tirto.id - Kecuali para amtenar alias pegawai negeri, orang-orang Minangkabau pada umumnya punya sejarah permusuhan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah gerakan Tuanku Imam Bonjol tumpas, perlawanan muncul lagi pada tahun 1908 ketika masyarakat menolak pajak atau belasting. Lalu pada 1927 pecah pemberontakan PKI di Silungkang. Tak heran jika rakyat Minangkabau menolak bekerja sebagai personel KNIL alias serdadu kolonial. Jika pun ada, jumlahnya sangat sedikit.
Dalam ingatan masyarakat kiwari, sosok personel serdadu kolonial asal Minangkabau barangkali hanya Samsulbahri. Itu pun sekadar tokoh fiksi yang hadir dalam roman legendaris Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (1922) karya Marah Roesli yang sempat diangkat ke layar kaca.
Lalu siapa saja sebetulnya orang Minangkabau yang pernah jadi anggota KNIL?
Dua Dokter Militer
Sejak 1895, seperti dicatat dalam 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976 (1976:139), Abdul Rivai telah lulus dari Sekolah Dokter Hindia alias School tot Opleiding voor Indishc Artsen (STOVIA). Dia kemudian ditugaskan di Deli, sebelum akhirnya berangkat ke Belanda pada 1899 untuk lebih memperdalam ilmu kedokteran. Selama di Belanda, Rivai juga belajar jurnalistik dan kelak menjadi salah satu tokoh pers nasional.
Robert van Niels dalam Munculnya Elite Modern Indonesia (2009:81) menerangkan, Abdul Rivai juga pergi ke Ghent, Belgia, dan diizinkan untuk memperoleh ijazah dokter dalam beberapa tahun atas dasar pendidikan dan pengalaman sebelumnya. Di sini dia bukan lagi dokter biasa, tapi dokter ahli bedah.
Sementara menurut Hans Pols dalam Nurturing Indonesia Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies (2018:36), sebelum ke Universitas Ghent, Abdul Rivai sempat belajar kedokteran di Universitas Amsterdam.
Pada 27 Februari 1909, Abdul Rivai diangkat menjadi perwira kesehatan kelas dua dalam ketentaraan Belanda. Dan pada 11 April tahun tersebut, dia juga menikah lagi dengan perempuan Belanda, BA Rautenberg. Statusnya kemudian disamakan dengan orang Belanda. Pernikahan sebelumnya, yang juga dengan perempuan Belanda, membuat hubungan Abdul Rivai dengan orangtuanya terputus. Dia dicap sebagai kafir.
Rivai, seperti dicatat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:386), kembali ke Indonesia pada 1910 dan ditempatkan di rumah sakit militer Cimahi, lalu dipindahkan ke rumah sakit militer Padang. Namun pada 1912, Rivai mundur sebagai dokter militer KNIL.
Selain Abdul Rivai, ada juga dokter Abdul Madjid yang sama-sama pernah berdinas di KNIL. Dalam buku Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa (1944:300) disebutkan, Abdul Madjid merupakan kelahiran Muara Labuh, Sumatra Barat, 22 November 1894. Dia lulus dari STOVIA pada tahun 1918. Hingga tahun 1923, dia berdinas sebagai dokter sipil pemerintah kolonial di Batavia dan Kayutanam. Abdul Madjid juga sempat memperdalam ilmu kedokteran di Belanda. Menurut Benjamin Bouman dalam dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:385), Abdul Madjid menjadi dokter militer sejak 1926 dan keluar pada 1931.
Seperti Abdul Rivai, Abdul Madjid juga beristrikan orang Belanda, G.M.B. de Lorme, dan status hukumnya disamakan dengan orang Belanda. Ketika berdinas sebagai dokter militer, dia pernah ditempatkan di Cimahi, Padangpanjang, dan Magelang: tempat tangsi-tangsi militer KNIL. Selanjutnya dia menjadi warga negara Belanda.
Dua Penyintas Perang Dunia II
Menurut laporan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (02/06/1939), Kanido Rachman Masjhoer telah lulus Algemene Middelsbare School (AMS) bagian B (pasti alam). Bulan berikutnya, nama itu kembali masuk koran yang memberitakan bahwa dirinya diterima di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda.
“Kanido Masjhoer, anak Tuan Kahar Masjhoer, kepala sekolah di Fort de Kock (Bukittinggi), pada akhir bulan ini bersama [kapal] SS. Dempo akan berangkat ke Belanda,” tulis koran De Sumatra Post (24/07/1939).
Kanido Rachman Masjhoer adalah orang Minangkabau pertama yang diterima di Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda. Dua tahun sebelumnya, yakni pada 1937, dia pernah ke Belanda mengikuti jambore kepanduan mewakili Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) alias organ kepanduan seluruh Hindia Belanda.
Di Akademi Militer Breda, Rachman Masjhoer ditempatkan di bagian infanteri (pasukan jalan kaki). Pada awal 1940, sebelum Belanda diduduki Jerman, dia sudah kopral taruna. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:372), Rachman Masjhoer—yang masih terhitung sepupu Sutan Sjahrir—berdinas di KNIL selama tujuh tahun.
Pendidikan dan karier militernya sempat macet pada 15 Juli 1940, setelah Belanda ditundukkan NAZI Jerman. Pada 15 Mei 1942, dia dikirim ke Jerman sebagai tawanan perang dan baru bebas pada 28 April 1945. Setelah itu, tepatnya pada 5 Oktober 1945, dia dibawa ke Australia lalu ke Malaka. Kemudian pada 9 Februari 1946 diperbantukan ke Batalion Gurkha di sekitar Surabaya.
Rachman Masjhoer selanjutnya memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Dia pernah menjadi perwira staf di intelijen Kementerian Pertahanan Bagian V. Setelah revolusi kemerdekaan, dia meneruskan karier militernya di TNI hingga pensiun. Pada tahun 1950, dia menjabat sebagai Kepala Kantor Peraturan Bagian G 6 Staf Umum (SUAD 6). Pangkat terakhirnya di TNI adalah Brigadir Jenderal. Rachman Masjhoer tutup usia pada tahun 1985.Serdadu KNIL lain yang berasal dari Minangkabau adalah Haji Djalaloedin Thaib. Seperti disebut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:411), Haji Djalaloedin Thaib adalah seorang ulama yang jadi tentara KNIL dengan pangkat mayor. Dia sempat terlibat dalam misi yang dilancarkan NEFIS (Dinas Intelijen Angkatan Bersenjata Hindia Belanda).
Thaib dimasukkan ke militer pada 20 Agustus 1945, dan baru dibebaskan dari status kemiliteran pada 28 Februari 1948. Ia mulanya adalah orang pergerakan yang dibuang ke Boven Digoel bersama Mochtar Lutfie dan Iljas Jacob. Ketika Perang Dunia II meletus di Asia Pasifik, Thaib termasuk orang buangan yang diangkut ke Australia. Saat itu, banyak orang buangan dipekerjakan oleh otoritas Belanda di Australia. Bahkan seorang tokoh pergerakan Islam pun bisa menjadi pegawai NICA.
Editor: Irfan Teguh