Menuju konten utama
Polemik RKUHP

KontraS: Penolakan RKUHP Bukan Ancaman, Tak Usah Libatkan Intelijen

KontraS menilai, proses pembuatan UU seharusnya didekati dengan cara-cara dialogis, bukan menyebar ketakutan dengan mengintai dan memata-matai masyarakat.

KontraS: Penolakan RKUHP Bukan Ancaman, Tak Usah Libatkan Intelijen
Kepala Divisi Advokasi dan Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri (kiri) bersama Kepala Divisi Advokasi Internasional Fatia Maulidiyanti (tengah) dan Kepala Biro Riset Rivanlee Anandar, menyampaikan keterangan pers terkait catatan 100 hari kinerja Jokowi-Ma'ruf dalam bidang HAM di Jakarta, Senin (27/1/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama.

tirto.id - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam langkah pemerintah yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga lain, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) dalam sosialisasi terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Langkah ini merupakan bentuk eksesifnya intelijen dalam melaksanakan tugas di luar tupoksinya. Kami menilai bahwa keterlibatan ini juga semakin memantik eskalasi ketakutan di masyarakat, khususnya dalam membahas berbagai permasalahan yang masih tercantum dalam draf RKUHP terbaru," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulisnya dikutip Rabu (31/8/2022).

Ia mengatakan penolakan terhadap RKUHP bukanlah ancaman bagi negara sehingga pemerintah mestinya tak perlu melibatkan BIN untuk menggalakkan sosialisasi.

"Penolakan terhadap RKUHP atau regulasi bermasalah lainnya bukan merupakan sebuah ancaman yang harus didekati dengan penggunaan intelijen negara. Sebab, diskursus yang terbangun di publik tidak membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional sebagaimana diatur dalam UU Intelijen. Sehingga, tidak ada satu pun urgensi untuk melibatkan intelijen dalam proses sosialisasi suatu regulasi pemerintah," katanya.

KontraS menilai, keterlibatan intelijen dengan penggunaan perangkatnya akan memperluas kesewenang-wenangan. Terlebih, pengaturan batasan kerja BIN tidak diregulasi secara jelas. Selama ini BIN juga tidak bekerja secara transparan dan berbasis pada akuntabilitas.

“Intelijen akan dikerahkan untuk mengidentifikasi gerakan masyarakat khususnya yang menolak RKUHP. Proses pembuatan UU seharusnya didekati dengan cara-cara dialogis, bukan menyebar ketakutan dengan mengintai dan memata-matai masyarakat," ucap Rozy Brilian, Staf Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS.

Selain itu, Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS, menyebut pemerintah selama ini terkesan menghalalkan berbagai cara untuk mengakselerasi berbagai agendanya, terlebih ketika mendapatkan pertentangan di masyarakat.

"Cara-cara semacam ini merupakan propaganda politik masa Orde Baru. Terlebih, eksesifnya kerja BIN tanpa dibarengi dengan tranparansi dan akuntabilitas merusak menjauhkan Indonesia dari agenda reformasi sektor keamanan," tandas Fatia.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej mengatakan pemerintah akan memulai sosialisasi RKUHP ke 11 kota dengan melibatkan sejumlah lembaga negara termasuk BIN

"Sosialisasi RKUHP ini harus dilakukan secara masif, tidak hanya merupakan tugas dari Kementerian Hukum dan HAM, tetapi ada kementerian/lembaga terkait. Antara lain adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Badan Intelijen Negara, Mabes Polri, Kejaksaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Agama, Stafsus Presiden dan juga Kepala Staf Presiden," ujar Eddy dalam diskusi daring, Senin (29/8/2022).

Baca juga artikel terkait POLEMIK RKUHP atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky