Menuju konten utama

Kontroversi Pasal Ujaran Kebencian UU ITE dalam Kasus Ahmad Dhani

Seseorang tidak boleh menyebarkan rasa kebenciannya terhadap pelanggar hukum.

Kontroversi Pasal Ujaran Kebencian UU ITE dalam Kasus Ahmad Dhani
Tersangka kasus ujaran kebencian, Ahmad Dhani, didampingi penasehat hukumnya Ali Lubis tiba untuk menjalani pemeriksaan di Polres Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (30/11/2017). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Iwan Kurniawan memastikan musikus Ahmad Dhani yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian tidak akan diperiksa lagi. Baginya pemeriksaan terhadap Dhani yang dilakukan pada Kamis (30/11) selama 20 jam sudah cukup untuk membawa pentolan grup musik Dewa itu ke meja persidangan.

“Apalagi yang mau diperiksa?” kata Iwan kepada wartawan usai mengikuti proses serah terima jabatan menjadi Analis Kebijakan Madya Pidum Bareksrim Polri di Polda Metro Jaya , Rabu (6/12).

Iwan enggan ambil pusing saat ditanya bagaimana proses penahanan terhadap Dhani akan dilakukan selepas ia meninggalkan jabatan sebagai Kapolres. Namun ia memastikan kasus pidana Dhani segera selesai. Sebab berkas perkara Dhani dinilai sudah memenuhi syarat untuk diserahkan ke kejaksaan dalam pelimpahan tahap 1. Dhani, kata Iwan, akan dipanggil kembali apabila kejaksaan menerima berkas dari kepolisian atau P21.

“Nanti kalau sudah P21, kami panggil lagi saudara Dhani dan diserahkan ke Kejaksaan,” katanya.

Namun langkah polisi menetapkan Dhani sebagai tersangka tak lepas dari kritik. Aktivis Southeast Asian Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto menilai kasus Dhani tidak memiliki unsur pidana ujaran kebencian. Seharusnya, kata Damar, polisi dan pelapor bisa menghentikan kasus ini sejak Dhani menghapus ujarannya di lini masa twitter.

“Dhani, kan, sudah menghapus cuitannya. Itu harusnya sudah cukup. Dia sudah tahu dia bersalah," katanya ketika dihubungi Tirto.

Menurutnya Damar kasus yang dijeratkan kepada Dhani menunjukkan betapa rentannya Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dijadikan sarana balas dendam. Tanpa bukti yang jelas seseorang bisa memanfaatkan Undang-Undang tersebut untuk mengkriminalisasi orang lain.

Ia mencontohkan tulisan Dhani yang dianggap sebagai ujaran kebencian tidak memiliki subjek yang jelas tentang siapa pihak yang dibenci. “Kalau kita lihat yang nyata sekarang tidak ada yang spesifik. Ya, [seperti] itulah pasal karet,” ujarnya.

Kuasa hukum Dhani, Ali Lubis, masih belum menentukan langkah hukum atas informasi yang disampaikan Iwan. Ia mengatakan akan mengikuti prosedur hukum dan enggan beranda-andai soal nasib hukum kliennya di kemudian hari.

“Kami juga, kan, belum tahu diterima atau tidak sama Kejaksaan. Kalau sudah P21, kan, kami baru tahu langkah apa yang kita ambil,” terangnya.

Meski begitu Ali berharap kepolisian menghentikan kasus Dhani.

“Berdasarkan kajian kami berkas itu tidak akan lengkap. Tapi kalau proses hukum ini berlanjut, kami akan siapkan langkah berikutnya. Jadi kami tidak terburu-buru,” Ali menambahkan.

Kuasa hukum Dhani lainnya, Hendarsam Marantoko, mengaku sudah mendengar kabar rencana polisi melimpahkan berkas pemeriksaan Dhani ke kejaksaan. Ia mengatakan jika nantinya berkas itu dinyatakan P21 maka tim pengacara akan menyiapkan saksi-saksi yang dapat membela Dhani.

“Kami akan buat surat ke penyidik agar kami dapat menghadirkan saksi fakta dan ahli yang bisa menunjang dalil kami bahwa ADP (Ahmad Dhani Prasetyo) tidak bersalah,” tandasnya.

Ia juga menampik ujaran Dhani merujuk ke kebencian terhadap kelompok atau seseorang.

"Emang di situ Dhani nyebut nama? [Dia hanya menyebut] Siapapun penista agama. Ya, namanya penista agama, kan, pantas diludahi, sama saja kayak bandar narkoba pantas dibunuh,” dalih Hendarsam.

Dhani dijadikan tersangka atas laporan oleh pendukung Ahok-Djarot yang tergabung dalam BTP Network bernama Jack Lapian. Laporan Jack diterima dengan laporan polisi bernomor LP/1192/III/2017/PMJ/Ditreskrimsus. Jack melaporkan Dhani dengan tuduhan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Staf ahli Menteri Komunikasi Informasi Henri Subiakto mengatakan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertujuan seseorang menghasut orang lain atau kelompok untuk memiliki rasa kebencian dan permusuhan. Ia mengatakan rasa kebencian dilarang disebarkan karena akan memunculkan stereotyping, pelabelan, kebencian kolektif yang bisa menyebabkan adanya diskriminasi, persekusi hingga konflik antar individu dan kelompok.

“Di situlah negara harus mencegahnya dengan melindungi siapa saja dari perbuatan jahat tersebut,” katanya.

Henri mengatakan pelanggar hukum seperti koruptor dan penista agama boleh saja dibenci dan dimusuhi. Tapi mengajak orang untuk ikut membenci para pelanggar hukum merupakan hal yang melanggar hukum.

“Penista agama adalah pelanggar hukum, tapi mengajak membenci kelompok lain yang punya sikap berbeda itu persoalan lain,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KASUS UJARAN KEBENCIAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Jay Akbar