tirto.id - "Tidak ada tim yang dapat bersaing dengan [Manchester] City," ucap Jurgen Klopp jelang laga antara Liverpool FC melawan Manchester City di Stadion Anfield, Liverpool, dalam lanjutan Liga Utama Inggris pekan ke-12, Minggu (16/11).
Klopp yang yang hijrah ke Merseyside pada 2015, mengeluarkan pernyataan bak ikrar keputusasaan itu usai ditanya tentang kans tim asuhannya bersaing dengan City dalam meraih gelar Liga Inggris.
Ia berang. Musababnya, tak seperti Liverpool yang memulai musim 2022/2023 dengan rentetan hasil seri dan kekalahan gara-gara badai cedera dan krisis pemain, City justru sebaliknya. Dan keterbalikan itu bukan terjadi karena City layak mendapatkannya, tetapi karena uang.
Setelah diambil alih Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan melalui Abu Dhabi United Group pada 2008, City memiliki uang yang sangat melimpah. Dengan uang ini, ujar Klopp, "City dapat melakukan apapun yang mereka inginkan [...] Mereka dapat membeli penyerang terbaik di pasaran berapapun harganya."
"Ada tiga tim di dunia yang dapat melakukan apapun [sesuai keinginan mereka] secara finansial," tambahnya.
Selain City, ada pula Paris Saint-Germain (PSG), klub milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Qatar yang berlaga di Liga 1 Prancis. Satu lagi adalah Newcastle United, milik BUMN Arab Saudi di Liga Primer Inggris.
"Apa yang bisa Liverpool lakukan?" tanya Klopp kepada wartawan yang mewawancarainya.
"Kami tidak bisa seperti mereka. Itu mustahil [dilakukan Liverpool]."
Atas pernyataannya, Klopp mendapat tentangan. Tanpa mengeluarkan komentar resmi alias hanya memanfaatkan tanggapan anonim via media, City menyebut Klopp menggelorakan xenofobia, ketidaksukaan terhadap orang-orang dari negara lain, khususnya Jazirah Arab sebagai negeri asal pemilik City, juga PSG dan Newcastle.
Secara statistik, tak ada yang salah dengan pernyataan Klopp. Usai memperoleh gelar pertamanya di bawah kuasa Sheikh Mansour pada musim 2011/2012, City menggondol enam dari sepuluh musim terakhir gelar juara Liga Primer.
Fakta yang juga diganggam PSG dengan meraih delapan dari sepuluh musim terakhir gelar juara Liga 1 Prancis. Dan tampaknya, hanya tinggal menunggu waktu bagi Newcastle, yang baru dibeli penguasa Arab Saudi, untuk memperoleh catatan manis serupa.
Kucuran uang tak terbatas yang diperoleh tim seperti City, meminjam kalimat yang ditulis Sam Knight dalam "Why European Soccer Is Damned and Thrilling at the Same Time" (The New Yorker, Mei 2019), membuat "sepakbola, olahraga paling mahsyur di dunia, menjadi sangat membosankan--dan sialnya, di sisi berlainan, masih sangat menyenangkan."
Penikmat bola begitu terpukau dengan pertarungan sengit Liverpool vs City, meskipun dengan hampir pasti mereka tahu siapa yang akan meraih gelar jawara di akhir musim.
Sepakbola: Antara Kekerasan dan Industri
Dalam "Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight" (The Interpretation of Cultures, 1973), Clifford Geertz menjelaskan bahwa ayam, pada khazanah masyarakat Bali, merupakan ekspresi simbolis pria kuat.
Melalui sabung ayam, dengan makna "sabung" juga berarti "pahlawan" atau "pejuang", ekspresi ini digelorakan guna memenuhi ego/hasrat laki-laki narsis. Menjadi penentu pria yang lebih unggul dalam tataran terbatas di antara sesamanya, atas hasil menang atau kalah si ayam.
Sepakbola, pada tahun-tahun awal kemunculannya, juga serupa. Selayaknya ayam bagi masyarakat Bali, sepakbola merupakan ekspresi simbolis kekuatan suku-suku masyarakat Inggris, "the Birthplace of Football".
Dalam How Football Began: A Global History of How the World's Football Codes Were Born (2018), Tony Collins menerangkan bahwa ekspresi ini diterjemahkan dalam bentuk melembaga, klub atau tim, yang dinakhodai penguasa-penguasa kecil, kepala desa, yang kemudian bertarung antar sesamanya demi menentukan suku atau desa mana yang lebih kuat.
Atas statusnya sebagai ekspresi kekuatan, kekerasan merupakan hal lumrah terjadi di masa-masa awal kemunculan sepakbola. Bahkan di masa itu sepakbola kerap disebut sebagai "lembaga kekerasan".
