Menuju konten utama

Konsep Girl Crush dalam Sejarah K-Pop: dari Blackpink hingga 2NE1

Konsep girl crush hadir mengikuti gerakan feminisme di Korea Selatan telah menggulingkan tokoh-tokoh terkenal yang dituduh melakukan kekerasan seksual.

Konsep Girl Crush dalam Sejarah K-Pop: dari Blackpink hingga 2NE1
Girl group K-Pop Korea Selatan 2NE1 tampil selama konser mereka sebagai bagian dari tur dunia di Hong Kong, Sabtu, 22 Maret 2014. Kin Cheung / AP

tirto.id - Kehadiran BLACKPINK di industri hiburan Korea Selatan pada tahun 2016 dengan mengusung konsep girl crush dinilai telah mengangkat kembali ide girl power atau perempuan berdaya di industri hiburan Korea Selatan.

Dimulai dengan merilis lagu “Boombayah” dan “Whistle” pada tahun 2016 sebagai single debut, BLACKPINK selalu comeback dan hadir menggunakan konsep girl crush. Hingga comeback terakhir kemarin dengan lagu “DDU-DU DDU-DU”.

Dengan konsep girl crush serta style yang kuat, kehadiran BLACKPINK menjadi oasis bagi penggemar K-Pop yang menginginkan konsep berbeda dari idol group Korea Selatan.

Hal tersebut dibuktikan dengan kesuksesan debut hingga comeback yang dilakukan BLACKPINK sampai saat ini. Single “DDU-DU DDU-DU” baru saja memecahkan rekor sebagai video musik paling banyak ditonton hingga hari ini, Selasa (21/1/2019) yaitu 619 juta kali penayangan.

Bahkan “DDU-DU DDU-DU” menduduki posisi ke 55 dalam Billboard Hot 100, dan menjadi representasi girl group yang mengusung konsep girl crush di tahun 2018.

Allkpop menulis, banyak orang yang mengartikan girl crush sebagai campuran konsep baddas dan seksi, tetapi itu bukan keduanya. Konsep girl crush bisa diartikan sebagai konsep untuk perempuan pemberani, percaya diri, dan konsep yang memberdayakan perempuan.

Banyak terjadi kesalahan ketika penggemar mengkategorikan sebuah musik dengan konsep imut atau seksi, seperti lagu milik TWICE “ Like Ooh Ahh” dan MISS A “I Don’t Need A Man” yang dinilai memiliki konsep imut, tetapi keduanya merupakan konsep girl crush.

Konsep girl crush biasanya memiliki penanda seperti style busana yang menggunakan pakaian olahraga, stocking jaring, pakaian pria, serta konsep video musik yang warnanya lebih gelap. Akan tetapi, pada akhirnya, konsep girl crush sama dengan gagasan yang lebih abstrak tentang relatabilitas, aspirasi, dan pemberdayaan pada perempuan.

Konsep Girl Crush dalam Sejarah K-Pop

Sulit mengatakan kapan konsep girl crush mulai ada di Korea Selatan, akan tetapi jejaknya bisa ditelusuri kembali di tahun 1990-an, yaitu dari solois perempuan Lee Sang Eun yang juga dikenal sebagai Lee Tzsche.

"Dia benar-benar tomboi," kata Dr. Kim Young Suk, penulis K-pop Live: Fans, Idols, and Multimedia Performance, sekaligus seorang Profesor di University of California, Los Angeles, seperti dikutip Billboard.

"Saya pikir itu sangat aneh karena kami belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. Bintang pop remaja di tahun 90-an sebelum [pencetus K-pop] Seo Taiji and Boys datang, mereka semua adalah tipe IU, dengan tipe gadis-gadis yang bersuara lembut dan berwajah cantik. Akan tetapi, dia sangat berbeda,” sambungnya.

Konsep ini menjadi jauh lebih berkembang oleh hadirnya K-Pop generasi kedua (yang memulai debutnya antara pertengahan 2000-an dan awal 2010-an), terutama 2NE1, 4Minute, Miss A, Brown Eyed Girls, dan f (x).

Meskipun kelima kelompok itu sangat berbeda, mereka telah berhasil mengemas versi aspirasi perempuan yang bersifat individualistis dan paham perkembangan fesyen.

Lagu hit milik 2NE1 di tahun 2011, "I Am the Best" adalah salah satu konsep girl crush yang paling ikonik di berbagai tingkatan.

