tirto.id - Jelang pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda, pada 24 Desember 1949--tepat hari ini 72 tahun silam, dibentuklah Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKB-DR). Komandan pertamanya adalah Letnan Kolonel Taswin Natadiningrat, kawan sekolah Jenderal Ahmad Yani di sebuah sekolah menengah Kristen di Jakarta.
Kebanyakan yang pernah jadi komandan KMKB-DR adalah para perwira dari Divisi atau Tentara dan Teritorium Siliwangi. KMKB-DR pada awalnya memang bagian dari komando Tentara dan Teritorium III Siliwangi yang membawahi daerah Jawa Barat dan Banten. Komandan terakhir KMKB-DR juga perwira dari Siliwangi, yaitu Umar Wirahadikusumah.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta memerlukan keamanan ekstra. Sementara pada tahun-tahun yang menentukan setelah pengakuan kedaulatan, keamanan dalam negeri dihantam oleh pelbagai gejolak di daerah. Salah satunya adalah pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang sangat merepotkan Kodam Siliwangi yang juga membawahi Jakarta.
Untuk menanggulangi situasi tersebut, maka dibentuklah Komando Daerah Militer (Kodam) baru bernama Kodam Jayakarta atau Kodam Jaya yang diresmikan pada 18 Januari 1960 di Lapangan Banteng.
Kodam ini membawahi seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta ditambah Depok, Bekasi, dan Tangerang. Seperti Kodam lain, secara struktural di dalamnya terdapat juga Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), batalion-batalion (infanteri, artileri, kavaleri), dan satuan-satuan bantuan tempur lainnya serta Resimen Induk Daerah Militer (Rindam). Di antara tugas Rindam adalah sebagai pencetak tamtam dan bintara
Di bawah Koramil terdapat para Babinsa (Bintara Pembina Desa) yang merupakan satuan teritorial paling bawah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Meski wilayah Kodam Jayakarta di perkotaan, namun Babinsa tetap ada dengan tanggung jawab wilayah mengurusi beberapa kelurahan.
Panglima pertama Kodam Jayakarta adalah Kolonel Umar Wirahadikusumah yang juga mantan Komandan KMKB-DR dari Siliwangi. Hingga tahun 1965, Umar masih menjadi Pangdam Jayakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal. Setelah itu, ia kemudian berturut-turut menjadi Panglima Kostrad, Wakil KSAD, dan KSAD. Karier militernya terhenti sampai di situ, sebab Soeharto kemudian menempatkannya di posisi sipil sebagai Ketua BPK lalu menjadi wakil presiden.
Selain Umar, mantan Panglima Jayakarta yang kemudian menjadi KSAD antara lain Poniman, Makmun Murod, Try Sutrisno, dan Wiranto. Dua nama terakhir bahkan sempat menjadi Panglima ABRI. Sepeti Umar, Try Sutrisno juga pernah mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden.
Mantan Panglima Jayakarta lain yang juga pernah bertugas sebagai pejabat sipil adalah Soerjadi Soedirdja dan Sutiyoso. Keduanya sebagai Gubernur DKI Jakarta sebelum berlaku Pilkada langsung. Sementara Amirmachmud menjadi Menteri Dalam Negeri dan Hendripriyono sempat menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.
Dulu, dalam Kodam ini terdapat beberapa brigade infanteri yang terdiri dari sejumlah batalion. Salah satunya adalah Brigade Infanteri Jaya Sakti yang dipimpin Kolonel Abdoel Latief, bekas anak buah daripada Soeharto waktu di Jawa Tengah.
G30S dan Tanjung Priok
Keterlibatan Komandan Brigade Infanteri Jaya Sakti Abdoel Latief dalam G30S membuat anak buahnya ikut terseret. Menurut laporan Kompas (16/04/1968), selain Latief, para serdadu Kodam Jayakarta yang terlibat peristiwa tersebut antara lain Pembantu Letnan Satu Mukidjan yang kemudian divonis mati, Sersan Dua Soekardjo, dan Kapten Suradi.
Bertahun-tahun setelah G30S, Kodam Jayakarta kembali terlibat dalam malasah besar. Kali ini adalah Peristiw Tanjung Priok 1984 yang memakan banyak korban dari kalangan Islam politik. Kejadian bermula saat Sersan Satu (Sertu) Hermanu, seorang Babinsa Kodim 0502 Jakarta Utara mendatangi jemaah Musala As-Sa'adah dan meminta untuk mencabut pamflet-pamflet yang bernada keras kepada pemerintah.
“Dia minta agar poster-poster itu dicopot,” kata seorang jemaah, seperti dikutip Tempo (22/09/1984). Ketika tahu bahwa pamflet-pamflet itu masih tertempel, dia kembali dengan kawannya yang bernama Samin untuk menghilangkannya.
Menurut AM Fatwa dalam Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili: Pembelaan Drs. H. A.M. Fatwa di Depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Desember 1985 (1989:116), Samin masuk ke musala dengan memakai sepatu, menggeledah podium dan meja, dan membongkar karpet. Sementara Sertu Hermanu berdiri di luar, mencabut pistol.
Kejadian itu kemudian memicu pembakaran sepeda motor Babinsa Koja Selatan. Pengurus musala ditahan. Demonstrasi terjadi di depan Kodim Jakarta Utara setelah ceramah dari Abdul Qadir Djaelani yang menentang azas tunggal Pancasila yang digembar-gemborkan Orde Baru.
Peristiwa Tanjung Priok 1984 terjadi saat Kodam Jayakarta dipimpin Try Sutrisno. Namun, sasaran kemarahan umat Islam adalah Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani. Ia dianggap yang paling bertanggungjawab atas terbunuhnya ratusan umat Islam dalam peristiwa tersebut.
Menjelang Soeharto lengser, Kodam Jayakarta sibuk meredam para demonstran yang menginginkan reformasi. Kala itu Panglima Kodam dijabat oleh Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, bekas ajudan daripada Soeharto. Sementara menantu Soaeharto, Letnan Jenderal Prabowo menjabat sebagai Panglima Kostrad. Meski demikian, kedua orang ini tak mampu menyelamatkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Kondisi Jakarta akhirnya kacau tak terkendali: penjarahan terjadi di mana-mana, mahasiswa merangsek Gedung DPR, dan penculikan terhadap para aktivis pro demokrasi. Setelah Soeharto lengser, Habibie naik menggantikannya.
Ketika Sidang Istimewa MPR digelar, masalah keamanan kembali mencuat di Jakarta. PAM Swakarsa muncul yang kata Kivlan Zein merupakan bentukan Wiranto.
==========
Naskah ini pernah terbit pada 7 Juli 2020 dengan judul yang sama. Redaksi melakukan penyuntingan ulang untuk ditayangkan di rubrik Mozaik.
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Fadrik Aziz Firdausi