Status ini membuat Raja Edward II melarang sepakbola pada tahun 1600. Keputusan yang bertahan hingga kekuasaan Ratu Elizabeth I berakhir.
Meskipun dilarang, lagi-lagi seperti sabung ayam, sepakbola tak pernah hilang dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, kian menjadi-jadi atas transformasi yang dialami olahraga ini ke arah industri, yang dimulai melalui masuknya sepakbola ke dalam sekolah-sekolah elite di Inggris.
"Cara lembaga pendidikan memanfaatkan energi muda yang sebelumnya hanya dimanfaatkan untuk memberontak [negara]," tutur Collins.
Dan atas kekesalan Cambridge University melihat olahraga ini tak memiliki aturan main universal, maka pada 1840-an "Cambridge Rules" diperkenalkan, dan dimutakhirkan pada 1863. Yang utama dan paling terasa dalam aturan ini adalah standarisasi jumlah pemain yang bertanding, 11 lawan 11, dan titik penalti serta pembentukan Football Association (FA).
Di bawah naungan FA, sepakbola tak lagi identik sebagai "lembaga kekerasan", tetapi "olahraga sopan" antar tim-tim yang dibentuk pegawai negeri karena diisi anak-anak muda sekolah elite Inggris yang kelak menjadi abdi negara.
Namun, karena Inggris kemudian mempersingkat aturan waktu kerja atas dorongan kaum buruh dengan memperkenalkan Sabtu sebagai "weekend", maka tim-tim bentukan pekerja non-PNS mengokupasi sepakbola, mengubah olahraga ini sebagai hiburan semua kalangan masyarakat.
Hal ini misalnya mendorong serikat pekerja kereta api Lancashire dan Yorkshire membentuk Manchester United, dan rohaniawan Kapel St. Domingo Methodist membentuk Everton pada 1878.
Ketika kompetisi bernama "piala" dan "liga" diperkenalkan, sepakbola akhirnya benar-benar menjadi industri global. Industri ini kian meluas saat Piala Dunia untuk pertama kalinya disiarkan secara langsung lewat televisi pada tahn 1954. Memungkinkan siapapun dapat menyaksikan olahraga ini tanpa datang ke lapangan atau stadion.
State-backed football clubs
Singkatnya, tutur Sam Knight dalam "How Football Leaks Is Exposing Corruption in European Soccer" (The New Yorker, Mei 2019), sepakbola akhirnya "menjadi candu masyarakat dunia."
Bagi kalangan penikmat, candu ini kian menjadi-jadi saat tim yang didukung terus-menerus menang hingga mendorong munculnya sikap arogan. Sementara bagi para pemilik klub melahirkan pengaruh kuat di tengah masyarakat serta keuntungan melimpah.
Akibatnya, banyak pihak yang ingin menguasai sepakbola demi keuntungan yang dapat diperoleh. Hal inilah yang dengan keras disuarakan oleh Jurgen Klopp: munculnya tim-tim super pemilik uang melimpah atas dukungan penguasa alias state-backed football club.
Secara klasik, state-backed football club dipraktikkan oleh Real Madrid dan Barcelona, yang memperoleh dukungan penuh dari Jenderal Franco (Real Madrid) dan Pemerintah Catalunya (Barcelona) sebagai antitesis Kerajaan Spanyol.
Kini, entitas super yang dianggap Jevier Tebas, Direktur La Liga Spanyol, "sangat berbahaya bagi ekosistem sepakbola" ini, diperagakan oleh Paris Saint-Germain (PSG), Manchester City, dan Newcastle United. Masing-masing dimiliki oleh Qatar Sports Investments, Abu Dhabi United Group, dan Saudi Arabia Public Investment Fund.
Karena berstatus milik negara, cara khas penguasa memperoleh harta dipergunakan untuk mengongkosi tim-tim tersebut. City, misalnya, diungkap Adam Crafton untuk The Athletic, berhasil menjalin kerja sama dengan tiga perusahaan swasta bernama Masdar, Aldar Properties, dan Emirates Palace atas pengaruh Pemerintah Uni Emirat Arab.
Hal ini membuat City, yang pada 2020 "hanya" mendulang 1,7 miliar poundsterling sebagai pendapatan komersial (sponsorship), meningkat menjadi 2 miliar poundsterling tahun ini. Alias yang tertinggi dibandingkan tim-tim Liga Primer lain.
Nahas, meskipun cara-cara KKN dipraktkkan para state-backed football club untuk mengongkosi dirinya--dininabobokan kepastian bernama gelar juara--mayoritas suporter tim-tim super tersebut gembira saja, bukannya kritis.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Newcastle United Supporters Trust (NUST), misalnya, 93,8 persen pendukung Newcastle mengaku bahagia dengan uluran tangan Saudi Arabia Public Investment Fund untuk tim mereka.
Editor: Irfan Teguh Pribadi