Pilihan gaya yang mencolok, seperti jaket kulit berduri, model potongan rambut yang khas, adalah identitas grup yang digunakan 2NE1 saat itu. Yang menyebabkan banyak penggemar dari kalangan perempuan menyukai grup bentukan YG Entertainment ini.

Hingga kini, konsep girl crush yang sukses diusung kembali oleh BLACKPINK di tahun 2016 semakin banyak digunakan oleh girl group lain, seperti (G)I-DLE yang debut dengan single “LATATA”, kemudian MAMAMOO, CLC, Red Velvet dan sub unit dari grup-grup tertentu, seperti Girls 'Generation Oh!, Pristin V, dan lain sebagainya.

Tetapi di luar dugaan, beberapa girl group yang biasanya tampil dengan konsep imut, baru-baru ini muncul dengan konsep girl crush, seperti A Pink, Oh My Girl, dan April.

Namun, konsep girl crush juga bisa menjadi hal yang tabu bagi girl group K-Pop ketika mereka membicarakan tentang feminisme.

Gerakan #MeToo yang menyebar di Korea Selatan pada akhir 2017 hingga 2018 telah menggulingkan tokoh-tokoh terkenal yang dituduh melakukan kekerasan seksual. Sehingga, hubungan antargender menjadi lebih tegang dalam beberapa tahun terakhir karena perempuan menuntut kesetaraan dalam masyarakat yang masih memiliki kesenjangan antar gender tersebut.

Tetapi para penggemar pada umumnya memahami bahwa girl crush merupakan konsep yang dibangun tidak melulu untuk menyampaikan citra substantif dari pemberdayaan perempuan.

"Tidak ada jalan tengah antara perubahan sosial yang terjadi pada gerakan global dan parade K-Pop, mereka semua hanyalah strategi pemasaran," kata Dr. Kim lagi.

“Idol K-Pop seperti bangsawan Inggris, mereka tidak bisa mengatakan sesuatu yang politis. Kalau tidak, itu terlalu berisiko,” lanjutnya.

Dilabeli dengan kata "feminisme" terlalu tabu bagi industri K-pop, dan kata ”girl’s power” atau "kekuatan perempuan" memiliki konsekuensi mengerikan bagi idol perempuan.

Seperti kasus Naeun A Pink yang dikritik secara daring setelah memposting foto di Instagram sedang menggenggam case handphone yang bertuliskan “Perempuan Bisa Melakukan Apa Saja”.

Demikian pula Irene Red Velvet yang juga mendapat reaksi keras dari penggemar laki-laki, setelah ia ketahuan membaca novel feminis dengan judul Kim Ji Young Born 1982 yang ditulis oleh Cho Nam Joo. Bahkan terdapat laporan bahwa beberapa penggemar membakar foto Irene untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka akan hal tersebut.

"Secara keseluruhan, tema [dalam K-Pop] tentang pemberdayaan perempuan atau apa pun yang terdengar feminis telah menghilang," kata Stephanie Choi, seorang kandidat doktor dalam Etnomusikologi di University of California, Santa Barbara, seperti dilansir Billboard.

"Saya pikir industri sedang mencoba untuk menjauh dari apa pun yang tampaknya mengangkat isu feminis," Sambungnya.

Sehingga, konsep girl crush dan feminis sendiri sangat dibedakan dalam industri Korea Selatan, jika mereka ingin bermain aman.

Akan tetapi, tak sedikit penyanyi perempuan yang mengusung tema feminisme dalam lagu mereka.

Seperti BoA yang menyanyikan lagu “Woman”, kemudian CL “The Baddest Female”, atau Lee Hyori “Bad Girls”. Akan tetapi, sebagai generasi K-Pop pertama dan kedua membuat hal tersebut menjadi dimaklumi, dan karena mereka telah memiliki hubungan yang kuat dengan para penggemarnya.

"BoA juga agak 'aman' dalam hal status dan hubungannya dengan penggemarnya," ujar Stepahanie kepada Billboard.

“Dia adalah salah satu idola generasi pertama yang telah bebas menggunakan tema feminis (seperti Lee Hyori), dan penggemar tidak memiliki banyak suara dan kontrol atas produksi industri musik. Tapi saya pikir jika Red Velvet membuat musik [memberdayakan] yang sama dengan yang dibuat oleh Lee Hyori dan BoA saat itu, mereka akan mendapat reaksi keras,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait K-POP atau tulisan lainnya dari Maria Ulfa

tirto.id - Musik
Penulis: Maria Ulfa
Editor: Yulaika Ramadhani