meluncurkan dua rudal pada hari Selasa (6/8/2019), peluncuran keempat dalam waktu kurang dari dua minggu.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (7/8/2019), pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un mengatakan peluncuran itu merupakan peringatan terhadap latihan militer gabungan yang dilakukan oleh AS dan Korea Selatan.
Ia berasumsi bahwa latihan itu sebagai pelanggaran perjanjian damai.Pada pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura, ia setuju untuk menghentikan uji coba nuklir. Kim juga setuju bahwa Korea Utara tidak akan lagi meluncurkan rudal balistik antarbenua.
Kesepakatan dilanjutkan pada KTT kedua antara kedua pemimpin di Hanoi pada 2019 berakhir tanpa persetujuan.
Sejak itu, pembicaraan denuklirisasi terhenti meskipun kedua belah pihak mengatakan mereka masih ingin mengejar diplomasi.
Menanggapi laporan PBB, seorang juru bicara departemen luar negeri AS mengatakan kepada kantor berita Reuters: "Kami menyerukan semua negara yang bertanggung jawab untuk mengambil tindakan untuk melawan Korea Utara yang melakukan aktivitas siber yang berbahaya, yaitu aktivitas membuahkan pendapatan yang mendukung WMD dan program rudal balistik yang melanggar hukum."
Penulis: Rachma Dania
Editor: Yandri Daniel Damaledo