tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM melalui akun twitter resminya mengatakan belum menemukan adanya indikasi tindak pidana kejahatan pemilu.
Sebelumnya Komnas HAM telah melakukan pemantauan lapangan pada tanggal 15-18 Mei 2019 terkait petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia dan sakit.
Menurut Komnas HAM berdasarkan data, keterangan dari keluarga petugas, rekan KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan petugas sakit, sampai saat ini belum ada tindakan yang bersifat intimidasi dan kekerasan fisik terhadap petugas.
Sehingga berdasarkan hal itu Komnas HAM sampai saat ini belum menemukan indikasi tindak pidana yang mengarah pada kejahatan pemilu dalam penyelenggaraan pemilu.
Namun, Komnas HAM juga mengatakan bahwa berdasarkan pantauan itu pihaknya menemukan dan mencatat beberapa temuan dari aspek regulasi kepemiluan, aspek jaminan kesehatan, dan aspek kerawanan.
Berdasarkan aspek regulasi kepemiluan Komnas HAM melihat belum adanya komitmen yang kuat dari negara, baik Pemerintah dan DPR RI yang menempatkan para KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan sebatas petugas volunteristik.
Sehingga perspektif perlindungan terhadap mereka menjadi lemah, baik itu aspek asuransi kesehatan dan pembiayaan lainnya seperti honor dan pemenuhan syarat administrasi lainnya tidak ditanggung untuk menjadi petugas.
Komnas HAM juga melihat adanya faktor kelalaian dengan menurunkan standar regulasi persyaratan KPPS tentang syarat mampu secara jasmani dan rohani serta bebas dari penyalahgunaan narkoba.
Dari yang semula berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit atau puskemas bisa diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 72 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo. Pasal 36 ayat (1) huruf g PKPU Nomor 36 Tahun 2018.
Mengenai proses rekruitmen terutama batas usia Komnas HAM juga menemukan bahwa hanya mempersyaratkan minimal 17 tahun sebagaimana Pasal 36 huruf b PKPU Nomor 36 tahun 2018, namun batas usia maksimal tidak diatur.
Sehingga situasi ini menjadi salah satu faktor kerentanan terhadap penyelenggara, sebab usia rata-rata yang meninggal dari data Komnas HAM RI di atas 40 tahun.
Komnas HAM juga menemukan fakta adanya pengabaian perlindungan kesehatan terhadap petugas baik KPPS, PPS, PPK, Petugas Keamanan dan Pengawas Pemilu dalam pelaksanaan tugas kepemiluan 2019.
Sehingga ketika bermasalah secara fisik tidak mendapat prioritas penanganan, tidak memiliki asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan sehingga berdampak pada pembiayaan untuk berobat secara mandiri (sebagian kecil dicover BPJS dan ada limitasi pembiayaan).
Menurut Komnas HAM untuk petugas yang sakit juga belum ada upaya penggantian biaya. Demikian juga terhadap petugas yang mengalami keguguran, seperti di Jawa Tengah terdapat 43 kasus.
Sementara demi meningkatkan kualitas pemilu dan penghormatan atas hak untuk hidup yg merupakan “supreme human rights”, oleh karenanya, Negara memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah dan memulihkan peristiwa yang menyebabkan hilangnya hak untuk hidup, maka Komnas HAM merekomendasikan beberapa hal, diantaranya.
1. Komnas HAM belum menemukan indikasi adanya kejanggalan dalam peristiwa meninggalnya petugas penyelenggara pemilu namun sesuai dengan UU kesehatan untuk mengetahui sebab kematian yang lebih valid dari seseorang adalah melalui tindakan autopsi. Namun untuk proses autopsi persetujuan keluarga petugas menjadi syarat utamanya.
2. Melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap sistem kepemiluan yang berimbas terhadap dampak kematian dan sakit bagi penyelenggara terutama KPPS, PPS, PPK, Pengawas dan Petugas Keamanan.
Baik aspek regulasi persyaratan mengenai rekriutmen, usia, beban kerja, jaminan kesehatan (asuransi), kelayakan honor, dan logistik kepemiluan.
3. Memastikan adanya tanggung jawab oleh Negara, baik melalui Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu RI untuk memastikan adanya penanganan terhadap petugas baik meninggal dan sakit.
Termasuk pemulihannya sehingga tidak ada lagi petugas yang meninggal. Termasuk memberikan pembebasan biaya pengobatan bagi petugas sakit dan segera pencairan santunan oleh Pemerintah.
Editor: Maya Saputri