tirto.id - Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menyatakan penolakan atas pemblokiran iklan rokok di internet yang diberlakukan Kemenkominfo.
"Ini menjadi bias sebab pemblokiran total iklan rokok di internet juga tidak memiliki dasar hukum yang jelas, dikarenakan iklan rokok yang tayang di internet sudah memenuhi kaidah regulasi yang ada, seperti PP 109 tahun 2012 dan UU Penyiaran No 32 Tahun 2002," ujar Ketua Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) M Nur Azami, dalam rilis yang diterima Tirto, Sabtu (29/6/2019).
Sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Farid Moeloek menerbitkan surat edaran nomor TM.04.01/Menkes/314/2019 tentang pemblokiran iklan rokok di internet. Surat edaran ini ditindaklanjuti oleh Kemenkominfo dengan memblokir iklan atau konten rokok di sejumlah platform media sosial yang melanggar ketentuan PP No. 109 Tahun 2012.
Melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika), Kemenkominfo menelusuri (crawling) konten iklan rokok di internet. Hasilnya terdapat 114 kanal yang memuat konten tersebut di Facebook, Instagram, hingga Youtube.
Terkait pelanggaran promosi produk tembakau misalnya, kata Azami, pada pasal 40 PP 109 tahun 2012 telah dijelaskan mekanisme untuk menindaklanjuti, yaitu penarikan dan/atau perbaikan iklan; peringatan tertulis; dan/atau pelarangan sementara mengiklankan Produk Tembakau yang bersangkutan pada pelanggaran berulang atau pelanggaran berat.
"Regulasi tersebut tidak mengamanatkan pemerintah untuk serta merta dan semena-mena memblokir iklan rokok secara total," tegasnya.
Surat Edaran Menteri Kesehatan mengenai pemblokiran total iklan rokok di internet sejatinya menyasar pada empat entitas digital yaitu, media umum online; akun resmi produk rokok online; akun resmi kelembagaan online; akun pribadi yang sering menyebarkan informasi, gambar, dan tautan terkait rokok.
Menurut Azami, pemblokiran iklan rokok di internet berpeluang besar menghambat ekspresi masyarakat sipil dan berdampak merugikan negara. Pasalnya, pada 2018 sektor bisnis online berupa e-commerce marketplace dan aplikasi belanja iklan rokok mencapai Rp 4,88 triliun atau 4,86%, dikutip dari katadata.co.id.
Terbitnya Surat Edaran Menkes tersebut didorong oleh hasil diskusi yang diadakan oleh Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC, IAKMI).
TCSC IAKMI, kata Azami, menyandang proyek dari Bloomberg Initiative sejak Agustus 2017 hingga Juli 2019.
Sebagaimana dimuat dalam website tobaccocontrolgrants.org, proyek tersebut bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam amandemen peraturan untuk meningkatkan ukuran Peringatan Kesehatan Grafis (GHW) menjadi 75% pada paket tembakau, mendorong parlemen untuk mengubah undang-undang pajak untuk menaikkan pajak tembakau, dan iklan tembakau, promosi dan peraturan terkait sponsor untuk larangan komprehensif, dan memobilisasi orang untuk mendorong presiden untuk menyetujui WHO FCTC.
"Maka dari itu, kami selaku stakeholder pertembakauan dengan tegas menyatakan sikap menolak keras pemblokiran iklan rokok secara total di internet secara semena-mena," tegasnya.
Selain itu, KNPK mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Peninjauan ulang Surat Edaran nomor TM.04.01/Menkes/314/2019 tentang pemblokiran iklan rokok di internet
2. Meminta Kemenkominfo melibatkan seluruh stakeholder pertembakauan dalam melakukan pengawasan iklan rokok di internet.
3. Dengan hormat meminta kepada Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk berperan aktif dalam melindungi kepentingan Industri Hasil Tembakau nasional.
4. Menyerukan kepada seluruh stakeholder pertembakauan untuk melawan segala hal peraturan yang mendiskriminasikan produk hasil tembakau.
5. Menolak intervensi asing melalui Kemenkes yang berorientasi kepada kepentingan pengendalian tembakau.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyurati Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir iklan rokok di internet, baik itu situsweb maupun media sosial.
Surat edaran No. TM.04.01/Menkes.314/2019 tentang pemblokiran itu dikirimkan dengan alasan untuk menekan konsumsi rokok pada anak-anak.
Dalam penjelasannya, Nila mengatakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Menurut Nila, peningkatan itu terjadi lantaran anak-anak belajar merokok secara daring seperti melalui media sosial.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Agung DH