Menuju konten utama

Kontroversi Siaran Langsung Sidang Vonis Aman Abdurrahman

KPI memang melarang peliputan, tetapi ditujukan untuk lembaga penyiaran TV dan radio, bukan wartawan online dan cetak.

Kontroversi Siaran Langsung Sidang Vonis Aman Abdurrahman
Terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (22/6/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - "Himbauan KPI bahwa tidak siaran langsung live. Kemudian HP juga [dilarang], karena suara [dari] HP bisa live juga."

Akhmad Jaini, ketua majelis hakim sidang vonis terdakwa kasus terorisme bom Thamrin 2016 Aman Abdurrahman, mengucapkan larangan itu sesaat sebelum sidang dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaini meminta tidak ada siaran langsung berupa gambar maupun suara dari sidang Aman.

"Kami mengimbau supaya nanti pada persidangan tidak ada masang perekaman dan sebagainya. Kita patuhi bersama jadi ketua majelis berdasarkan pasal 217-218 KUHAP melihat begitu," kata Jaini.

Tidak lama setelah pengumuman dikeluarkan, Aman pun memasuki ruang sidang. Dengan menggunakan koko biru, petinggi Jamaah Ansharut Daulah itu memasuki ruang sidang. Ia tidak berbicara sepatah kata pun.

Awak media pun langsung mengabadikan sosok Aman. Bunyi blitz kamera dan suara panggilan nama terdengar riuh di ruang sidang. Tidak sampai 15 menit, hakim meminta awak media meninggalkan ruangan. Polisi yang berada dalam ruangan langsung bergerak. Mereka mengeluarkan paksa awak media, baik cetak, online, hingga televisi. Awak media radio pun ikut diminta keluar dari ruang sidang. Beberapa awak media sempat adu mulut dengan petugas lantaran belum mengabadikan wajah Aman. Namun, polisi bersikukuh mengeluarkan awak media dari ruangan.

Ruang sidang Aman yang sebelumnya dipenuhi wartawan kini sudah disesaki petugas kepolisian. Puluhan petugas berjaga di dalam dan sisi samping gedung. Awak media pun berusaha mengakali dengan berdiri di sisi samping ruangan yang dekat dengan speaker. Mereka sempat mengabadikan foto Aman yang duduk di kursi pesakitan. Namun, pihak kepolisian langsung menutup ruangan secara penuh.

Awak media ada yang boleh masuk. Namun, mereka dilarang membawa perekam apapun dalam ruangan. Barang bawaan diperiksa dan dipastikan tanpa perekam. Akhirnya, awak media pun menunggu di luar sampai pengadilan menskors persidangan jelang pembacaan putusan.

Usai mensterilkan ruang sidang aman dari awak media Kapolres Jakarta Selatan Indra Jafar mengatakan hal itu mereka lakukan berdasarkan permintaan KPI.

"Kami juga dapat surat tembusan dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tentunya ada beberapa pertimbangan saya lihat di situ," kata Indra saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat.

Indra menerangkan larangan menayangkan siaran langsung dilakukan guna mengantisipasi reaksi negatif yang mungkin terjadi saat sidang berlangsung. Selain itu, larangan juga bertujuan untuk mencegah penyebaran paham Aman.

"Kita tidak tahu reaksi yang bersangkutan ketika sudah mendapat vonis dan sebagainya," ujarnya. "Paham ini jangan sampai menyebar dan justru akan mempengaruhi masyarakat."

Namun, Ketua KPI Yuliandre Darwis mengatakan surat himbauan KPI hanya berlaku bagi wartawan televisi dan radio. Membawa alat rekam bagi media online dan cetak bukan termasuk bagian yang dilarang KPI. “Maksud KPI kan hanya [larangan hanya buat media] penyiaran, jadi media cetak dan online [tidak terbatasi],” kata Ketua KPI, Yuliandre Darwis

Dalam surat edaran KPI nomor 365/K/KPI/31.2/06/2018, seluruh direktur stasiun televisi diharap memperhatikan bahaya penayangan sidang pelaku terorisme secara langsung. Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPI ada tiga hal yang harus diperhatikan.

Pertama, penyiaran harus memperhatikan kewibawaan lembaga peradilan dan kelancaran proses persidangan. Kedua, harus memperhatikan keamanan perangkat persidangan dan saksi. Ketiga, penyiaran harus memperhatikan potensi penyebaran ideologi terorisme dan penokohan teroris.

Dari ketiga hal itulah polisi kemudian membuat aturan agar wartawan tak ada yang membawa alat apapun ke dalam ruang sidang untuk merekam jalannya persidangan ataupun menyiarkan secara langsung. “Khusus teroris agak sensitif. Bisa memancing teroris untuk berbuat anarkis, keluarga menonton, dan balas dendam,” tegasnya.

Namun, pelarangan ini sebetulnya agak terlambat. Sidang Aman sudah melewati tahapan pleidoi dan hanya menyisakan vonis. Andre mengatakan seharusnya sidang kasus terorisme dilaksanakan secara tertutup sejak awal. “Itulah di dunia ini, hanya negara kita yang live. Semuanya salah tafsir. Negara asing juga happy melihat kita terbuka,” katanya lagi.

Peneliti Remotivi Firman Imadudin tak sepenuhnya setuju dengan pelarangan penayangan langsung hingga perekaman suara sidang vonis Aman. Imaduddin menilai jalannya sidang juga perlu mendapat pengawasan publik melalui media.

“Kami pahami dan setujui sampai taraf tertentu, tapi dalam kasus yang memang besar seperti ini, transparansi proses peradilan juga penting untuk menjamin kredibilitas peradilan," kata Firman kepada Tirto, Jumat.

Firman percaya larangan yang dikeluarkan KPI bertujuan mencegah penyebaran paham radikalisme. Remotivi pernah mengeluarkan ulasan bagaimana media juga menjadi instrumen penyebaran pandangan terorisme. namun, masyarakat tetap perlu mengetahui hal yang sebenarnya dalam persidangan.

"Tapi di sisi lain, publik juga punya hak untuk tahu tentang segala ancaman. Jalan tengahnya adalah bagaimana aksi teror itu dibingkai," kata Firman.

Firman menilai, permasalahan peliputan persidangan teroris perlu diatur lebih lanjut. Menurutnya tindakan yang dilakukan kepolisian dan pengadilan dalam perkara Aman berpotensi melanggar UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers yang menyatakan pers merdeka, bebas mendapat informasi, dan berhak tidak disensor. Oleh sebab itu, pengendalian terorisme tidak serta merta dengan menutup informasi.

"Idealnya, upaya mengendalikan terorisme di media didasari dengan self-regulation dari media sendiri," kata Firman. "Aturan KPI ini cukup jelas, anjuran untuk tidak meliput live, yang mungkin lebih punya justifikasi, Tapi sikap yang diambil kepolisian/pengadilan untuk menutup pengadilan tidak bisa dijustifikasi."

Pandangan berbeda diungkapkan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Revolusi Riza. Menurutnya, jurnalis memang harus patuh terhadap aturan hakim yang memimpin jalannya sidang. Hal semacam ini menurutnya juga berlaku dalam sidang di pengadilan Amerika Serikat.

"Kita para jurnalis harus menghormati keputusan majelis hakim dengan berbagai pertimbangan,” kata Riza.

Dewan Pers menilai hakim berwenang menentukan sidang boleh diliput atau tidak. "Dewan Pers menghormati keputusan apa yang diputuskan majelis hakim atau sidang karena kewenangan yang di ruang sidang itu sepenuhnya adalah kewenangan hakim apakah sidang terbuka maupun tertutup," kata Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar kepada Tirto, Jumat.

Djauhar menerangkan hal itu diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Hakim umumnya mengumumkan sidang terbuka atau tidak. "Jadi kita sebagai ini [wartawan] tidak boleh protes. Aturannya begitu," kata Djauhar.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Andrian Pratama Taher
Editor: Muhammad Akbar Wijaya & Maulida Sri Handayani