Menuju konten utama

Komisi VIII Tanyakan Ukuran Pancasilais Soal Pembubaran HTI

Komisi VIII mengatakan ormas yang menganut nilai Pancasilais ataupun tidak Pancasilais tidak bisa dinilai tanpa kajian yang jelas.

Komisi VIII Tanyakan Ukuran Pancasilais Soal Pembubaran HTI
M Ali Taher, [Foto/mpr.go.id]

tirto.id - Ketua Komisi VIII Ali Taher yang membidangi agama dan sosial mengatakan ormas yang menganut nilai Pancasilais ataupun tidak Pancasilais tidak bisa dinilai tanpa kajian yang jelas. Ia menilai bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ormas dan perkumpulan di Indonesia sudah jelas dan matang di Indonesia.

Menurut Ali, pemerintah tidak bisa serta-merta menganggap atau menuding suatu ormas termasuk Pancasilais atau tidak kemudian dibubarkan. Ali menyangsikan keputusan pemerintah yang dianggap tidak bisa menilai seseorang atau ormas dinyatakan Pancasilais atau tidak hanya berdasar penilaian dari kata-kata saja.

“Justru orang yang mengatakan Pancasilais menurut saya tidak Pancasilais. Sepanjang orang tersebut tidak mengganggu tatanan negara dalam konteks sosial maka itu dapat bisa berlangsung secara sosial,” tegas Ali Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/7/2017).

Adanya pembubaran ini dikhawatirkan Ali dapat merambat kepada pembubaran ormas-ormas lain yang bisa saja dianggap oleh pemerintah secara subjektif sebagai ormas yang tidak Pancasilais. “Itulah juga dikhawatirkan,” pungkasnya.

“Jangan sampai ormas yang dianggap tidak Pancasilais kemudian dibubarkan. Pertanyaannya adalah. Ukuran Pancasilais dan tidak Pancasilais itu gimana? Kan sangat subjektif,” pungkas politisi dari PAN tersebut.

Menurut Ali, Indonesia adalah negara hukum. Pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas diatur bahwa negara hukum haruslah patuh pada supremasi hukum, penghargaan terhadap hak asasi manusia, menganut konsep peradilan yang bebas, dan menjalankan kekuasaan kehakiman secara mandiri. Oleh sebab itu, HTI seharusnya bisa memperjuangkan diri di dalam peradilan untuk menentang pemberhentian sepihak oleh pemerintah.

“HTI lahir berdasar UU keormasan, maka dia memiliki hak hukum untuk melakukan pembelaan dengan cara melakukan pra peradilan misalnya,” terang Ali.

Cara kedua menurut Ali adalah dengan menunggu Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dirapatkan di antara fraksi-fraksi di DPR. Menurut Ali, Perppu, meski sudah berjalan, juga harus mendapat dukungan dari DPR. Dalam pemberlakuan Perppu memang ada hak subjektif dan objektif menurut pemerintah. Hak subjektif artinya pemerintah memandang pemberhentian HTI untuk pencegahan dini. Tapi Ali mengimbau pemerintah agar jangan lupa terhadap objektivitas yang menekankan bahwa setiap ormas memiliki hak hukum.

“Maka menurut saya, pemerintah jangan terlalu cepat mengambil langkah-langkah pembubaran jika belum diketemukan alat bukti yang cukup. Radikalisme yang muncul itu kan bukan semata-mata agama atau pandangan sempit keagamaan tapi radikalisme juga muncul karena faktor sekularisme,” tegasnya.

Ali juga mempertanyakan alasan pemerintah sangat buru-buru dalam menindak HTI, sedangkan tindakan-tindakan sekularisme seperti LGBT dan maraknya penggunaan narkoba tidak diberlakukan Perppu yang tegas. Oleh karena itu, Ali berharap pada masa sidang berikutnya, DPR akan bisa menentukan sikap pada Perppu ormas ini.

“DPR memutuskan setuju atau tidak setuju. Tergantung pada posisi konfigurasi politik pada saat Perppu tersebut dibahas DPR,” katanya.

Sebelumnya, melalui keterangan tertulis, Freddy Harris selaku Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham menjelaskan bahwa perkumpulan dan ormas harus tetap berada di jalur hukum yang berlaku.

Meski HTI mencantumkan Pancasila sebagai dasar ideologinya, tetapi pada praktik di lapangan, HTI banyak menyalahi AD/ARTnya sendiri. Oleh sebab itulah, Kemenkuham mencabut SK Badan Hukum HTI.

Dari penelusuran Tirto, dalam AD/ART HTI tidak secara pasti menyebut berideologi Pancasila, melainkan berasas Islam di dalam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD'45.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN HTI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri