Menuju konten utama

Kominfo Dukung Kerja Sama Media dan Pakar untuk Literasi Digital

Kominfo, media, dan pakar sepakat menepis hoaks via literasi digital saat seminar bertajuk "Inception: Literasi Digital melalui Jurnalisme Berkualitas".

Kominfo Dukung Kerja Sama Media dan Pakar untuk Literasi Digital
Dari kiri ke kanan Pemimpin Redaksi Tirto.id Rachmadin Ismail, Direktur Pemberdayaan Informatika Ditjen Aptika Kominfo Slamet Santoso, dan Peneliti Institute of International Studies Ni Made Diah Apsari Dewi, saat seminar "Inception: Literasi Digital melalui Jurnalisme Berkualitas Kolaborasi Media, Pakar, dan Pemerintah" di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM, DI Yogyakarta, Jumat (15/12/2023). tirto.id/Tim dokumentasi Fisipol UGM

tirto.id - Penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian masih menjadi tantangan di era media digital saat ini. Berdasarkan riset Kominfo, Indeks Literasi Digital Indonesia tahun 2021 hanya 32% masyarakat merasa yakin dapat mengidentifikasi isu hoaks.

Sementara pada tahun 2022, naik 0,05 poin menjadi 3,54 poin. Skor tersebut menunjukkan bahwa literasi digital masyarakat Indonesia berada pada kategori sedang.

Maraknya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi ini dikhawatirkan akan meningkat di tengah situasi pemilu.

Karenanya berbagai pihak, baik Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), media, dan para pakar sepakat untuk melawan berbagai isu hoaks ini, salah satunya lewat literasi digital melalui jurnalisme berkualitas.

"Kemenkominfo melalui Indonesia Makin Cakap Digital (IMCD) melakukan berbagai inisiasi untuk dapat menjangkau 50 juta masyarakat mendapatkan Literasi Digital hingga tahun 2024 mendatang," ujar Direktur Pemberdayaan Informatika Ditjen Aptika Kominfo Slamet Santoso saat seminar "Inception: Literasi Digital melalui Jurnalisme Berkualitas" di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM, DI Yogyakarta, Jumat (15/12/2023).

Sementara pola dan tren penyebaran hoaks saat ini, menurut Slamet, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

"Misinformasi adalah informasi yang salah yang disebar tanpa tujuan atau maksud untuk merugikan maupun membahayakan orang lain. Disformasi merupakan informasi yang salah yang disebar dengan tujuan atau maksusd untuk mrugikan atau membahayakan orang lain," papar Slamet.

Sementara malinformasi merupakan informasi yang benar yang disebar untuk menyebabkan kerugian tertentu dengan membawa informasi yang semula bersifat privat ke ranah publik, di antaranya leaks, cyber bullying, dan hate speech atau ujaran kebencian.

"Kita memasuki era Post-Truth, yaitu sebuah kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal," ujar Slamet.

Hal itu tentu saja menjadi tantangan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini, terutama jelang Pemilu 2024.

Lebih lanjut, Slamet menyebutkan ada hal yang fokus dilakukan pemerintah, yakni program nasional literasi digital. Ini merupakan inisiasi penguatan keterampilan digital dasar bagi masyarakat Indonesia, yang bertujuan mencerdaskan masyarakat dalam ruang digital.

"Dengan target dan jangkauan 5,5 juta orang dapat mengikuti kegiatan literasi digital dan diharapkan menjadi Agent Of Change di seluruh Indonesia," jelasnya.

Kegiatan literasi digital ini diukur melalui empat pilar, yaitu kecakapan digital (digital skills), etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), dan budaya digital (digital culture).

Seminar Inception Tirto dan Fisipol UGM

Pembicara seminar

Senada, Pemimpin Redaksi Tirto.id Rachmadin Ismail dalam kesempatan yang sama mengatakan, hasil riset seperti Geopoll tahun 2022 menyebutkan, 75 persen masyarakat Indonesia rutin mendapat informasi menyesatkan di media sosial.

"Lalu dari Survei Literasi Digital Indonesia 2022, Katadata dan Kemenkominfo, 56 persen orang Indonesia punya kebiasaan untuk meneruskan berita tanpa verifikasi terlebih dahulu," jelasnya.

Di sisi lain, sambungnya, menurut survei dari The Business Times 2018, 28 persen misinformasi yang disebarkan bisa menurunkan nilai valuasi saham perusahaan.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan perlawanan misinformasi dari hulu ke hilir, yakni melalui amplifikasi media, keterlibatan pakar, dan dukungan dari pemerintah.

"Amplifikasi media diartikan sebagai fungsi media untuk mempopulerkan pengetahuan dan program literasi digital agar bisa menjangkau banyak pengguna. Kemudian keterlibatan pakar dimaksudkan agar para akademisi dan pakar dapat memberi wawasan mendalam terhadap sebuah informasi," terang Rachmadin.

Sedangkan dukungan pemerintah dalam hal ini Kominfo, berkomitmen mendukung pencegahan penyebaran misinformasi lewat program literasi digital.

Di Tirto sendiri, saat ini ada program, seperti diskusi dan training literasi digital melawan misinformasi, ada juga produksi konten bersama di channel yang namanya Inception, serta penghargaan bagi para pegiat literasi digital dan pakar.

Seminar Inception Tirto dan Fisipol UGM

Para peserta seminar

Ni Made Diah Apsari Dewi, peneliti Institute of International Studies menjabarkan tentang bagaimana memahami literasi digital.

Menurutnya, dari hasil riset pada 2022, terdapat 202,6 juta pengguna internet aktif dan 167 juta pengguna media sosial di Indonesia, namun literasi digital Indonesia masih rendah dalam jumlah, dengan skor literasi digital 62% yang lebih rendah dibandingkan ASEAN. Literasi digital juga timpang antara wilayah.

"Rendahnya literasi digital juga ada dalam hal kualitas, di mana dalam sudut pandang individu, dunia digital dianggap sebagai area anormatif. Penggunaan digital dianggap terpisah dari tanggungjawab kewarganegaraan, dan aktivitas digital masih bersifat pasif serta mayoritas netizen masih merupakan penonton," kata dia.

Made melanjutkan, ada juga rendahya kualitas literasi digital dalam sudut pandang negara, di mana terdapat misinformasi dan hoaks sebagai permasalahan individu yang terpisah dari konteks struktural seperti kesehatan demokrasi.

"Padahal, sikap pasif individu dalam memerangi hoaks merupakan akibat dari penyempitan ruang sipil dan penurunan kualitas demokrasi. Hasil penelitian Indikator Politik Indonesia, 2022, sebanyak 62.9% masyarakat Indonesia merasa takut untuk menyatakan pendapatnya di dalam iklim demokrasi saat ini," katanya

Sementara itu, dari perspektif industri menyatakan, perusahaan cenderung absen dari diskusi tentang etika penggunaan teknologi dan penyebaran informasi di ranah digital.

Akibat dari semua itu, menjelang pemilu 2024 bisa terjadi maraknya misinformasi, di mana misinformasi dan hoaks meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun lalu.

Democracy works better when participants care about the accuracy of truth claims (Kahne & Bowyer, 2016)

"Pernyataan dari Kahne & Bowyer di atas berarti bahwa misinformasi berpotensi meningkatkan konflik vertikal. Maraknya misinformasi dapat mengurangi kepercayaan publik pada institusi demokrasi. Kepercayaan yang rendah akan mengurangi partisipasi publik dan pada akhirnya melemahkan demokrasi," pungkas Made.

Acara diskusi "Inception: Literasi Digital Melalui Jurnalisme Berkualitas" merupakan bagian dari rangkaian launching program Inception, kerja sama tirto.id dan FISIPOL UGM. Acara ini didukung oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dan Wings Group demi melawan hoaks dan meningkatkan literasi digital masyarakat.

Baca juga artikel terkait LITERASI DIGITAL atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Iswara N Raditya