tirto.id -
"Kementerian adalah pihak yang memberikan izin dan bertugas melakukan pengawasan. Kementerian sudah mengetahui First Travel bermasalah sejak tahun 2015. Namun, diakhir tahun 2016 kementerian tetap melakukan perpanjangan izin," kata Riesqi usai pertemuan bersama calon jamaah di Jagaraksa, Jakarta Selatan, Sabtu (15/9/2017).
Ia menjelaskan gugatan tersebut tidak berjalan berseberangan dengan upaya hukum lain yang telah berjalan, seperti gugatan ke pengadilan niaga dan pidana yang dilakukan oleh pengacara korban lain dan pihak kepolisian.
Sebelum putusan pengadilan niaga keluar, tambahnya, para korban juga melakukan upaya damai dengan meminta pengembalian uang kepada First Travel.
Jika kesepakatan damai antara jemaah dan First Travel tidak bisa dicapai, kata dia, para korban akan melakukan voting sikap jemaah untuk menetapkan apakah akan menerima putusan atau menolak pailit.
Gugatan para korban di Pengadilan Niaga saat ini masih berstatus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Sementara pendataan tagihan yang harus dibayar first travel telah dilakukan dan berakhir kemarin (15/9/2017) sore.
Namun, kata Riesqi, belum semua jemaah mendaftarkan tagihan mereka lantaran terkendala letak geografis tempat tinggal mereka. Sementara, pihak kuasa hukum masih akan terus melakukan pendataan susulan terhadap tagihan pengembalian uang dari para jamaah.
Kendati demikian, ia menyampaikan bahwa jemaah yang melakukan pendataan susulan akan memiliki hak yang sama dengan jemaah lainnya kecuali hak untuk melakukan voting.
"Kami perkirakan akan ada lebih dari 500 orang yang mendaftar melalui kami. Kami masih akan melayani hingga 23 September," kata Riesqi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Akhmad Muawal Hasan