Menuju konten utama
Round Up

Kontroversi Pemerintah Hapus Kasus Kematian dari Indikator COVID-19

Jubir Kemenko Marves berdalih pemerintah tidak menghapus kematian sebagai parameter, tapi tidak digunakan dengan alasan ada masalah input data.

Kontroversi Pemerintah Hapus Kasus Kematian dari Indikator COVID-19
Sejumlah petugas mengusung jenazah untuk dimakamkan dengan protokol COVID-19 di TPU Kelurahan Winongo, Kota Madiun, Jawa Timur, Selasa (23/2/2021). ANTARA FOTO/Siswowidodo/wsj.

tirto.id - Pemerintah kembali mengambil langkah kontroversial dalam penanganan pandemi COVID-19. Terbaru, pemerintah memutuskan untuk menghilangkan kasus kematian sebagai indikator penanganan COVID-19.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berdasarkan level, Senin (9/8/2021).

Luhut menilai input data kematian menyebabkan gangguan dalam penilaian. Ketika angka kematian dikeluarkan dari indikator penanganan COVID-19, menurut dia, terdapat 26 kota dan kabupaten yang level PPKM-nya menurun dari level 4 ke level 3.

Luhut menambahkan, "Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," kata Luhut.

Pemerintah lantas membentuk tim untuk menghitung ulang angka kematian tersebut. Tim khusus ini juga bertujuan menekan angka kematian di daerah, salah satunya dengan memperbaiki aplikasi Silacak dalam penanganan COVID-19.

Pernyataan Luhut lantas memantik respons publik. Politikus PKS Mardani Ali Sera contohnya. Mardani menyebut penghapusan kasus kematian sebagai indikator penanganan COVID sebagai sebuah bahaya karena penanganan pandemi tidak sesuai fakta bila menghilangkan masalah kematian.

Apalagi, sejak pemberlakuan PPKM darurat pada awal Juli 2021, kasus meninggal akibat COVID-19 terus meningkat. Bahkan berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, sempat tembus 2.000 kasus meninggal dalam sehari.

"Indikator kematian merupakan indikator valid untuk melihat tingkat keparahan situasi wabah, bisa hilang arah penanganan pandemi di negeri ini," kata Mardani, Rabu (11/8/2021).

Mardani mengingatkan, beberapa ahli juga sudah mengingatkan situasi kematian akibat COVID-19 diduga masih banyak yang tidak terlaporkan. Hal tersebut berdampak pada penyusunan upaya penanganan yang tidak berbasis data kuat. Ia menyebut, "Kualitas penanganan pandemi pun turut dipertaruhkan."

Mardani berpendapat, permasalahan data tidak berarti menjadi upaya untuk menghapus indikator penanganan pandemi. Ia mendorong agar data tersebut diperbaiki, bukan dihapus.

"Ada masalah diperbaiki, bukan dihindari. Jangan sampai timbul kesan pemerintah ingin mengeluarkan data yang kualitasnya tidak bagus dari indikator penilaian. Padahal semua data yang terkait Covid-19 masih dipertanyakan kualitasnya," kata Mardani.

Analis data dari lembaga LaporCovid-19 Said Fariz Hibban juga mengkritik langkah pemerintah dengan mengabaikan data kematian. Menurut Said, data kematian penting dalam mengukur penanganan COVID-19.

"Dengan menyadari bahwa data kematian itu tidak akurat, pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat," ujar Said dalam keterangan tertulis, Rabu (11/8/2021).

Said menuturkan, data kematian pemerintah pusat cenderung lebih sedikit daripada pemerintah daerah. Pemerintah pusat pun tidak mengumumkan kematian pasien yang berstatus probable.

Mengacu pada data yang dihimpun LaporCovid19, lebih dari 19 ribu kematian yang dilaporkan pemerintah kabupaten/kota, tidak tercatat oleh pemerintah pusat. Data dari 510 pemerintah kabupaten/kota terdapat 124.790 warga meninggal dengan status positif Covid-19 per 7 Agustus 2021.

Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah pusat hanya mengumumkan 105.598 kasus kematian. Terjadi selisih 19.192 kematian.

Begitu juga dengan data kematian probable, LaporCovid19 mencatat terdapat 26.326 jiwa. Sehingga jika diakumulasikan, kasus kematian di Indonesia mencapai 151.116 jiwa.

Dua faktor tersebut belum mencakup kasus kematian pada pasien isolasi mandiri. Kasus kematian di luar rumah sakit belum tercatat dengan baik. Per 7 Agustus 2021, LaporCovid19 mencatat 3.007 jiwa meninggal di luar rumah sakit.

"Perbaikan data ini yang harus dilakukan, bukan malah mengabaikan data kematian dan tak memakainya dalam evaluasi PPKM Level 4 dan 3," ujarnya.

Klarifikasi Pemerintah

Pemerintah mengklarifikasi soal penghapusan angka kematian dalam penilaian PPKM. Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menegaskan mereka tidak menghapus kematian sebagai parameter, tetapi tidak digunakan dengan alasan ada masalah dalam pengisian (input) angka kematian.

"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," kata dia, Rabu (11/8/2021).

Pemerintah, kata Jodi, menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk atau dicicil pelaporannya. Pemerintah akhirnya menerima laporan kematian terlambat dan hal tersebut mengganggu proses penanganan pandemi.

"Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," kata dia.

Ia mengakui, bias data memicu penilaian kurang akurat dalam pelaksanaan PPKM. Selain itu, Jodi mengaku ada data kasus aktif yang juga tidak menampilkan situasi terkini.

"Banyak kasus sembuh dan angka kematian akhirnya yamg belum ter-update," urainya.

Untuk mengatasi hal ini, Jodi menegaskan pemerintah terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat. "Sedang dilakukan _clean up_ (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," tutur Jodi.

Selama proses perapihan data berjalan, Jodi menuturkan untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz