tirto.id - Levina Ardiati dan para anggota Komunitas pengguna KRL Commuterline, LRT, dan MRT yang menamai diri Anak Kereta alias Anker Twitter merasa keberatan atas keputusan pemerintah yang akan menutup Stasiun Karet per Februari 2025. Pasalnya, jika stasiun yang terletak di Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu ditutup, baik pekerja maupun masyarakat pengguna KRL yang melintas dari dan ke Jalan KH. Mas Mansyur, Penjaringan, Bendungan Hilir, serta Thamrin City akan mengalami kesulitan.
Apalagi, Stasiun BNI City yang terletak di antara Stasiun Karet dan Stasiun Sudirman jaraknya juga masih terbilang jauh dari daerah-daerah tersebut. Sehingga, masyarakat harus menggunakan moda transportasi lain untuk menjangkau daerah-daerah itu. Hal itujelas memakan waktu lebih lama dan menambah biaya.
“Pihak KCI dan KAI harus sangat mempertimbangkan load penumpang di Sudirman, BNI City, dan bahkan Stasiun Tanah Abang jika memang Stasiun Karet ini ditutup. Apakah bisa mengakomodasi hal ini dengan kondisi saat ini Stasiun Sudirman dan Stasiun Tanah Abang sendiri sudah cukup overcrowded saat jam masuk kerja dan pulang kerja,” kata Levina kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).
Jika pemerintah ingin mengoptimalkan waktu tempuh Kereta Api (KA) Bandara seperti yang diungkap Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir dan PT Kereta Api Indonesia (Persero), menutup Stasiun Karet bukan solusi. Pemerintah sebenarnya dapat menjadikan Stasiun BNI City sebagai stasiun khusus KA Bandara dan meniadakan layanan KRL biasa.
Namun, jika penutupan tetap dilakukan, Levina meminta pemerintah memastikan Stasiun BNI City siap menangani tambahan penumpang dari Stasiun Karet. Itu termasuk menyediakan aksesibilitas yang memadai, seperti jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman.
Selain itu, operator juga perlu memastikan pengaturan arus penumpang di setiap stasiun pada jam-jam sibuk. Apalagi, Stasiun BNI City nantinya akan mendapat tambahan sekitar 2.000 penumpang KRL yang berasal dari Stasiun Karet.
“Satu hal lagi yang menurut kami menjadi PR besar operator, dalam hal ini KAI dan KCI, adalah memastikan jadwal KA Bandara dan KRL diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi konflik operasional di jalur yang sama,” tegas pegawai swasta tersebut.
Fasilitas Harus Memadai
Meski mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir, sektor transportasi publik, khususnya di Jakarta, sebenarnya masih menghadapi persoalan terkait inklusivitas akses, efisiensi, dan kenyamanan. Integrasi antarmoda juga masih belum sepenuhnya seamless alias mulus.
Banyak pengguna harus berjalan jauh atau berganti kendaraan tanpa fasilitas yang memadai, seperti jalur pejalan kaki yang aman atau transportasi penghubung.
“Hal ini yang masih perlu evaluasi berkala dan nampaknya pembuat kebijakan perlu atau mungkin wajib sesekali merasakan sendiri menggunakan transportasi publik sebelum memutuskan suatu kebijakan, supaya lebih memiliki pandangan yang objektif dan sesuai kondisi di lapangan,” imbuh Levina.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, menilai penutupan Stasiun Karet merupakan kebijakan yang tidak tepat jika alasannya adalah untuk memaksimalkan Stasiun BNI City dalam melayani penumpang KA Bandara.
Menurutnya, penutupan Stasiun Karet sebenarnya tak masalah jika alasannya untuk mengembalikan fungsi stasiun tersebut sebagai kawasan berorientasi transit alias transit oriented development (TOD) di Dukuh Atas. Sebab, dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang disusun oleh Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ), Dukuh Atas, termasuk Stasiun Karet, memang diperuntukkan sebagai TOD.
Namun, yang terpenting, setelah menutup Stasiun Karet, pemerintah harus membangun fasilitas yang memadai bagi para pengguna transportasi umum yang naik dan turun dari atau ke Stasiun BNI City dan Sudirman.
“Seperti nanti mungkin ada trotoar yang besar atau ruang terbuka hijau yang lebih ramah pejalan kaki. Jadi, nanti akan jadi seperti yang di Tokyo atau Hongkong yang memang sudah 92 persen masyarakatnya menggunakan transportasi umum,” jelas Deddy.
Sementara itu, KAI Commuter selaku pengelola kereta Commuter Line Basoetta tujuan Bandara Soekarno-Hatta menegaskan bahwa ia tidak akan langsung menutup Stasiun Karet dalam waktu dekat. Sebab, KAI harus terlebih dulu mengintegrasikan Stasiun Karet dengan BNI City sebagai upaya peningkatan layanan kepada penumpang.
Pun, penutupan Stasiun Karet juga masih dalam proses kajian serta membutuhkan pembahasan mendalam dengan regulator dan berbagai pihak terkait.
“Saat ini, KAI Commuter juga tengah meningkatkan kualitas fasilitas sarana dan prasarana untuk penumpang di Stasiun BNI City. Di antaranya dengan memperbaiki dan meningkatkan kenyamanan selasar bagi pejalan kaki agar terlindung dari sengatan sinar matahari maupun hujan saat menuju ke stasiun,” kata VP Corporate Secretary KAI Commuter, Joni Martinus, kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).
Selain itu, KAI juga tengah membangun area kemersial yang dapat mendukung pelaku UMKM.
Terlepas dari itu semua, menurut Joni, penutupan Stasiun Karet perlu mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna KRL dan untuk memangkas waktu tempuh KA Bandara. Dalam hal ini, tanpa harus berhenti di Stasiun Karet, waktu tempuh ke Bandara Soekarno Hatta yang sebelumnya sekitar 1 jam dapat disunat menjadi hanya 40 menit.
“Diharapkan ke depannya Commuter Line Basoetta dapat meningkatkan kapasitas angkut penumpang. Hal itu dilakukan KAI Commuter dalam mengantisipasi peningkatan jumlah penumpang pesawat yang menggunakan kereta dari Bandara Soetta menuju pusat Kota Jakarta dan sebaliknya,” sambung Joni.
Seharusnya Saling Melengkapi
Kebijakan pemerintah terkait transportasi publik juga acap kali membingungkan. Kadang, ia justru berlawanan dengan tujuan menciptakan inklusivitas akses transportasi publik nasional. Misalnya, saat Dinas Perhubungan Jakarta berencana menghapus Koridor 1 Transjakarta yang melayani rute Blok M-Kota.
Direktur Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) Asia Tenggara, Gonggomtua Sitanggang, mengatakan bahwa satu moda transportasi tak akan bisa menggantikan moda transportasi lainnya. Sebagai contoh, MRT tidak akan bisa menggantikan fungsi Transjakarta di Koridor 1.
“BRT Transjakarta dan MRT Jakarta tidak dapat saling menggantikan, melainkan saling melengkapi karena sistem tarif dan cakupan layanan yang berbeda,” kata Gonggomtua dalam keterangannya kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).
Apalagi, Transjakarta memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh MRT, yakni dapat beroperasi tanpa listrik. Sehingga, saat Jakarta mengalami masalah kelistrikan yang membuat operasional MRT berhenti, Transjakarta masih tetap dapat melaju.
Dari segi tarif, Transjakarta juga dipatok dengan harga lebih murah, yakni Rp3.500 per penumpang dan gratis bagi golongan tertentu sesuai Peraturan Gubernur Jakarta. Sementara itu, tarif MRT ditetapkan berdasarkan jarak dengan tarif paling murah Rp4.000.
Jadi, keberadaan Transjakarta dan MRT di jalur yang sama seharusnya dapat lebih meningkatkan resiliensi sistem transportasi publik di Jabodetabek.
“Selanjutnya, pemerintah juga perlu memperbaiki skema tarif yang ada sehingga layanan transportasi publik di Jakarta dapat berfungsi sebagai satu kesatuan, terlepas dari jenis moda yang digunakan,” lanjut Gonggomtua.
Sementara itu, rencana penghapusan Koridor 1 Transjakarta pertama kali diungkap Kepala Dishub Daerah Khusus Jakarta, Syafrin Liputo. Menurutnya, penghapusan tersebut merupakan bagian dari upaya penyesuaian rute (rerouting) bila nanti MRT rute Lebak Bulus-Kota sudah sepenuhnya beroperasi.
Penyesuaian rute tersebut juga dilakukan untuk efisiensi dana subsidi transportasi umum yang diberikan melalui public service obligation atau PSO. Sebaliknya, jika Koridor 1 tidak dihapus, PSO angkutan umum jurusan Blok M-Kota akan menjadi double karena ada Transjakarta dan MRT yang beroperasi bersamaan di rute yang sama.
“Otomatis ada dua subsidi. Contohnya Blok M-Kota itu kemudian pada saat MRT Fase 2A selesai, layanan MRT jadi full Lebak Bulus-Kota,” ujar Syafrin saat ditemui di Terminal Kalideres pada Sabtu, (21/12/2024).
Meski ditutup, deretan halte yang berada di sepanjang Koridor 1 nantinya akan tetap dimanfaatkan untuk angkutan penghubung atau feeder bagi angkutan rel, termasuk MRT dan LRT. Jadi, menurut Dishub Jakarta, penutupan Koridor 1 tak akan mengingkari kebijakan Pemprov Jakarta yang berkomitmen menjadikan transportasi berbasis rel sebagai tulang punggung sistem transportasi massal.
“Jadi, tidak ada yang haltenya mubazir karena tetap termanfaatkan untuk integrasi antara angkutan jalan dengan angkutan rel,” tutur Syafrin.
Ketidakjelasan di Bali
Di pengujung 2024 kemarin, warga Bali dikejutkan oleh kabar penghentian operasional Trans Metro Dewata (TMD) per 1 Januari 2025. Menurut Kepala Dishub Provinsi Bali, I Gusti Wayan Samsi Gunarta, TMD berhenti beroperasi karena nihilnya anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Selama ini, layanan TMD memang disubsidi oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
“Iya, betul [dihentikan]. Penyebabnya adalah tidak adanya kejelasan support anggaran lagi dari Kementerian Perhubungan,” kata Samsi kepada Tirto.
(https://tirto.id/penyebab-bus-trans)
Menanggapi kabar tersebut, Direktur Eksekutif INSTRAN, Deddy Herlambang, mengatakan bahwa operasional TMD tak seharusnya berhenti hanya karena tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat.
Sebaliknya, hal itu mestinya bisa diantisipasi sejak pengumuman akan berakhirnya kesepakatan layanan subsidi melalui program buy the service (BTS) Teman Bus (Transportasi Ekonomis Mudah, Aman, dan Nyaman) antara Kemenhub dan Pemprov Bali pada Januari 2025.
Pemprov Bali, misalnya, dapat menjalankan operasional TMD menggunakan APBD 2025. Namun, yang terjadi Pemprov Bali malah bergantung pada subsidi pemerintah pusat.
“Harusnya, Pemda, seperti Bogor yang sudah tutup lebih dulu, terus ini Bali dan Yogyakarta, itu paham kalau tidak mungkin semuanya disubsidi. Jadi, Pemda seharusnya menganggarkan untuk operasional secara mandiri dari APBD. Tapi, ternyata Pemda Bali tidak ada yang ngurus. Jadi, seperti ini [operasional TMD berhenti],” jelas Deddy saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).
Penghentian operasional BTS oleh beberapa pemda itu sangat disayangkan karena dalam beberapa tahun terakhir Kemenhub aktif mendorong pengembangan angkutan umum perkotaan di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, perluasan akses transportasi umum harusnya disokong oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat dan pemda.
“Tapi, ternyata Pemerintah Bali kan ternyata tidak ada dana. Itu kan aneh juga karena selama ini kan juga dapat pendapatan dari pajak kendaraan bermotor. Itu lebih dari 60 persen kan masuk ke daerah. Itu kemana? Kan itu harusnya uang pajak dikembalikan lagi ke masyarakat lewat pelayanan publik,” tambah Deddy.
Sementara itu, soal subsidi BTS, Plt. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Ahmad Yani, mengatakan bahwaprogram Teman Bus antara Kemenhub dan beberapa pemda (di antaranya Denpasar, Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta, Banjarmasin, Makassar, Bandung, Surabaya, Banyumas, dan Balikpapan—dengan total 45 koridor) memang telah berakhir di pengujung 2024.
Dengan berakhirnya Nota Kesepakatan, pengelolaan BTS kini menjadi tanggung jawab Pemda sepenuhnya.
Oleh karena itu, Ahmad menyebut bahwa kementeriannya sudah membicarakan keberlanjutan angkutan umum perkotaan dengan masing-masing Pemda. Hasilnya, Pemda Surakarta berkomitmen untuk mengambil alih tiga koridor, sementara Pemda Banjarmasin, Medan, dan Bandung mengambil alih seluruh koridor.
Ahmad masih berharap Pemprov Bali dan Yogyakarta bisa melanjutkan skema BTS.
“Kedua provinsi itu diharapkan dapat segera memutuskan secara cepat pengambilalihan layanan ini agar masyarakat tidak kecewa,” kata Ahmad melalui keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (3/1/2025).
Lebih penting dari itu, dia juga berharap setiap pemda dapat memaksimalkan APBD yang dimiliki untuk penyelenggaraan angkutan massal perkotaan.
“Dan bisa lebih menyosialisasikan kepada masyarakat terkait kesadaran menggunakan angkutan umum,” tegas Ahmad.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi