Menuju konten utama

Kontroversi Penangkapan Pengelola Akun Gay Bandung oleh Polisi

“Kalau polisi menggunakan pasal yang tidak jelas ya itu berarti bentuknya malicious investigation, penyelidikan sesat,” kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur.

Kontroversi Penangkapan Pengelola Akun Gay Bandung oleh Polisi
Simbol LGBT. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Polda Jawa Barat menangkap dua pria berinisial IW alias Boy dan IS alias Isan pada Kamis 18 Oktober 2018 karena dianggap sebagai penyuka sesama jenis alias homo seksual. Keduanya dituduh melanggar pidana, mentransmisikan, dan membagikan gambar-gambar tidak senonoh di grup Facebook Gay Bandung Indonesia (GBI).

Wakil Direktur Tindak Pidana Kriminal Khusus Polda Jabar AKBP Hari Brata mengatakan, grup tersebut beranggotakan hingga 4.093 orang. Boy dan Isan ditangkap karena menjadi pengelola grup yang dibuat tahun 2015 tersebut. Sejauh ini pihak kepolisian hanya menangkap mereka berdua dan tidak mengembangkan kasus itu untuk mencari keterlibatan pihak lain.

Hari hanya menegaskan, kedua tersangka itu dijerat pidana karena menyebarkan sesuatu yang dianggap vulgar. Definisi vulgar ini, menurut Hari, sampai pada kategori foto telanjang.

“Itu masalah vulgarnya yang tak boleh di-sharing ke media,” kata Hari saat dihubungi reporter Tirto hari Selasa (23/10/2018).

Dugaan polisi, mereka berdua memanfaatkan grup itu untuk menjual alat kontrasepsi, pelumas, dan menghubungkan sesama penyuka jenis. Mereka dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 19/2016 tentang ITE. Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun kurungan penjara atau denda maksimal Rp1 miliar.

“Memang foto pornografi. Namun kalau kami menggunakan UU Pornografi itu masuk ke kriminal umum. Kewenangan kami itu terbatas,” ucapnya.

Menurut Hari, pihaknya sengaja tidak menjerat pelaku dengan pasal asusila atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), agar kasus tersebut tidak memunculkan persepsi diskriminasi pada kaum LGBT. Meski begitu dampaknya, para peserta grup itu kehilangan saluran berkomunikasi.

“Kalau asusila orang mengiranya kami mau menindak masalah seks menyimpang. Itu bakal ramai nanti,” tuturnya.

Sedangkan Kabid Humas Polda Jawa Barat AKBP Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan polisi menindak berdasar pelanggaran seseorang, bukan statusnya yang berperilaku seksual Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

“Jadi perbuatannya. Bukan statusnya dong,” tegas Trunoyudo kepada reporter Tirto. “Yang jelas penyidik menentukan mereka sebagai tersangka berdasarkan alat bukti.”

Wisnu menilai pelaku dikenakan tindak pelanggaran terkait penyebaran asusila karena kata-kata di dalam grup tersebut. Namun tidak ada penyebaran pornografi di dalam grup tersebut. Tidak ada foto telanjang atau semacamnya yang dikirimkan ke dalam grup. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Hari.

Potensi Diskriminasi oleh Kepolisian

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, polisi harus menjelaskan kepada publik terkait kevulgaran yang dijadikan dasar penangkapan pasangan penyuka sesama jenis tersebut. Menurutnya jangan sampai anggota Polri terkesan menggunakan pasal karet “asusila.”

“Asusila itu apa yang dikenakan ke mereka? Tuduhannya apa?” kata Isnur kepada reporter Tirto. “Kalau polisi menggunakan pasal yang tidak jelas ya itu berarti bentuknya malicious investigation, penyelidikan sesat.”

Isnur menuturkan, polisi tidak boleh menerapkan pasal yang ditafsirkan macam-macam. Tindakan asusila sudah diatur bentuknya, baik itu pelecehan, pencabulan, dan sebagainya. Seharusnya ada pasal KUHP yang ditetapkan oleh polisi. Kalaupun tidak ada, maka seharusnya polisi menjelaskan, maksud dari tudingan “vulgar” untuk menghindari kecurigaan.

“Seseorang tidak boleh ditangkap atas ketidakjelasan perbuatan yang ia lakukan,” tuturnya.

Isnur lantas menduga polisi hanya mencari-cari kesalahan terhadap kelompok LGBT. Dia menuturkan bahwa, dalam beberapa kasus yang ia temui, menunjukkan antipati orang pada kelompok yang dianggap menyimpang di antara masyarakat ini.

“Tapi seharusnya tidak seperti itu. Polisi seharusnya netral. Praktiknya sering ada diskriminasi pada kelompok minoritas,” jelasnya.

Apabila memang Boy dan Isan menjual produk berbau pornografi, menurut Isnur, tentu mereka bisa dijerat dengan UU Pornografi. Namun dengan ketidakadaan gugatan tersebut, ia justru bingung.

“Sekarang korbannya aja ada enggak? Di mana korbannya? Kalau konteks kesusilaan kan harusnya ada korban yang merasa terintimidasi,” tegasnya.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan sampai sekarang belum ada aduan dari para anggota grup GBI ataupun rekan Boy atau Isan soal penangkapan tersebut. Namun Beka memandang polisi tidak boleh secara sembarangan, menerapkan pasal-pasal yang berpotensi mendiskriminasikan satu kelompok tertentu.

“Hukum di Indonesia tidak menghukum orientasi seksual seseorang tapi hanya menghukum perilaku seksual seseorang yang dianggap melanggar hukum-hukum yang ada,” jelas Beka kepada reporter Tirto.

Soal dibentuknya komunitas gay di Facebook, Beka juga mengatakan hal itu tidak masalah menurut aturan hukum. Jika di dalam grup tersebut mereka saling menggoda dan sebagainya, seharusnya orang sudah mengetahui bahwa grup tersebut memang untuk penyuka sesama jenis. Apabila ada orang yang berorientasi seksual heteroseksual ikut bergabung dan merasa mendapat tindakan asusila, hal itu tidak berakibat pidana.

Dengan penangkapan ini, ia malah khawatir akan munculnya pihak-pihak yang ikut menyudutkan kaum LGBT.

“Kalau tidak transparan dan akuntabel bisa jadi malah mengundang pihak-pihak lain bertindak di luar hukum dan meminggirkan kelompok-kelompok LGBT,” tegas Beka.

Advokat di ASEAN SOGIE Caucus yang memperhatikan masalah Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Questioning (LGBTIQ), Lini Zurlia mengatakan pemidanaan yang dilakukan polisi terkesan ada unsur pemaksaan. Padahal grup itu tidak bersifat terbuka dan tertutup.

Lagipula menurutnya, percakapan dan foto tak senonoh tak hanya tampil di grup Facebook GBI saja. Di media sosial berbagai gambar-gambar tak senonoh beredar lebih liar dan masif. Namun polisi seakan menjadikan kasus ini sebagai suatu pelanggaran parah.

“Itu justru enggak ditangkap. Ini menurutku polisi mengada-ada menggunakan pasal tersebut enggak valid,” tegas Lini pada reporter Tirto.

Hal ini tentunya menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi kelompok LGBTIQ. Ruang publik bagi kelompok tersebut dipersempit. Lini berujar, berkumpul secara online dibatasi penegak hukum, sedangkan berkumpul secara nyata di tempat umum juga terancam oleh masyarakat yang antipati.

“Jelas dong itu eggak perlu ditanyakan, tempat berkumpul LGBT(IQ) ini enggak ada yang aman,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana