Menuju konten utama

Kolaborasi Buruh dan Aktivis LGBT Melawan Penguasa

Di bawah tekanan Margaret Thatcher mereka bersatu. Kedua kelompok minoritas ini sadar kalau pemerintahan yang represif adalah masalah bersama.

Kolaborasi Buruh dan Aktivis LGBT Melawan Penguasa
Aksi mogok kerja para penambang. FOTO/Steve Eason/Getty Images

tirto.id - Pada awal 1980-an, Serikat Buruh Tambang alias National Union of Miners (NUM) adalah salah satu serikat buruh paling kuat di Inggris. Mereka bahkan punya hubungan baik nan erat dengan Partai Buruh. Organisasi yang terhitung kiri dan militan ini tak takut ancaman dari sektor industri yang tengah berkembang di daratan Eropa kala itu.

Sebelum abad ke-19, ketika industri di Eropa dan Amerika mulai berkembang, para buruh tambang ikut terciprat keuntungan. Batu bara menjadi salah satu pemasukan besar bagi Inggris. Bahkan pada awal 1900, batu bara sempat jadi 90 persen sumber energi utama di dunia. Tapi memasuki penghujung abad tersebut, pamor batu bara mulai turun. Julukannya sebagai “Emas Hitam” mulai luntur.

Pada 1981, pemerintah Inggris di bawah kuasa Perdana Menteri Margaret Thatcher mulai menutup sejumlah lubang galian. Thatcher menganggap batu bara tak menguntungkan. Respons atas kebijakan itu tak lama-lama datang. Sejumlah buruh dari NUM di daerah melakukan aksi mogok kerja, tak setuju pada keputusan pemerintahan Thatcher.

Merasa posisinya tak kuat, Thatcher kemudian menunjuk Ian MacGregor jadi kepala Dewan Batu Bara Nasional alias National Coal Board (NCB). MacGregor terkenal garang dan tak sungkan-sungkan memotong anggaran bahkan menutup divisi-divisi yang dipimpinnya. Terbukti dari rekam jejak MacGregor di British Steel, sebuah badan usaha milik negara yang mengurusi produksi baja di Inggris.

Pertarungan antara pemerintah dan buruh-buruh tambang ini dianggap penting, kala Thatcher dalam kepemimpinannya sebagai perdana menteri Inggris. Kisah ini diceritakan Pierre-François Gouiffes dalam bukunya Margaret Thatcher & The Miners—Margaret Thatcher dan Para Buruh Tambang.

Pada 1984, pengumuman baru yang mengagetkan para buruh tambang kembali datang. Thatcher menutup 20 lubang galian lagi. Membuat 20 ribu buruh tambang jadi pengangguran. Belakangan diketahui, penutupan itu adalah upaya pemerintah menimbun batu bara agar Inggris bisa melewati musim dingin di tengah persaingan industri yang kecam.

Organisasi-organisasi buruh lokal kemudian menyatukan kekuatan, meski sebenarnya suara tak terkumpul merata di sepenjuru Inggris. Ketua NUM Arthur Leader menyerahkan keputusan sepenuhnya pada NUM di daerah-daerah untuk ikut turun melakukan aksi atau sebaliknya. Puncak aksi itu adalah mogok kerja yang dilakukan NUM secara nasional pada 1984.

Thatcher murka, dan menyebut para buruh tambang sebagai “Musuh dalam Selimut” atas aksi tersebut. Siân James, istri buruh tambang, ibu rumah tangga beranak dua, murka mendengar pernyataan Thatcher itu.

“Saya benar-benar tersinggung kala itu,” kata James pada The Guardian.

“Saya tak merasa musuh dalam selimut, saya cuma seseorang yang berusaha mati-matian untuk menyelamatkan komunitasnya. Tidak bisakah orang-orang melihat itu?”

Sebagai salah satu minoritas di kelas sosial bawah, para buruh tentu saja takut kehilangan pekerjaannya: satu-satunya hal yang tetap bikin dapur mereka ngebul. Turun ke jalan dan menyuarakan protesnya adalah salah satu jalan yang menurut mereka bisa membuat pemerintah mengubah kebijakan jadi lebih ramah pada masa depan mereka.

Siân James adalah keturunan anak seorang buruh yang menikahi buruh dan tinggal di lingkungan buruh. Ketegangan politik antara pemerintahan Thatcher dan buruh tambang kala itu tentu saja jadi urusan hajat hidupnya. Penutupan tambang adalah tentang hidup dan mati baginya dan keluarga.

Di saat ketegangan yang terjadi, pada saat yang sama dunia barat juga masih menganggap homoseksual sebagai hal tabu kala itu.

“Kami tahu orang-orang gay itu eksis—kawan kerja ayahku seorang gay—tapi tak ada orang yang membahas hal itu terang-terangan. Dulu hal itu sangat personal,”ungkap Siân James.

Tapi, sebuah organisasi aktivis LGBT di London mendatangi Kampung Dulais di Selatan Wales untuk menyatakan dukungan, dan ingin mendonasikan sejumlah materi kepada keluarga buruh yang sudah kehilangan pemasukannya. Organisasi itu bernama LGSM—Lesbian Gay Supports the Miners—Lesbian Gay Mendukung Buruh Tambang.

Dulais adalah kampung Siân James. Ia menyaksikan bagaimana para gay muda itu mendatangi kampungnya, menyatakan dukungan, kemudian ditolak mentah-mentah. Siân James termasuk orang yang kecewa atas penolakan itu. Tapi pada saat itu, ketika pengetahuan tentang homoseksual belum seterang sekarang, penolakan dari para buruh terasa wajar. Bak masyarakat mayoritas lainnya, mereka merasa risih dengan orang-orang yang bercinta dengan sesama jenis.

Tapi LGSM yang dipimpin aktivis Mark Ashton dan Mike Jackson itu tak menyerah. Mereka bersikeras ingin menolong. Dana yang sempat terkumpul dari donasi mereka mencapai lebih dari 11 ribu Poundsterling. Itu di luar sumbangan sebuah minibus sebagai alat demonstrasi, semuanya sebagai dukungan moral membantu keluarga para buruh yang kesusahan makan akibat tambang yang ditutup.

LGSM bukan organisasi kaya. Kehadirannya saja masih kontroversial. Diskriminasi dan pelecehan masih makanan sehari-hari mereka: dilempar tomat atau telur busuk, hingga batu bata pernah dialami. Kebanyakan orang masih menganggap mereka lebih rendah dari binatang.

Di dalam internal LGSM sendiri, keputusan Ashton dan Jackson untuk membantu buruh tambang juga tak satu suara. Sebagian aktivis menganggap hal itu belum perlu. Apalagi uang donasi sebesar itu bisa mereka pakai untuk berdemo mengurusi hajat hidupnya sendiri—agar dianggap sebagai manusia dan diperlakukan adil oleh negara.

Infografik Aksi Mogok

Tapi menurut Ashton dan Jackson, organisasi mereka sudah harus mulai memikirkan isu sosial lainnya dan mendukung kelompok minoritas lain. Tujuan mereka sederhana, hanya ingin membuat orang-orang sadar kalau LGBT juga manusia biasa, orientasi seksual hanya sebagian kecil dari siapa diri mereka sebenarnya.

Perjuangan kedua organisasi ini terekam jelas dalam film Pride (2014) karya sutradara Matthew Warchus. Film itu dibuat berdasarkan kisah nyata LGSM dan buruh tambang dalam seteru antara pemerintah dan buruh paling sengit yang terjadi dalam sejarah Inggris, kata Gouiffes.

“Memotong anggaran NUM sehingga para penambang itu tak bisa dapat upah mereka. (Kejengkelan) ini tak terkatakan,” kata Mike Jackson, 29 tahun kemudian pada Kate Kellaway dari The Guardian.

Jackson dan Siân James kemudian dibuat kembali bernostalgia setelah menonton Pride. Keduanya terharu, dan kembali mengingat sebagian orang-orang yang terlibat dalam aksi mogok itu—sebagian orang-orang yang sudah tiada. Mereka memang kalah dengan Thatcher kala itu. Penutupan tambang tetap dilakukan pemerintah pasca-aksi mogok berhenti. Bahkan jumlahnya makin banyak.

Namun, nama NUM jadi harum. Perjuangan buruh yang turun ke jalan menjadi inspirasi untuk melawan pemerintahan yang represif. NUM akhirnya mengambil alih peran pemimpin pergerakan buruh di Inggris.

Lalu apa kemenangan bagi LGSM? NUM cabang Wales menjadi organisasi non-LGBT pertama yang berpartisipasi dalam parade Lesbian and Gay Pride di Inggris. Bersatunya LGSM dan organisasi buruh tambang membawa masa depan cerah bagi mereka untuk bisa lebih diterima masyarakat dan tak lagi menjadi tabu.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra