Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Kontroversi Pernyataan Denny soal Sistem Pemilu & PK Demokrat

Ada sejumlah faktor yang mungkin menjadi motif politik dan momentum yang dikejar dari pernyataan Denny Indrayana.

Calon Gubernur Kalimantan Selatan Denny Indrayana mengunjungi Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/5/2021). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

tirto.id - Pernyataan eks Wamenkumham era Presiden SBY, Denny Indrayana menimbulkan polemik. Ia menyampaikan dua pesan kontroversial terkait dinamika politik terkini jelang Pemilu 2024, yaitu terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Pertama, Denny menyebut MK sudah memutuskan uji materi perkara sistem pemilu, yakni akan menjadi sistem proporsional tertutup. Ia juga mengungkapkan bahwa hakim konstitusi memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion dalam putusan perkara ini.

“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting,” tulis Denny lewat akun twitternya, Minggu (28/5/2023).

Denny juga mengklaim informasi yang ia sampaikan bisa dipercaya. Namun ia memastikan bahwa pemberi informasi bukanlah hakim MK.

Pernyataan kontroversi kedua Denny Indrayana adalah terkait Peninjauan Kembali (PK) kubu Partai Demokrat gerbong Deli Serdang atau Moeldoko. Ia menyebut bahwa PK akan dimenangkan dengan syarat ganti rugi penyelesaian mafia kasus MA.

“PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukarguling dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA. Jika Demokrat berhasil ‘dicopet,’ istilah Gus Romi PPP, maka pencapresan Anies Baswedan hampir pasti gagal,” demikian Denny menulis lewat akun twitternya.

Sontak, pernyataan Denny direspons dengan pro dan kontra. Ketua Majelis Tinggi DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY mengaku tidak memungkiri soal PK Moeldoko bisa terbukti.

“Menarik yang disampaikan Prof Denny Indrayana melalui twitnya tentang informasi bakal ditetapkannya sistem proporsional tertutup oleh MK dalam Pemilu 2024. Juga menarik, mengait PK Moeldoko di MA yang digambarkan Partai Demokrat sangat mungkin diambil alih Moeldoko,” tulis SBY di akun @sbyudhoyono.

Terkait masalah sistem pemilu, SBY menyoalkan kegentingan perubahan sistem pemilu, sementara tahapan pemilu sudah berlangsung. Kemudian, ia mempertanyakan apakah sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi.

“Kalau MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi sehingga diganti menjadi tertutup, mayoritas rakyat akan sulit menerimanya. Ingat, semua lembaga negara termasuk presiden, DPR & MK harus sama-sama akuntabel di hadapan rakyat,” kata SBY.

Selain itu, SBY menyinggung bahwa penetapan sistem pemilu ada di tangan pemerintah dan DPR, bukan menjadi wewenang MK. Partai politik, kata SBY, sudah memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka. Jika diubah oleh MK, maka ada potensi menjadi krisis yang diharapkan tidak mengganggu pelaksanaan Pemilu 2024.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga merespons pernyataan Denny. Ia bahkan mengaku sampai turun ke MK untuk memeriksa kebenaran ujaran Denny. Ia menilai adanya bocoran informasi putusan MK sebagai hal yang salah. Karena itu, Mahfud meminta agar ada penyelidikan oleh kepolisian.

“Saya katakan kalau betul itu bocor, itu salah. Yang salah, satu yang membocorkan yang di dalam. Saya tadi sudah ke MK supaya diusut siapa di dalam yang suka bicara itu, kalau memang sudah diputuskan, kalau memang bocor,” kata Mahfud usai memberikan pengarahan dalam Rakornas Sinergitas Pemerintah dalam menjaga stabilitas polhukam jelang Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pun turun tangan. Sesuai arahan Mahfud MD, Sigit juga akan menurunkan tim agar isu tentang putusan MK tidak menimbulkan kegaduhan lebih jauh.

“Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Menkopolhukam supaya tidak menjadi polemik yang berkepanjangan, tentunya kalau memang dari situasi yang ada ini, kemudian memungkinkan sesuai dengan arahan beliau untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan, untuk membuat terang tentang peristiwa yang terjadi,” kata Sigit di lokasi yang sama.

Sigit mengaku, Polri akan melakukan rapat tentang pernyataan Denny Indrayana tersebut. Ia pun tidak memungkiri bahwa bisa saja ada proses hukum bila ada dugaan pelanggaran pidana.

“Kami saat ini sedang merapatkan, untuk langkah-langkah yang bisa kami laksanakan untuk membuat semuanya menjadi jelas dan tentunya kalau kemudian ada peristiwa pidana di dalamnya, tentunya kami akan mengambil langkah lebih lanjut,” kata Sigit.

Di tempat berbeda, Mahfud MD berharap agar pernyataan Denny tidak membawa kegaduhan lebih jauh. Namun ia tidak memungkiri bahwa mungkin ada konsekuensi hukum dari pernyataan Denny. Ia mengaku bingung Denny bisa bilang dissenting dengan posisi 6 banding 3, sementara hakim belum rapat.

“Memang anu sih, memenuhi syarat untuk direspons oleh polisi karena termasuk pembocoran rahasia, tidak boleh dibuka ke publik apalagi MK-nya sendiri belum rapat, kok informasinya sudah 6 banding 3?” kata Mahfud mempertanyakan di kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2023).

Mahfud MD menekankan bahwa informasi A1 umumnya adalah informasi yang paling terpercaya. Sigit, kata Mahfud, juga sudah menerima laporan bahwa akan ada masyarakat yang melaporkan dugaan kebocoran informasi tersebut. Ia berharap Denny bisa memberikan klarifikasi secara hukum sambil aparat mencari pelakunya.

Respons MK dan MA terkait Pernyataan Denny Indrayana

MK dan MA juga buka suara terkait tudingan Denny Indrayana tersebut. Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, belum ada putusan perkara uji materi terkait sistem pemilu. Ia mengatakan, kesimpulan para pihak baru diserahkan pada 31 Mei 2023.

Pembacaan putusan pun, kata Fajar, harus dilakukan setelah putusan siap, sementara hakim belum mengambil keputusan.

“Kalau putusan sudah siap, baru diagendakan sidang pengucapan putusan. Jadi, dibahas saja belum,” kata Fajar mempertanyakan saat dikonfirmasi terkait pernyataan Denny, Senin (29/5/2023).

Sementara itu, Mahkamah Agung lewat Juru Bicara MA, Suharto mengatakan, MA belum menentukan majelis. Oleh karena itu, kata dia, tidak mungkin ada putusan sebelum ada majelis.

“Berdasarkan sistem informasi administrasi perkara di MA itu tanggal distribusi masih kosong dan majelisnya masih kosong alias belum ada. Bagaimana Mungkin putusannya bisa ditebak-tebak? Tunggu saja proses bisnis di MA terkait perkara itu,” kata Suharto dalam keterangannya merespons pernyataan Denny.

PEMBACAAN PUTUSAN PHPU PRESIDEN

Tim kuasa hukum pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 selaku pemohon mengikuti sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak/foc.

Menilik Motif Denny Indrayana

Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, ada sejumlah faktor yang mungkin menjadi motif politik dan momentum yang dikejar dari pernyataan Denny. Pertama, Denny adalah orang dekat Partai Demokrat dan hal itu terungkap dengan posisinya sebagai Wamenkumham di era Presiden SBY.

“Selain itu, mungkin saja ini sikap politik terhadap proporsional terbuka atau tertutup,” kata Arifki kepada reporter Tirto.

Arifki menilai, pernyataan Denny akan memicu pandangan publik. Sebab, kata dia, khusus terkait isu Partai Demokrat yang disinggung Denny dalam putusan MA, hal itu akan berpengaruh pada konstelasi politik nasional. Namun, kata dia, ujaran Denny terlihat hanya untuk kepentingan satu pihak akibat pihak yang paling getol bersuara hanya Demokrat.

Akan tetapi, kata Arifki, pernyataan Denny soal putusan sistem pemilu jauh punya dampak lebih besar. Parpol memang akan mengalami perubahan besar ketika pemilu menjadi sistem proporsional tertutup. Partai yang tidak memiliki citra kuat akan kemungkinan tergerus oleh partai yang lebih kuat citranya. Hal itu akan memicu masalah di masyarakat dari sisi sosial.

“Yang jelas ini akan memunculkan keresahan publik karena terjadi pro-kontra sistem pemilu," kata Arifki.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran Bandung, Kunto Adi Wibowo melihat, ada sejumlah faktor. Pertama, kata Kunto, Denny ingin membuka soal putusan MK dengan mengambil risiko karena eks Wamenkumham itu ingin menjadi 'burung kenari' saat menghirup udara beracun di depan tambang. Burung kenari kerap memperingatkan ketika pekerja tengah beraktivitas sehingga dia memberanikan diri untuk berbicara soal putusan MK.

“Apalagi kalau kita lihat ke belakang, kan, kita kenal yang namanya viral best policy making, kan? Jadi kalau viral dan ditentang oleh masyarakat mungkin saja policy-nya bisa berubah gitu. Ya kita lihat saja nanti apakah benar berubah atau tidak,” kata Kunto.

Kedua, kata Kunto, Denny sudah berhitung secara hukum tentang konsekuensi tindakannya. Kunto yakin, Denny sudah memegang bukti kuat sebelum berani menyampaikan keterangan ke publik. Kunto juga melihat Denny sudah berhitung secara hukum karena dia adalah ahli hukum.

Ketiga, kata Kunto, Denny tengah melakukan test the water terhadap situasi politik yang ada. Kunto menduga, Denny ingin melihat reaksi kubu Moeldoko atau mungkin rezim pemerintah setelah ujaran tersebut keluar.

“Bahkan tindakan terhadap pernyataan ini, ini mungkin yang ditunggu oleh Pak Denny Indrayana dan mungkin Pak Denny juga sudah punya counter attack-nya gitu, sehingga ya ini dinamika menjelang pemilu. Jadi menurut saya kemungkinan yang ketiga ini juga bukan hal yang mustahil,” kata dia.

Kunto juga menyebut ada kemungkinan lain yang dilakukan Denny, yakni tengah membuat publik aware dan tidak memicu letupan politik besar. Publik menjadi tidak kaget dan gerakan penolakan bisa dikoordinasikan dengan baik.

Pernyataan Denny tentu akan membawa dampak besar. Dari sisi elektoral, Kunto menilai, ujaran Denny terkait putusan MA akan menguntungkan bagi Partai Demokrat. Ia beralasan, Demokrat memiliki angin segar dan bisa memanfaatkan momen untuk kepentingan pemilu.

Di sisi lain, ia mengingatkan bahwa Demokrat adalah partai yang pandai menggunakan momen terzalimi atau tertindas, apalagi menyinggung soal PK Moeldoko.

Dampak elektoral terbesar adalah implikasi pada sistem pemilu tertutup, kata Kunto. Jika situasi politik nasional sejalan dengan logika Denny, ia khawatir partai akan mengalami kegagapan mesin politik. Ia beralasan, tidak menutup kemungkinan partai yang banyak memiliki kader bukan dari sistem kaderisasi akan kurang bersemangat menghadapi Pemilu 2024. Mereka akan berpotensi pasrah pada mesin karena semua tergantung nomor urut partai.

“Menurut saya ini akan mengubah dinamika kampanye politik secara besar gitu dan kita akan melihat bagaimana nanti nomor urut caleg itu akan jadi komoditas baru dan itu tentu saja hanya ada di elite partai ya," kata Kunto.

Kerugian lain yang akan muncul adalah publik akan menjadi kehilangan harapan. Pada sistem proporsional terbuka, publik bisa mempunyai harapan lantaran anggota legislatif yang dipilih tidak dikooptasi elite. Caleg tersebut mungkin punya gagasan yang dibawa sehingga membawa harapan rakyat.

Selain itu, kesukariaan pemilu akan berpotensi pudar. Para relawan legislatif akan berubah menjadi relawan partai. Partisipasi publik akan turun karena harapan yang tertutup.

“Kalau sekarang harapan itu ditutup dan dimasukkan ke kotak yang namanya putusan MK tertutup ini, saya kok jadi khawatir nantinya politik tanpa harapan, ya ujung-ujungnya kan bisa anarki dan chaos gitu atau bahkan apatisme yang sangat besar yang tentu saja tidak kita harapkan itu terjadi di Indonesia," kata Kunto.

Kunto menambahkan, “Saya berharap polarisasi ini nggak semakin membesar nanti di 2024 sehingga risiko konflik horizontal itu bisa kita eliminasi.”

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz